Hukum Badal Haji atau Haji Amanat

Masalah hukum Islam yang menjadi topik posting kali ini adalah terkait dengan badal haji atau haji amanat bagi orang yang sudah meninggal. Hal-hal yang dibahas dalam posting ini adalah hukum badal haji atau haji amanah, waktu dan siapa yang boleh melaksanakan badal haji. 

Beberapa kesempatan yang lalu saya ditanya tentang bolehkah badal haji atau haji amanat? Bagaimana caranya? dan karena pertanyaan ini saya memposting tema ini. Dan kebetulan pula belum lama berselang saya telah menyampaikan dalam Majlis Ta'lim di masjid kampung saya.

Ibadah haji telah selesai. Sebagian dari para tamu Allah telah kembali ke tanah air. Namun masih ada masalah yang ditanyakan jamaah pengajian tempat saya, yaitu seputar topik di atas.

Pengertian Badal haji atau haji amanat adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun karena karena alasan tertentu, orang yang ersangkutan uzur (berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah tersebut diwakilkan kepada orang lain.

Badal haji ini menjadi masalah hukum Islam karena ada beberapa ayat AI-Qur'an yang dapat difahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri. Maksudnya adalah, seseorang tidak da­pat mendapatkan pahala dari peribadatan orang lain. Atau seseorang tidak bisa melakukan suatu peribadatan untuk orang lain dan pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain.

Tetapi ada juga Hadits Nabi saw yang menerangkan bahwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya yang telah uzur baik karena sakit, usia tua atau telah meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji.

Adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang dimaksud antara lain:

a. Surat Al-Baqarah ayat 286:

...لَهَا مَا كَسَبَتَ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ...

Artinya: "...iamendapatpahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang di-kerjakannya..." (Qs. Al-Baqarah [2]: 286)

b. Surat Yasin ayat 54:

فاليوم لا تظلم نفس شيئا ولا تجزون إلا ما كنتم تعملون

Artinya: "Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang te­lah kamu kerjakan." (Qs. Yasin [36]: 54)

c. Surat An-Najm ayat 38 dan 39:

اَلاَّ تَزِرُوْا وَازِرَةُ وِزْرَ اُخْرٰى. وَاَنْ لَيْسَ لِلاِنْسَانِ اِلاَّ مَا سَعٰي

Artinya: "(yaitu) bahwasanya sese­orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya sese­orang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya." (Qs. An-Najm [53]: 38-39)

Sedangkan hadits-Hadits yang dapat dijadikan pedoman dan petunjuk dibolehkannya seorang anak menunaikan iba­dah haji atas nama orang tuanya dan sese­orang melaksanakan haji untuk saudara­nya, di antaranya adalah:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلمفَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ » . قَالَتْ نَعَمْ . فَقَالَ « فَاقْضُوا الَّذِى لَهُ ، فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Artinya: "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan datang ke­pada Nabi saw, laluberkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi saw bersabda: Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya? la menjawab: Ya. Lalu Rasulullah saw bersabda: Tunaikanlah hu tang (janji) kepada Allah, karena sesungguh-nya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.''[HR. al-Bukhari]

عن ابي هريرة ان رسول الله ص م قال إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Hura-irah ra., apabila seorang manusia mening­gal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.''[HR. Muslim]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَحُجِّى عَنْهُ

Artinya: "Bahwasanya seorang wanita dari Khas'am berkata kepada Rasuiullah saw: Ya Rasuiullah sesungguhnya ayahku telah tua rente, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa du-duk tegak di atas punggung onta. Lalu Nabi saw bersabda: Hajikanlah dia."[HR. Mus­lim dan jamaah ahli Hadits]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ

Artinya: "Seorang laki-laki dari bani Khas'am menghadap kepada Rasuiullah saw, ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang diwajibkan, bolehkan aku menghajikan-nya? Nabi saw bersabda: Apakah kamu anak tertua ? Orang itu menjawab: Ya. Nabi saw bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang, lalu eng-kau membayar hutang itu untuknya, apa­kah itu cukup sebagai gantinya? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi saw bersab­da: Hajikanlah dia."(HR Ahmad)

Dikalangan fuqaha muncul perbedaan pendapat dalam masalah badal haji. Perbedaan didasarkan pada pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits sebagaimana tersebut di atas.

Pendapat pertama mengatakan, bahwa Hadits-Hadits tersebut bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Karena bertentangan, Hadits-Hadits tersebut tidak dapat diamalkan. Hadits-Hadits itu zhanni sedangkan ayat Al-Qur'an qath'i. Pendapat ini didukung oleh ulama Hanafiyah.

Pendapat kedua, ulama' lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa Hadits Ahad mempunyai kekuatan qath'i sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat Al-Qur'an.

Pendapat ketiga yang dikemukakan oleh ulama Mutakallimin khususnya ulama Syafi'iyah. Mereka berpebdapat bahwa Hadits Ahad apalagi Hadits Mutawatir dapat mentakhsis atau menge­cualikan ayat-ayat Al-Qur'an. Oleh karena itu, menurut mereka anak bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas na­ma orang tuanya atau orang lain. Pelaksanaan haji yang demikian ini disebut "badal haji" atau "haji amanat".

sedangkan pen­dapat dari kalangan ulama Tarjih Muham­madiyah, Hadits Ahad dapat mentakhsis ayat Al-Qur'an, yakni sebagai bayan (penjelas). Contohnya dalam masalah wakaf, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menetapkan bahwa orang yang berwakaf akan tetap mengalir pahalanya sekalipun ia telah meninggal dunia berdasarkan Ha­dits riwayat Muslim yang menyatakan bah­wa apabila manusia meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakan kedua orangtuanya, sebagaimana dikutip di atas. Hadits ini secara lahiriyah tampak berten-tangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an ter­sebut di atas, namun Hadits ini juga dapat diartikan sebagai takhsis (pengkhususan) atau bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an tersebut.

Dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits serta keterangan di atas, maka haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi tidak dapat melakukannya karena udzur atau ka­rena sudah meninggal dunia padahal ia su­dah berniat atau bernadzar untuk menunai­kan ibadah haji, hanya dapat dilakukan oleh anak dan saudaranya (ahli warisnya) pada asyhuri al-hajj (musim haji), hanya saja pengganti harus telah berhaji terlebih dahulu, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits berikutini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ « مَنْ شُبْرُمَةَ ». قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ


Artinya:"Dari Ibnu Ab­bas ra bahwasanya Nabi saw mendengar seseorang berkata labbaik (aku datang memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Rasuiullah sawbertanya; Si-apakah Syubrumah itu, ia menjawab; sau-daraku atau kerabatku, lalu Rasuiullah ber-tanya; Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? la menjawab; Belum. Lalu Rasu­iullah saw bersabda; Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu) kemudian kamu ber­haji untuk Syubrumah." (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)