Sikap Mukmin Terhadap Perbedaan Ibadah

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Allah menciptakan segala sesuatu dalam keadaan berbeda satu sama lain. Termasuk juga dalam ibadah, terdapat banyak ragam tata cara beribadah kepada Allah. Yang diperlukan adalah bagaimana sikap seharusnya, sebagai mukmin menghadap perbedaan ibadah tersebut.

Sebagai contoh adalah ibadah shalat. Berapa banyak kita jumpai perbedaan tata cara pelaksanaan mulai dari takbiratul ikhram hingga salam? Tentulah sangat banyak aneka ragam perbedaannya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Sangat mungkin disebabkan dasar dalil yang digunakan berbeda, atau dalil yang sama tetapi dipahami berbeda atau bahkan diterima dari sumber (ustadz) berbeda ketika dalam proses belajar.

Seseorang atau sekelompok orang tidak boleh memaksakan cara ibadahnya adalah satu-satunya yang benar sesuai sunnah kepada orang lain. Yang benar adalah cara yang ia gunakan dan cara yang digunakan oleh orang lain adalah salah. Apalagi cara yang ditempuh dalam menyalahkan pihak lain menggunakan cara-cara kekerasan. Sungguh tidak islami.

Seseorang atau sekelompok orang yang ingin mendominasi kebenaran sangat mungkin telah mengalami kesombongan beragama dan juga intelektual. Bagaimana tidak, kebenaran yang sesungguhnya hanya milik Allah kemudian dia klaim menjadi miliknya. Keanekaragaman warna dan tata cara ibadah yang memang diberi peluang oleh nash baik Al-Qur’an ataupun Hadits kemudian dipersempit hanya menjadi satu macam menurut versinya. Jelas itu adalah kesombongan, karena ia bertindak di atas nash yang merupakan wewenang Allah dan Rasulnya. Ketika Allah dan Rasul-Nya sebagai pihak yang berkompeten kemudian direduksi olehnya jelas itu adalah kesombongan yang luar biasa.

Upaya untuk mendominasi kebenaran terkadang dilakukan dengan cara memperhadapkan pihak yang berbeda dengan pemerintah. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah perbedaan waktu awal puasa, idul fitri dan idul adzha. Cara yang digunakan dalam hal ini adalah dengan mengatakan “tidak taat kepada uli al amri”. Mereka gunakan ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ...
untuk menyerang pihak lain.

Kebiasaan buruk ini harus dihentikan. Mari kita kembali kepada fitrah, yaitu adanya perbedaan dalam segala aspek kehidupan kita—termasuk dalam hal ibadah. Mari kita bertindak lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan tersebut. Memahami dan mengerti akan adanya perbedaan sekaligus menjunjung tinggi sikap toleran adalah sebuah tindakan tepat dan dewasa.

Bagaimana Sikap Mukmin Terhadap Perbedaan Ibadah yang semestinya menjadi pilihan. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman untuk mensikapi terjadinya perbedaan ibadah.

1. Bijak mensikapi perbedaan

Ada satu kasus yang dapat dijadikan contoh teladah menghadapi perbedaan tersebut. Di mana kasus ini tentang shalat ashar. Diceritakan, ketika selesai perang Ahzab atau perang Khandaq mereka pulang ke rumah masing-masing. Saat pulang mereka dipesan oleh Rasul untuk tidak shalat ashar kecuali telah sampai di Bani Quraidhah. Instruksi rasul sudah sangat jelas. Apa yang terjadi? Ternyata, walaupun instruksinya jelas tetap saja terjadi perbedaan pelaksanaan perintah Rasul tersebut. Ketika tiba waktu ashar dan belum sampai di Bani Quraidhah terjadi perbedaan pendapat. Satu orang melaksanakan shalat ashar walau belum sampai di kampung  Bani Quraidhah dan yang satu lagi menunggu hingga tiba di sana. Terjadi perdebatan sengit antar kedua kubu ini. Kemudian ketika sampai di hadapan Rasul, mereka mengadukan persoalan tersebut untuk mencari pembenaran. Dan sikap Rasul adalah membenarkan kedua-duanya dan tidak menyalahkan salah satu dari mereka.

عن بن عمر قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لنا لما رجع من الأحزاب لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة فأدرك بعضهم العصر في الطريق فقال بعضهم لا نصلي حتى نأتيها وقال بعضهم بل نصلي لم يرد منا ذلك فذكر للنبي صلى الله عليه وسلم  فلم يعنف واحدا منهم البخاري في صحيحه ج1/ص321 ح904

Contoh lain adalah yang terjadi dalam hadis berikut ini :

عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِيَ اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Diriwayatkan daripada Umar bin al-Khattab r.a katanya: Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surah al-Furqan tidak sama dengan bacaanku yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w kepadaku. Hampir-hampir aku mencela beliau ketika masih dalam pembacaannya. Namun aku masih dapat menahan kemarahanku ketika itu. Setelah selesai aku mendekati Hisyam lalu ku pegang kain serbannya. Kemudian aku mengajaknya menghadap Rasulullah s.a.w. Aku berkata kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya tadi aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan tidak sebagaimana yang kamu bacakan kepadaku. Rasulullah s.a.w bersabda: Suruhlah dia membacanya sekali lagi. Hisyam pun memenuhi permintaan Rasulullah s.a.w tersebut. Dia membaca sebagaimana sebelumnya. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Memang demikianlah surah itu diturunkan. Kemudian baginda menyuruhku pula: Bacalah! Aku pun membacanya. Baginda pun bersabda: Demikianlah surah itu diturunkan. Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf (kaedah bacaan) maka kamu bacalah yang mudah bagi kamu (HR. Abu dawud)

2.  Memahami prinsip-prinsip Ibadah
a. Ada dasar hukumnya

عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَة قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم : ... فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحَدِّثَاتُ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ (رواه الشيخان)

…wajib atasmu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrasidin al-mahdi, berpegangteguhlah kamu atasnya dengan kuat. Dan berhati-hatilah akan mengada-adakan urusan (ibadah), karena sesungguhnya setiap bid’ah salah. (HR. Bukhari-Muslim)

b. Berdasarkan ilmu ( QS. Al-Isra’ : 36)

وَلاَتَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ج اِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰـۤئِـكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

   c. Yakin (Kaidah Fiqh)
اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِشَكٍ
Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan.

   d. Ikhlas

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ  وَإِنَّمَا ِلكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوٰى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخارى و مسلم)

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab ra. bahwa dia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, segala amal perbuatan itu berdasarkan niatnya, sedangkan masing-masing orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa (berniat) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (bernilai) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa (berniat) hijrah karena ingin mendapatkan keduniaan atau demi seorang wanita yang ingin dinikahinya maka (nilai) hijrahnya adalah sebagaimana yang dia tuju (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Bagiku amalku dan bagimu amalmu (QS. Al-Baqarah : 139)

قُلْ أَتُجَاۤجُّوْنَنَا فِي اللهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَاۤ أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُحْلِصُوْنَ

Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.