A Revolução da Espiritualidade Prática (parte II)



Olá amigas tão queridas e distintos amigos, como prometido, hoje revelarei “o segredo”. Vamos lá:

O sétimo passo, e o segredo são: “sempre faça o seu melhor possível”.

Você pode fazer o melhor possível e pronto. Nem mais, nem menos. Tão somente o melhor possível.

Que cada ação seja uma doação: . Parta para a ação. Somente através da ação é que você pode fazer o seu melhor possível.

Se escolher mudar a sua vida, será iniciada a grande Revolução da Espiritualidade Prática, e isso requer ação.  Partimos da Consciência e decidimos o que queremos, contamos com nossa disposição e praticamos as mudanças.

Fazer o nosso melhor possível é algo que todos nós podemos fazer a qualquer tempo.

O nosso melhor é, de fato, a única coisa que você pode fazer. E o melhor não quer dizer que às vezes você dá 70% e noutras vezes você dá 10%. Você está sempre dando 100% - se esta for a sua intenção- só que 100% está sempre mudando, é dinâmico, evolui com a gente. O nosso melhor possível tende a ficar cada vez melhor.

Este segredo revelado, por mais que pareça simples - e de fato é simples mesmo, mas não menos grandioso-, é um grande trunfo para que realizemos as mudanças que definirmos para as nossas vidas.

Se mantivermos a consciência do que conservávamos e do que queremos construir, e se seguimos resolutos, basta que sigamos agindo da melhor forma possível.

Mas não espere ser sempre infalível, tampouco espere perfeição de seu melhor possível. A prática fará de você um super, um mestre no que escolheu, mas não será logo de imediato. Os hábitos estão arraigados muito profundamente em sua mente. Por isso faça apenas o melhor de si.

Isso significa que mesmo as menores ações, e aquelas aparentemente insignificantes, todas, todas, passam a ser muito importantes, e por isso mesmo, daremos a atenção solene a cada movimento, a cada ação, com nosso melhor possível do momento.

Prossiga, você não assumiu o compromisso de não falhar. Seu compromisso é simples: fazer o melhor possível (ser quem você é com dedicação). Continue, prossiga, acredite. Vai ficando cada vez mais fácil.

Você consegue imaginar como será sua vida com certas mudanças? Com uma percepção bem diferente? Consegue imaginar-se renovado, com ânimo novo, sentindo de outro modo, tendo fortes motivações?

Pratique, pratique: um dia você se sentirá comandando a sua vida, e de verdade!!!

Vamos adiante, começar agorinha: o melhor de nós, o melhor possível.

Tenha uma segunda feira muito especial e reveladora.

Com carinho,
Lucius Augustus, IN

Hidup indah dengan akhlak terpuji (2)

Posting kali ini merupakan kelanjutan dari  Hidup indah dengan akhlak terpuji (1). Dalam Hidup indah dengan akhlak terpuji (2) tercantum hal-hal sebagi berikut : definisi atau perngetian akhlak, misi kerasulan Nabi Muhammad saw., potensi kebaikan dan keburukan manusia, dan baromater atau tolok ukur akhlak.

Dalam posting terdahulu dikatakan bahwa akhlak mulia adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sangat penting karena akhlak mulia menjadi penyebab berbedanya kita sebagai manusia dari binatang.

Namun tahukan Anda tentang pengertian Akhlak. Berikut ini adalah pengertian yang terdapat dalam bahasa Arab. Pengertian tersebut adalah :

حَالٌ نَفْسِيَّةٌ تَصْدُرُ عَنْهَا الاَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ

“Akhlak adalah suatu keadaan jiwa (hati) yang menjadi sumber munculnya perbuatan dengan mudah

Maksud dari pengertian di atas adalah bahwa akhlak menunjuk pada satu keadaan dalam jiwa seseorang yang memberikan pengaruh pada tindakannya. Dan tindakan yang muncul itu adalah dengan spontan.
Sebagai ilustrasi dari pengertian ini adalah, ketika sedang berjalan dan kaki kita terantuk batu. Lalu mulut kita mengucapkan sesuatu dengan spontan karena peristiwa tersebut, apakah kalimat yang baik atau yang buruk, maka itulah yang disebut dengan akhlak.

Contoh lain adalah, saat ada pengemis datang ke rumah untuk meminta sedekah. Tindakan spontan apa yang kemudian kita lakukan, memberi sedekah atau malah membentak dan mengusirnya. Tindakan spontan kita yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa atau kita itulah yang dinamakan akhlak. Bila tindakan dan ucapan kita baik, maka baiklah akhlak kita dan bila yang mencul dari tindakan dan ucapan kita adalah sesuatu yang buruk maka akhlak kita adalah buruk.

Akhlak yang mulia (akhlak mahmudah) merupakan misi kerasulan Muhammad saw.. artinya, nabi Muhammad saw saat diutus menjadi Nabi dan Rasul adalah dengan membawa misi akhlak ini, yaitu untuk memperbaiki akhlak dan menunjukkan jalan kepada akhlak terpuji. Misi ini tertuang dalam sebuah Hadis riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah :

اِنَّماَ بُعِثْتُ ِلاُتَمِّمَ مكَارِمَ اْلاَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia

Muhammad dipilih oleh Allah untuk menjadi nabi dan rasul dengan membawa misi di atas tidak lain dikarenakan ia sendiri memiliki akhlak atau budi pekerti yang sangat mulia. Kemuliaan akhlaknya telah diakui oleh, tidak saja dari kalangan orang yang mencintainya tetapi juga dari kalangan yang membencinya. Ketinggian dan kemuliaan akhlak Muhammad tergambar dalam surat Al-Qalam : 4

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”

Sebagai orang yang membawa misi memperbaiki akhlak, tentu sangat logis bila ia sendiri dipersyaratkan memiliki akhlak terpuji. Ibarat seorang pemberantas korupsi, bagimana mungkin dapat membersihkan negeri ini dari korupsi kalau ia sendiri adalah seorang koruptor. Dan bagaimana mungkin ia dapat menyapu dengan bersih bila sapu yang digunakan penuh dengan kotoran. Seperti KPK, maka mereka yang ada di dalamnya haruslah orang-orang yang bersih dari korupsi.

