Reshuffle Kabinet

Mengikuti berita Reshuffle Kabinet sungguh menarik hati. Bukan karena dramatisasi proses reshuffle, melainkan sesudahnya. Peristiwa sesudah diumumkannya secara resmi susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II oleh presiden SBY beberapa saat yang lalu.

Apa yang terjadi menjaadi sangat menarik, paling tidak bagi  saya pribadi. Peristiwa reshuffle menjadi menarik karena ada “drama” sesudah diumumkan oleh Presiden. Bagi yang tidak dilengserkan, tentu sangat bergembira hati. Lebih bergembira lagi kalau yang sebelumnya tidak menjadi bagian dalam kabinet kemudian ditunjuk oleh Presiden untuk duduk menjadi menteri atau pembantunya. Sebaliknya, bagi yang sebelumnya adalah bagian dari kabinet kemudian dilengserkan tentu hati menjdai galau dan mungkin bersedih meratap (semoga saja tidak). 

Ada salah satu menteri, yang karena dilengserkan, kemudian merasa di zalimi dan dianiaya atau bahkan merasa diperlakukan tidak adil. Padahal persoalan reshuffle adalah hal lumrah dan biasa dalam dunia politik. Karena memang, presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan pembantunya.
Bagi saya, peristiwa yang mengiringi reshuffle adalah sesuatu yang menarik. Karena menarik maka memancing saya untuk berkomentar dan sedikit memberikan ulasan.  Akan tetapi pembaca perlu tahu bahwa yang menarik untuk diulas bukanlah peristiwa politiknya. Saya tidak paham politik, maka sangat tidak mungkin saya memberikan ulasan politik terhadapnya. Ulasan yang yang saya berikan adalah terkait dengan sisi agamanya. Artinya, saya memandang peristiwa reshuffle dari sisi Agama Islam.

Peristiwa diberikannya jabatan kepada seseorang atau bahkan dicabutnya jabatan tersebut darinya adalah hal biasa. Ya hal biasa karena semua itu ada yang mengaturnya yaitu Allah SWT. Bagi Allah adalah hal mudah untuk mengangkat derajat seseorang dengan memberinya jabatan. Dan mudah pula bagi Allah untuk mencabut jabatan tersebut atau bahkan menghinakannya. Kalau hal ini disadari dengan benar, maka tidak ada orang yang mengejar-ngejar jabatan dan tidak ada pula yang menangis meratap karena kehilangan jabatan—apalagi mengalami post power syndrom. Sebagaimana firman Allah :

قُلِ اللّٰهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاﺌۤءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (ال عمران : 26)

Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan. Engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 26)

Bagi yang masuk menjadi menteri harus menyadari, bahwa jabatan adalah amanat. Amanat adalah sesuatu yang berat apalagi ini menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.  Dan selanjutnya, meniru sifat Nabi Sulaiman as. Nabi Sulaiman tiap mendapatkan anugrah selalu berkata :

...قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ... (النمل : 40)

“... semua ini adalah dari anugrah Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah kufur...” (QS. An-Naml : 40)

Sebagai manusia religius seharusnya menyadari bahwa jabatan menteri atau apapun adalah ujian dari Allah. Sebagai menteri apakah ia bersyukur, yaitu menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia ataukah kufur, menebarkan ketidakadilan dan kesengsaraan bagi rakyat.

Jabatan tidak boleh diminta, tetapi juga tidak boleh ditolak bila diamanatkan kepada kita asalkan merasa mampu untuk memikulnya. Rasulullah saw dengan tegas menolak memberikan jabatan kepada orang yang meminta kepadanya. Hal ini menunjukkan haramnya meminta jabatan, apalagi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan tersebut. Sebagaimana Hadis Rasulullah :

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلاَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ اْلاٰخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللهِ لاَ نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

"Diriwayatkan daripada Abu Musa r.a katanya: Aku menemui Nabi s.a.w bersama dengan dua orang lelaki dari keluarga pamanku. Salah seorang dari mereka berkata: Wahai Rasulullah, berikanlah aku jabatan untuk mengurus (memimpin) sebagian dari urusan yang diberikan oleh Allah kepada mu. Begitu juga seorang lagi mengajukan permohonan yang sama, lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Demi Allah, aku tidak akan memberikan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, apalagi kepada orang yang tamak padanya". (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi orang yang kehilangan jabatan menterinya tentu tidak perlu bersedih. Bersyukurlah karena dari pundakmu telah diambil jalanmu ke neraka. Engkau telah dibebaskan dari tanggung jawab dunia dan akhirat. Tanggung jawab yang bisa menjurumuskanmu ke dalam neraka. Ingatlah bahwa akan ada hikmah di balik peristiwa tersebut.