Kemulian dan keagungan pribadi Rasulullah ini disebutkan sebagai pribadi qur’ani. Maksudnya adalah bahwa pribadi dan akhlak Rasul sangat dijiwai oleh nilai-nilai luhur sebagaimana yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an. Akhlak Rasul yang qur’ani ini dijelaskan dalam hadis berikut ini :

عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبِرِينِي بِخُلُقِ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

…budi pekerti Nabi adalah Al-Qur’an (HR. Ahmad)

Manusia mempunyai dua sisi, baik dan buruk

Pada kenyataannya, manusia dibekali oleh Allah dengan potensi yang sama kuatnya. Yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat buruk. Tergantung sisi mana yang akan kuat pengaruhnya terhadap perkembangan prilaku manusia.

Manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah ilahiyah yang sama. Ia suci karena tidak membawa dosa dan kesalahan warisan dari nenek moyangnya. Perkembangan dalam dirinyalah yang membawa kepada kebaikan atau keburukan setelah dewasa nanti. Perkembangan ini diperngaruhi oleh lingkungan internalnya sendiri ataupun eksternal. Lingkungan internal adalah dorongan nafsu dan sahwat dalam diri manusia sendiri. Sementara lingkungan eksternal adalah lingkungan yang ada disekityarnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ

“tidak ada seorang anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dengan membawa fitrah ketuhanan. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya ia Yahudi, Nasrani atau Majusi...” (HR. Muslim)

Dari fitrah ilahiyah, kemudian berkembang hingga dewasanya nanti sesuai dengan keadaan dalam diri dan lingkungannya. Apakah dia mampu mengikuti petunjuk kebaikan ataukah mendurhakainya. Menjunjung tinggi budi pekerti mulai atau jatuh terjerembab dalam lubang hina kedurhakaan.

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
            
"Maka kami telah memberi petunjuk kepada manusia dua jalan mendaki (baik dan buruk)" (QS. Al-Balad : 10)

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّهاَ فَاَلْهَمَهاَ فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰهاَ

“…dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan” (QS. Asy-Syams : 7 – 8)

Dalam kontek kehidupan kita pribadi, mari kita ukur kebaikan dan keburukan kita dengan sifat-sifat Allah yang tertuang dalam asma’ul husna. Apakah tindakan kita sesuai dengan sifat-sifat-Nya tersebut atau berkebalikannya. Sebagai manusia mukmin tentu sifat-sifat Allah menjadi landasan pijak untuk berpikir, bersikap dan bertindak. Tidak sebaliknya, hidup ini sangat jauh dari sifat-sifat ilahiyah. Segala tindakan didasari oleh sahwat dan nafsu hewaniyah. Sehingga menyebabkan terdegradasinya kemanusiaan manusia.
Sebagai penutup dari posting ini, camkan sabda Nabi berikut ini :

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَانَ الاَنْصَارِىِّ قَالَ وَكَذَا قَالَ زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ الأَنْصَارِيُّ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ

"…Zaid bin Hubab berkata : aku bertanya kepada Nabi saw tentang al-birr dan al itsm. Nabi Menjawab : al-birr adalah akhlak yang terpuji. Dan al-Itsm adalah apa yang mengguncang di dadamu (hatimu) dan tidak suka diketahui orang lain" (HR. Ahmad)

عَنْ وَابِصَةَ ابن معبد... قَالَ جِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ 

"…tanyalah hatimu ! al-birr adalah sesuatu yang hati dan jiwa tenang/tentram terhadapnya. Sedangkan al-itsm adalah sesuatu yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa" (HR. Ahmad)

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ 

"…Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat melebihi akhlak yang luhur" (HR. HR. Tirmidzi)

Hidup indah dengan akhlak terpuji (1)

Manusia adalah manusia dan bukan binatang. Cara hidup manusia semestinya berbeda dengan cara binatang. Cara hidup manusia harus dilandasi dengan prinsip-prinsip ketuhanan. Dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip ketuhanan maka manusia akan memiliki akhlak terpuji.

Manusia yang hidupnya seperti binatang, tanpa terikat oleh aturan-aturan ketuhanan maka tak ubahnya ia adalah binatang. Ali Syari’ati mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi kemanusiaan dan dimensi kehewanan. Mana di antara dua dimensi itu yang mendominasi manusia, apakah dimensi kemanusiaan atau dimensi kehewanan. Bila yang mendominasi adalah dimenesi kemanusiaan maka manusia adalah manusia. Dan bila yang mendominasi adalah dimensi kehewanan, maka manusia adalah manusia hanya sebatas fisik, sedangkan rohaninya adalah binatang.

Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dia sangat berbeda dengan makhluk Allah yang lain. Apakah itu Malaikat, jin, syatan, binatang, tumbuhan atau benda-benda mati yang ada di seluruh jagad raya ini. Manusia mempunyai perbedaan dengan makhluk yang lain dikarenakan ada kesempurnaan dalam penciptaannya. Kesempurnaan manusia meliputi keseluruhan aspek yang diperlukan untuk menjadi khalifah fil ardhi (khalifah di muka bumi). Hal-hal itu antara lain adalah akal, kreatifitas, indra, nafsu, jiwa seni, dinamis, marah, sedih, gembira dan potensi-potensi lain yang memang sangat diperlukan untuk hidup di muka bumi. Kesempurnaan penciptaan manusia dikatakan dalam QS. At-Tin ayat : 4

لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sungguh Aku telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”

Namun penciptaan manusia yang menempati posisi teratas di antara makhluk-makhluk Allah yang lain tidaka akan selamanya bila manusia tidak dapat mempertahankannya. Bila manusia bertindak seperti binatang maka ia akan mengalami penurunan kualitas kemanusiaanya, nahkan hingga derajat yang paling rendah. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam QS. At-Tin ayat : 5

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

“kemudian Aku kembalikan manusia ketempat yang serendah-rendahnya”

Sungguh ironis, manusia yang dulu diposisikan oleh Allah sangat mulia dan terhormat yang karena kemuliaan dan kehormatannya Allah memerintahkan makhluk yang lain untuk sujud kepadanya kemudian mengalami degradasi kemanusiaan. Malaikat yang merupakan makhluk luar biasa juga diperintahkan untuk bersujud kepada Manusia (Adam). Perintah sujud ini termaktub dalam surat al-Baqarah : 34

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“dan ingatlah ketika Aku berkata kepada Malaikat,”bersujudlah kamu kepada Adam” maka semua Malaikat bersujud kepadanya kecuali iblis. Dia membangkan dan sombong. Dan dia termasuk golongan yang kafir”
Untuk kontek Indonesia saat ini, akhlak terpuji harus benar-benar dijadikan acuan bertindak seluruh elemen bangsa ini. Hal ini penting agar bangsa ini tidak terjerembab dalam degradasi moral yang pada akhirnya akan membawa pada tahap rendahnya dimensi kemanusiaan manusia Indonesia. Apapun istilahnya, apakah akhlak mulia, terpuji atau pendidikan karakter asal itu membawa pada tahap kemuliaan bangsa Indonesia tidak menjadi masalah. Toh, yang penting bukan istilah kata-katanya tetapi implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Bangsa Indonesia sangat membutuhkan acuan kehidupan yang menjunjung tinggi kemanusia. Bila melihat kondisi saat ini, dimana masyarakat Indonesesia telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa, akhlak mulia dan atau pendidikan karakter sangatlah diperlukan. Bias dikatakan, sebagian cara hidup bangsa ini telah menggunakan cara hidup binatang. Sebagai contoh adalah tindakan masyarakat (termasuk mahasiswa) dalam menyelesaikan masalah yang lebih cenderung menggunakan kekerasan, tawuran, saling membunuh dan sebagainya. Yang kuat memakan yang lemah, banyaknya tindakan korup, budaya kumpul kebo atau hidup bersama tanpa didasari dengan pernikahan adalah sebagian contoh lain dari prilaku binatang yang saat ini berkembang luas di masyarakat Indonesia.

Untuk itu, pembangunan manusia Indonesia harus dikembalikan kepada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu pembangunan jasmani dan rohani, fisik dan juga psikis. Pembangunan yang mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, adat ketimuran dan juga nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Pembangunan yang mengacu kepada nilai-nilai budi perkerti luhur, akhlak mulia dan karakter dan budaya bangsa.

Sikap Mukmin Terhadap Perbedaan Ibadah

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Allah menciptakan segala sesuatu dalam keadaan berbeda satu sama lain. Termasuk juga dalam ibadah, terdapat banyak ragam tata cara beribadah kepada Allah. Yang diperlukan adalah bagaimana sikap seharusnya, sebagai mukmin menghadap perbedaan ibadah tersebut.

Sebagai contoh adalah ibadah shalat. Berapa banyak kita jumpai perbedaan tata cara pelaksanaan mulai dari takbiratul ikhram hingga salam? Tentulah sangat banyak aneka ragam perbedaannya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Sangat mungkin disebabkan dasar dalil yang digunakan berbeda, atau dalil yang sama tetapi dipahami berbeda atau bahkan diterima dari sumber (ustadz) berbeda ketika dalam proses belajar.

Seseorang atau sekelompok orang tidak boleh memaksakan cara ibadahnya adalah satu-satunya yang benar sesuai sunnah kepada orang lain. Yang benar adalah cara yang ia gunakan dan cara yang digunakan oleh orang lain adalah salah. Apalagi cara yang ditempuh dalam menyalahkan pihak lain menggunakan cara-cara kekerasan. Sungguh tidak islami.

Seseorang atau sekelompok orang yang ingin mendominasi kebenaran sangat mungkin telah mengalami kesombongan beragama dan juga intelektual. Bagaimana tidak, kebenaran yang sesungguhnya hanya milik Allah kemudian dia klaim menjadi miliknya. Keanekaragaman warna dan tata cara ibadah yang memang diberi peluang oleh nash baik Al-Qur’an ataupun Hadits kemudian dipersempit hanya menjadi satu macam menurut versinya. Jelas itu adalah kesombongan, karena ia bertindak di atas nash yang merupakan wewenang Allah dan Rasulnya. Ketika Allah dan Rasul-Nya sebagai pihak yang berkompeten kemudian direduksi olehnya jelas itu adalah kesombongan yang luar biasa.

Upaya untuk mendominasi kebenaran terkadang dilakukan dengan cara memperhadapkan pihak yang berbeda dengan pemerintah. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah perbedaan waktu awal puasa, idul fitri dan idul adzha. Cara yang digunakan dalam hal ini adalah dengan mengatakan “tidak taat kepada uli al amri”. Mereka gunakan ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ...
untuk menyerang pihak lain.

Kebiasaan buruk ini harus dihentikan. Mari kita kembali kepada fitrah, yaitu adanya perbedaan dalam segala aspek kehidupan kita—termasuk dalam hal ibadah. Mari kita bertindak lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan tersebut. Memahami dan mengerti akan adanya perbedaan sekaligus menjunjung tinggi sikap toleran adalah sebuah tindakan tepat dan dewasa.

Bagaimana Sikap Mukmin Terhadap Perbedaan Ibadah yang semestinya menjadi pilihan. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman untuk mensikapi terjadinya perbedaan ibadah.

1. Bijak mensikapi perbedaan

Ada satu kasus yang dapat dijadikan contoh teladah menghadapi perbedaan tersebut. Di mana kasus ini tentang shalat ashar. Diceritakan, ketika selesai perang Ahzab atau perang Khandaq mereka pulang ke rumah masing-masing. Saat pulang mereka dipesan oleh Rasul untuk tidak shalat ashar kecuali telah sampai di Bani Quraidhah. Instruksi rasul sudah sangat jelas. Apa yang terjadi? Ternyata, walaupun instruksinya jelas tetap saja terjadi perbedaan pelaksanaan perintah Rasul tersebut. Ketika tiba waktu ashar dan belum sampai di Bani Quraidhah terjadi perbedaan pendapat. Satu orang melaksanakan shalat ashar walau belum sampai di kampung  Bani Quraidhah dan yang satu lagi menunggu hingga tiba di sana. Terjadi perdebatan sengit antar kedua kubu ini. Kemudian ketika sampai di hadapan Rasul, mereka mengadukan persoalan tersebut untuk mencari pembenaran. Dan sikap Rasul adalah membenarkan kedua-duanya dan tidak menyalahkan salah satu dari mereka.

عن بن عمر قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لنا لما رجع من الأحزاب لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة فأدرك بعضهم العصر في الطريق فقال بعضهم لا نصلي حتى نأتيها وقال بعضهم بل نصلي لم يرد منا ذلك فذكر للنبي صلى الله عليه وسلم  فلم يعنف واحدا منهم البخاري في صحيحه ج1/ص321 ح904

Contoh lain adalah yang terjadi dalam hadis berikut ini :

عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِيَ اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Diriwayatkan daripada Umar bin al-Khattab r.a katanya: Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surah al-Furqan tidak sama dengan bacaanku yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w kepadaku. Hampir-hampir aku mencela beliau ketika masih dalam pembacaannya. Namun aku masih dapat menahan kemarahanku ketika itu. Setelah selesai aku mendekati Hisyam lalu ku pegang kain serbannya. Kemudian aku mengajaknya menghadap Rasulullah s.a.w. Aku berkata kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya tadi aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan tidak sebagaimana yang kamu bacakan kepadaku. Rasulullah s.a.w bersabda: Suruhlah dia membacanya sekali lagi. Hisyam pun memenuhi permintaan Rasulullah s.a.w tersebut. Dia membaca sebagaimana sebelumnya. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Memang demikianlah surah itu diturunkan. Kemudian baginda menyuruhku pula: Bacalah! Aku pun membacanya. Baginda pun bersabda: Demikianlah surah itu diturunkan. Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf (kaedah bacaan) maka kamu bacalah yang mudah bagi kamu (HR. Abu dawud)

2.  Memahami prinsip-prinsip Ibadah
a. Ada dasar hukumnya

عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَة قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم : ... فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحَدِّثَاتُ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ (رواه الشيخان)

…wajib atasmu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrasidin al-mahdi, berpegangteguhlah kamu atasnya dengan kuat. Dan berhati-hatilah akan mengada-adakan urusan (ibadah), karena sesungguhnya setiap bid’ah salah. (HR. Bukhari-Muslim)

b. Berdasarkan ilmu ( QS. Al-Isra’ : 36)

وَلاَتَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ج اِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰـۤئِـكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

   c. Yakin (Kaidah Fiqh)
اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِشَكٍ
Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan.

   d. Ikhlas

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ  وَإِنَّمَا ِلكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوٰى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخارى و مسلم)

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab ra. bahwa dia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, segala amal perbuatan itu berdasarkan niatnya, sedangkan masing-masing orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa (berniat) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (bernilai) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa (berniat) hijrah karena ingin mendapatkan keduniaan atau demi seorang wanita yang ingin dinikahinya maka (nilai) hijrahnya adalah sebagaimana yang dia tuju (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Bagiku amalku dan bagimu amalmu (QS. Al-Baqarah : 139)

قُلْ أَتُجَاۤجُّوْنَنَا فِي اللهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَاۤ أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُحْلِصُوْنَ

Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.

A revolução da Espiritualidade Prática (parte I)



Se escolher mudar a sua vida, quando se sentir disposto a mudar seus hábitos, o que fará a máxima diferença é a consciência.  Você precisará estar consciente do que aprecia e do que não aprecia, do que é benéfico e do que não é para fazer escolhas e começar esta revolução.

Além de ser consciente do que deseja mudar, é preciso se sentir disposto ao exercício prático, afinal é a prática que faz a diferença. Mudanças resultam de ações, de prática, de exercícios conscientes e persistentes.

O que aprendemos foi através da repetição e da prática, como falar, andar, discordar, rejeitar, temer etc., foi a repetição, a prática que nos proporcionou a habilidade que possuímos, não importa se esta habilidade, hoje, é favorável ou uma tremenda furada para nós...

...bem, o que achamos que somos hoje, quem pensamos ser neste exato momento, é o resultado de muita prática, mesmo inconsciente.

Quando praticamos algo diferente daquilo que estamos acostumados a praticar, nossa vida toda começa a mudar, contudo, o que é habitual e mecanizado gera uma enorme força de resistência, e, por isso, é tão difícil mudar.

Então, vamos simplificar ao máximo, para tornar viável a mudança em nossas vidas. Claro, se é isso que desejamos: mudar algo em favor de nossa própria felicidade.

Primeiro passo: consciência do que é agora e consciência do que desejamos que seja.
Segundo passo: assumir a escolha de praticar aquilo que queremos que seja (o novo).
Terceiro passo: Assumida a escolha, é hora de praticar.
Quarto passo: praticar
Quinto passo: praticar
Sexto passo: praticar e praticar

Você já deve imaginar qual é o sétimo passo, não é mesmo? Hehehe... Peguei você!!!

Sétimo passo: ‘o grande segredo’.

Como assim? Qual é o grande segredo? O que é que pode ser tão importante para ser cercado de mistério? O que poderá fazer tamanha diferença no processo de mudança? Será que o Lucius Augustus está brincando conosco?

Não, amigos, é bem sério. Há um passo que é muito, muito produtivo; um passo que faz enorme diferença.

Mas isso eu conto no próximo post...

Até segunda-feira, amigos! Tenham um domingo muito gostoso!

Abraços,

Lucius Augustus, IN

Acreditar e Agir

Ao partir do ‘acreditar’ em um ideal de mundo fraterno e espiritualizado, principiamos com um passo importante nesta nossa linda jornada de construção coletiva.
 
Mas acreditar, tão somente acreditar, em um mundo no qual impera o individualismo, um mundo de egos e agendas independentes, um mundo no qual a interdependência, o bem de todos, a igualdade e a liberdade são ignoradas facilmente e a todo o momento, resultará, para nós, muito provavelmente, em um sentimento de frustração e uma atitude cínica.
É inegável que o nosso acreditar nos beneficia e favorece a ação ordenada. Mas, isoladamente, o acreditar não gerará as mudanças que tanto queremos.

É necessário que associemos ao nosso acreditar em um mundo melhor, a nossa ação consciente somada à compreensão de igualdade e liberdade, e nossas ações precisarão partir de nossos corações sinceros e nossas mentes pacificadas, em um sentido de benefício comum, pelo qual todos possam usufruir da bem aventurança.

Fraterno Abraço
Lucius Augustus

Peran dan Fungsi Keluarga

Dalam posting kali ini, materi dakwah dan Kultum yang diberikan adalah peran dan fungsi serta tugas antar anggota keluarga. Hal ini saya anggap penting karena menyangkut hubungan kekeluargaan dan atau silaturahim antar mereka maupun dengan lingkungan sekitarnya. Di tengah-tengah segala aktifitas yang menyita waktu, tenaga maupun pikiran terkadang manusia lupa akan tugas, peran dan fungsinya sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu mereka harus memahaminya dengan sebaik-baiknya.

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat kita. Pembentukannya diawali dengan proses pernikahan. Dan minimal terdiri dari suami dan istri. Karena proses pembentukan keluarga harus diawali dengan pernikahan, maka dua orang laki dan perempuan yang tinggal serumah tidak dinamakan keluarga. Sebutan bagi mereka adalah “kumpul kebo”. Dari pernikahan sah mereka kemudian lahirlah anggota keluar lain yaitu anak. Keadaan ini kemudian terus berkembang dan berkembang. Sebagaimana firman Allah :

يَا اَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاۤءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاۤءَلُونَ بِهِ وَاْلاَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa : 1)

Keluarga harus dijaga keutuhannya dan jangan sampai tercerai berai oleh karena satu keadaan. Keutuhan, kekompakan dan persatuan harus dijunjung tingga dalam keluarga dan juga harus dinomorsatukan. Peninggalan atau harta warisan orang tua dan juga persoalan-persoalan lain jangan sampai menjadi sebab hilangnya keutuhan sebuah keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal di atas dalam faktanya sering memicu konflik internal.

Kaum muslimin harus tahu bahwa memutus ikatan kekeluargaan (selaturrahim) merupakan kejahatan. Dan kejahatan yang berupa memutus ikatan persaudaraan ini identik dengan kejahatan membuat kerusakan di muka bumi yang dilakukan oleh para penguasa. Terhadap mereka Allah mengancam dengan memberikan laknat dan juga membuat tuli telinga dan membutakan mata mereka. Na’udzu bi Allah! Firman Allah :

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُواۤ أَرْحَامَكُمْ. أُولَـۤئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (QS. Muhammad : 22-23)

Agar kita tidak mendapat laknat dan siksa Allah maka hindari membuat kerusakan di muka bumi dan memutus silaturahim. Mari jalankan peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga dengan bertindak :

Pertama, terhadap anggota keluarga yang sudah meninggal maka kita harus mendo’akan. Salah satu dari tiga hal yang tidak akan putus dari orang yang sudah meninggal adalah do’a anak shaleh terhadap orang tua yang sudah almarhum. Sebagaimana Hadis :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ : - إِذَا مَاتَ اَلْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ

Bila manusia meninggal putuslah darinya segala amal kecuali dari tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akannya (HR. Muslim)

Kedua, peran dan fungsi yang harus dilakukan adalah menjaga silaturrahim. Silaturahim adalah salah satu indikator keimanan seseorang terhadap Allah dan Hari Akhir, di samping indikator-indikator lain. Seseorang yang tidak dapat menjaga keutuhan dan hubungan harmonis antar anggota keluarga berarti dia telah kehilangan salah satu indikator kimanannya terhadap Allah dan Hari Akhir.

عن ابى هريرة قال قال رسول الله : وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka jalinlah persaudaraan (HR. Bukhari-Muslim)

Ketiga, peran dan fungsi yang harus dijalankan adalah menjaga keluarga dari api neraka. Seseorang yang berupaya menyelamatkan diri dari api neraka tentu tidaklah cukup sebelum seluruh anggota keluarganya terbawa selamat. Seorang ayah sangat tekun beribadah kepada Allah, baik yang sunah maupun yang wajib selalu dkerjakan dengan baik karena berharap selamat dari api neraka, tetapi anak dan istrinya, kakak dan adiknya dan sebagainya tidak diajak serta beribadah kepada Allah maka tidaklah cukup baginya. Hal ini disebabkan karena ia tidak dapat membawakan peran dan fungsinya dengan baik sebagai bagian dari sebuah keluarga.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim : 6)

Keempat, yaitu saling tolong menolong. Dengan orang lain yang bukan merupakan keluarga itupun diwajibkan tolong menolong, apalagi dengan sesama anggota sendiri. Kalau bukan saudara siapa lagi yang pertama memperhatikan nasib saudara. Harapan pertolongan tentu tidak dijatuhkan kepada orang lain, akan tetapi saudara sendiri. Maka dari itu, biasakanlah untuk selalu tolong menolong.

Jangan sampai hubungan keluarga sama sekali tidak pernah tegur sapa apa lagi saling tolong menolong. Ibarat pepatah jawa : “dadi godhong emoh nyuwek, dadi banyu emoh nyawuk”.

...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللّٰهَ إِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah : 2)

Bagaimana Sebaiknya Bila Sedang Marah?

Semua orang mempunyai pembawaan marah. Dan bagaimana sikap seharusnya bila kita sedang dalam keadaan marah.

Apa yang menyebabkan kita marah? Marah terkadang muncul begitu saja. Jangankan ada sebab yang besar, karena hal kecil dan sepelepun terkadang membuat kita marah. Marah bias muncul di mana saja. Bisa di rumah, di kantor, di tempat umum atau bahkan di tempat yang seharusnya tidak boleh marah. Keadaan yang memancing emosi kita ini ada banyak macamnya. Misalnya saja lapar, cemas, keadaan tidak seperti yang diharapkan, dan sebagainya.

Akibat Marah dapat menyebabkan munculnya hormon noradrenalin. Bersama dengan hormon adrenalin, hormon noradrenalin adalah senyawa beracun dan memicu terjadinya penyempitan pembuluh darah paling parah dan bahkah dapat berakibat pada penyumbatan pembuluh darah. Maka orang yang marah dan cemas biasanya nafas tersengal-tersengal dan dada terasa sesak. Tentu ini sangat bernahaya. Maka dari itu kita harus mampu memanage marah dalam diri masing-masing.

Pengertian marah

Marah didefinisikan sebagai :
الْغَضَبُ هُوَ غَلَيَانُ دَمِ الْقَلْبِ لِطَلَبِ الاِنْتِقَامِ

Marah adalah mendidihnya darah karena keinginan untuk menghukum.

Menurut pengertian di atas, marah adalah keinginan untuk “MENGHUKUM”. Maksudnya adalah perasaan ingin mencelakai, membalas dan merugikan pihak lain. Bila perasaan ini terasa teramat sangat atau marah yang luar biasa maka disebut dengan al-ghaidh.

اَلْغَيْظُ هُوَ اَلغَضَبُ الشَّدِيْدُ

Al-Ghaidh adalah kemarahan yang sangat. (Syaikh Ibnu Taimiyah dalam majmu’ fatawa).

Karena marah mempunyai akibat yang sangat buruk, maka marah berlebihan dan terhadap hal-hal yang seharusnya tidak pantas marah adalah tidak diperbolehkan. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ : لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَاراً، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ [رواه البخاري]

Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. : (Ya Rasulallah) nasihatilah saya. Beliau bersabda : Jangan kamu marah. Seseorang itu menanyakan hal itu berkali-kali. Maka beliau bersabda : Jangan engkau marah. (HR. Bukhori )

Coba bayangkan, apa yang terjadi bila seorang hakim dalam keadaan (sangat) marah kemudian mengadili perkara. Dan kita sudah dengan sangat jelas menyaksikan berbagai akibat yang ditimbulkan sifat marah ini. Tawuran siswa dan mahasiswa, tawuran masyarakat, pembunuhan dan bahkan peperangan selalu diawali dengan marah. Maka dari itu, marah harus benar-benar dikendalikan dengan benar.

Paling tidak ada empat hal yang harus dilakukan apabila seserang sedang marah. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :

1.  beristi’adzah kepada Allah

عنْ سُلَيْمانَ بْنِ صُرَدٍ رضي اللَّه عنهُ قال : كُنْتُ جالِساً مع النَّبِي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، ورجُلان يستَبَّانِ وأَحدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ وانْتفَخَتْ أودَاجهُ فقال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « إِنِّي لأعلَمُ كَلِمةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عنْهُ ما يجِدُ ، لوْ قَالَ : أَعْوذُ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ذَهَبَ عنْهُ ما يجدُ . فقَالُوا لَهُ : إِنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ : «تعوَّذْ بِاللهِ مِن الشَّيَطان الرَّجِيمِ »البخاري

Sulaiman bin Shurad ra. Berkata : aku duduk bersama Nabi saw saat ada dua orang saling mencaci  dan salah seorang memerah mukanya dan mengembang urat-urat lehernya. Maka Rasulullah bersabda : sungguh aku tahu satu kalimat yang sekiranya dibaca seseorang maka akan hilang apa yng dijumpainya. Sekiranya membaca اعوذ بالله من الشيطان الرجيم maka hilanglah apa yang dijumpainya. Maka mereka berkata kepadanya : sesungguhnya Nabi saw bersabda : berlindunglah kepada Allah dari syaitan yang terkutuk (HR. Bukhari)

2. berwudlu

عَنْ عَطِيَّةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تَطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ  فَلْيَتَوَضَّأْ

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya marah adalah dari syaitan, syaitan diciptakan dari api, dan api padam dengan air. Maka jika satu di antaramu marah hendaklah berwudlu. (HR. Abu Dawud)

3. Diam dan menahan diri

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : عَلِّمُوا وَيَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا - قَالَهَا ثَلاَثًا - فَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ (رواه ابو داود)

Rasulullah saw bersabda : ajarlah, permudahlah dan jangan mempersulit (diucapkan 3 X). apabila engkau marah maka diamlah (HR. Dawud)

4. duduk dan berbaring

عن أبي ذر قال إن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  قَالَ لَنَا ثُمَّ إِذَا   غَضِبَ أَحَدُكُمْ  وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ رواه البخاري

Rasul bersabda : bila satu di antaramu marah saat berdiri maka duduklah maka lenyaplah marahnya. Dan jika tidak lenyap maka berbaringlah.  (HR. Bukhari)

Sibi Scribere*

Que meus escritos possam produzir ao menos um sopro de alento; um sorriso, quem sabe, do coração que hora me acompanha por estas linhas...
Como expressar a gratidão e o reconhecimento pelo simples fato de existir, se Nesta Simplicidade encontra-se grandeza incompreensível, incognoscível?

Oh Sublime Essência que a tudo anima, Alma pujante e infinita da qual compartilho uma fagulha, que se põe em movimento, Centelha Divina, como meu SER... Agora, o meu amor é totalmente dedicado a Ti. Agradeço em vibrante oração, e doces e luminosas lágrimas correm pela minha face, reveladas como pedras preciosas por minha imaginação, que agora comunga deste profundo sentimento do Sagrado...
Como expressar tamanho reconhecimento, por ser de Origem Sagrada, de Essência Sagrada... Exatamente como todos aqueles que, caminhando pela superfície da Terra, ignoram ou não se apercebem da condição divinal de sua própria ascendência em Ti?

Vejo o sofrimento de tantos, e, assim como eu, carecem de Teu amparo. Mas como lembrar o meu irmão, que em Teus Santíssimos braços, ele encontra repouso? E minha irmã, que chora copiosas lágrimas, amargas de dor... Como fazê-la crer que de Ti nunca se separou? Que com Teu Amor pode se sentir aquecida; Que com Teu Saber pode se sentir iluminada?

Cada qual tem seu momento, bem sei... Tive os meus momentos, e tantos outros terei, que desconheço. Mas sei que sou efeito, e causa do meu próprio efeito, e ainda mais, origem que põe esta causa em movimento.

Compreendo que não há castigo e nem punição na aplicação da Lei. Há tão somente ajuste. Compreendo que causas se alinham aos efeitos, simplesmente para a manutenção do Equilíbrio Universal. E, se minha compreensão não alcança os porquês de tantas expressões de karma, isso não invalida a Lei... sim, sim.... Sinto, Amada Substância que permeia Tudo e todas as coisas, que trata-se inicialmente de fé. Trata-se de escolhemos acreditar ou não acreditar.

Mas que diferença fantástica Sua generosidade e Amor Infinitos fazem, quando Os percebemos por meio de nosso acreditar!!!! Sorver o néctar de um fruto maduro, percebendo cada momento, cada detalhe, é tão mais formidável do que apenas comê-lo... A fé faz uma enorme diferença, agora compreendo...

E nos momentos de grandes dificuldades, nos momentos em que nossas forças são questionadas pela nossa racionalidade, e ainda tendemos à indignação e à revolta, é que mais precisamos reconhecer que de Ti não nos separamos. Mais precisamos saber que TUDO é concluído em perfeita harmonia.

Para que um início harmonioso se movimente, um fim harmonioso estanca. Por isso tudo acaba bem, como o dito popular nos ensinou. No Movimento Continuo Universal, um início sucede um término. Na expansão, que se mostra harmoniosa e bela, houve uma retração igualmente harmoniosa e bela, é Lei.

Neste momento, encontro apoio na esperança, na fé, na confiança e na certeza de que tudo passa, e de que não estou só. Obrigado, Obrigado...

Amiga...amigo... vem comigo...

Lucius.
*Expressão latina que significa “escrever para si”.

E Renato Russo cantava “Temos nosso Próprio tempo”

Já notou como o tempo passa rápido? Já virou lugar-comum ouvir algo como “puxa, e o fim de ano já esta ai!!!! como o tempo passa rápido, não?". Podemos falar dos vários tempos, com destaque para o tempo cronológico - aquele do relógio - e o tempo psicológico - aquele que a gente sente mais curto numa festa e mais longo numa fila de supermercado. Mas não vamos tratar disso nesse post.

Não, não... O tempo passa rápido? É isso tio Lucius Augustus? Não Amigão, é você que está muito ocupado com seus assuntos na vida, que não percebe... “a-pró-pria-vi-da”.

Como assim, o que quero dizer com isso? Simples: segunda-feira, semana que começa, compromissos, afazeres, rotina, final de semana...

Passou... Segunda-feira, semana que começa, rotina... Tudo sempre tão igual. Até quem tem um tempinho para assistir TV, reconhece que “jaaa é final de ano?”.

É, amigas e amigos, há concentração no trabalho, concentração nos estudos, concentração nos afazeres, concentração no entretenimento... e vai-se vivendo, vivendo, sem perceber... Envelhece e morre... A vida passa e a gente nem percebeu.

Mas não é assim mesmo que se vive, Lucius?

Não queridos amigos. Não precisa ser assim. A concentração é fantástica, quando associada à percepção consciente. Desse modo, a vida mecanizada, robotizada, eficiente em suas engrenagens, mecanismos, escolhas inconscientes, concentração mecânica, atenção desatenta, pode ser substituída por uma vida dinâmica, viva, colorida, pulsante, plena de percepção, de movimento, de liberdade, de responsabilidade e atuação conscientes, a cada pulsação, a cada inspiração!

A vida é muito mais sublime do que podemos imaginar, mas geralmente precisamos ser altamente impactados para sairmos – e pelo susto - da vida mecanizada.

O que te faz feliz? Sério mesmo, seriíssimo: o que você realmente sente que te fará feliz?

Respire profundamente, sinta o ar plenamente em seus pulmões... uma respiração gostosa. Se pergunte: o que você verdadeiramente quer colher?

Já sentiu? Já sabe? Então plante!!! Tudo é possível. A vida é um milagre maravilhoso e TODAS as possibilidades são suas.

Ótima terça-feira a todos,
Lucius Augustus

Sumpah Pemuda

Peran dan tugas pemuda

materi dakwah, teks sumpah pemuda asli
Sumpah Pemuda

Sebentar lagi tanggal 28 Oktober. Dan Hari Sumpah Pemuda sebentar lagi akan diperingati pula. Setiap berada di tanggal tersebut semuanya tentu ingat akan peran yang dimainkan oleh para pemuda Indonesia. Peran yang sungguh tidak kecil dan ringan.

Peran yang mereka mainkan sungguh mampu menjadi titik balik dari menyatunya seluruh perjuangan anak bangsa. Setelah sekian ratus tahun dijajah dan diceraiberaikan oleh para kolonialis, 28 Oktober 1928 menjadi awal bersatunya seluruh elemen bangsa (khususnya pemuda) dengan meninggalkan sentiment dan atribut primordial sectarian. Sungguh sebuah perjuangan yang bila melanjutkanya adalah sebuah kenicayaan.

Bila menengok sejarah, perjuangan apapun tidak dapat dipisahkan dari peran serta kaum muda. Perjuangan melawan penjajah, perjuangan melawan kediktatoran rezim, perjuangan melawan ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan dan perjuangan menanamkan nilai-nilai universal.

Kita tentu ingat nama Ahmad Dahlan, Sudirman, Sukarno, Hatta, dan nama-nama lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Mereka adalah anak-anak muda hebat yang berfikir dan bertindak melewati batas usia dan zamannya. Sungguh luar biasa apa yang mereka lakukan.

Dalam masa-masa lampu kita mengenal sejarah ashabul kahfi, sekelompok pemuda yang berani melawan pemimpin lalim. Ibrahim yang berani melawan Namrudz. Musa yang menentang kesewenang-wenangan Firaun dan dominasi Mesir atas Yahudi. Muhammad saw yang memiliki sense of social terhadap persoalan kaum Quraish.

Kembali dalam kontek Indonesia, betapa kaum muda mampu menumbangkan rezim Suharto yang telah berkuasa selama kurang lebih tiga dekade.

Mengapa mereka menjadi demikian hebat. Kehebatan mereka tentu dipengaruhi oleh idealism yang tinggi. Idealism yang berupa perjuangan menegakkan keadilan, kebebasan demokrasi dan kebenaran. Dan masih ditambah dengan kepekaan yang luar biasa terhadap berbagai persoalan yang ada di sekitarnya.

materi dakwah, konggres pemudaSaat ini berbagai persoalan menggelayut di tengah-tengah masyarakat dan bangsa. Persoalan ketidakadilan secara hukum, ketimpangan ekonomi, korupsi, dekadensi moral dan hilangnya jati diri bangsa  adalah fakta yang harus memancing kepekaan pemuda saat ini. Pemuda jangan berkutat hanya pada hal-hal kecil dalam dirinya tanpa bertindak untuk kepentingan sekitarnya. Pemuda (termasuk pelajar dan mahasiswa) harus bertindak lebih dewasa dalam menghadapi masalah pribadi. Harus membiasakan berfikir dan bertindak rasional dan logis.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda harus mampu dijadikan pelajaran berharga untuk lebih meningkatkan persatuan dan semangat nasionalisme. Sumpah Pemuda harus mampu dijiwai agar tidak melakukan tidak destruktif dan anarkhis. Sumpah Pemuda juga harus lebih dapat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, antar pemuda dan masyarakat. Dalam semangat Sumpah Pemuda pula harus dihentikan segala tindak kekerasan dan tawuran.

Pemuda harus mampu berprestasi. Biarlah prestasi yang diraih oleh para pemuda dahulu menjadi bagian dari kelebihan mereka. Sekarang, para pemuda harus mampu menciptakan prestasinya sendiri.

Ali bin Abi Thalib berkata :

لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِيْ وَلٰكِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَأَنَاذَا


“Bukanlah pemuda, orang yang mengatakan ini (prestasi) bapakku, tetapi pemuda adalah orang yang mengatakan ini (prestasi) aku”

Tente Outra Vez

Este é um momento de retomada, de reinício.

Por qual motivo, justamente, este momento? Por que, não ontem e nem amanhã? Porque é exatamente Agora que você esta percorrendo estas linhas; é justamente neste momento, neste solene momento, que você pode dizer "eu sinto, eu quero, eu consigo, eu persevero!".

Parafraseando Raul seixas em sua música ‘tente outra vez’, é com disposição e coração acelerado que eu afirmo: levante sua Mão sedenta e recomece a andar, pois nada acabou, e queira... Deseje profundamente, que você será capaz de sacudir o mundo.

Me animo ao lhe dizer que se há vida, há possibilidades. E todas as possibilidades são suas. TODAS!

Levante sua cabeça, e mesmo com pernas trêmulas, ande; com mãos trêmulas escreva as linhas da sua vida.

Acredite: tudo pode ser além do que já é. Há milhões e milhões de mundos e vidas, e nos costumamos a olhar basicamente para a nossa, como se fosse o único mundo, a única realidade. Mas não é. Pense nisso.

Se você quer transformar a sua vida, tendo a causalidade (lei do karma) como aliada, considere as infinitas possibilidades e amplie seu mundo em sua mente (isso mesmo! É onde tudo começa neste plano). Esta é sua tela, seu caderno, sua prancheta, seu mármore. É ai que a sua Obra de Arte começa.

Então, vamos em frente?

Que sua segunda-feira seja espetacular,

Do amigo,
Lucius Augustus, IN