Ternyata Muslim Bukan Hanya Orang Islam Saja (Apa Sih Muslim Itu?)

Ternyata Muslim Bukan Hanya Orang Islam Saja. Pernyataan ini bisa jadi sedikit membingungkan, tetapi marilah kita kaji kembali Quran untuk menemukan penjelasannya. Apa Sih Muslim Itu?  Qur’an beberapa kali menyebut kata muslim diantaranya  dalam QS 15 Al Hijr: 2, QS 22 Al Hajj:78, QS 33 Al Ahzab:35, QS Ali Imran:52,64 dan QS Al Maidah:111
 Jika kita memahami kata muslimin sebagai sebutan untuk hanya orang yang status formal agamanya Islam saja, nampaknya tulisan ini perlu kita simak lebih mendalam.

 Ada baiknya lebih dulu kita perhatikan bahwa pengertian umum sebutan muslimin dinisbatkan kepada orang yang menganut agama Islam. Sedangkan Islam dipahami sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. Padahal dalam Quran Surat ke 22 Al Hajj ayat 78 sebutan muslimin ternyata juga merupakan sebutan untuk semua pengikut Nabi Nabi sebelum Muhammad

 “……Dia(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim (muslimin) dari dahulu……” 
(QS Al Hajj : 78)

Dengan demikian pengikut Adam juga disebut muslim. kemudian pengikut Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan pengikut Nabi Nabi Allah lainnya, mereka semua itu disebut Muslim.

Pengertian tersebut menjadi semakin jelas ketika kita menyimak sebutan muslim yang dalam teks Qur’annya memakai bentuk muslimuun

"Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri ( muslimun )”  (QS Ali Imran 52)

“Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimun)” (QS Ali Imran 64)

Dalam dua ayat di atas frasa orang orang yang berserah diri adalah terjemahan dari kata muslimun

Bedanya pada ali Imran 52 yang bersaksi bawa mereka muslimun adalah pengikut Isa, sedangkan pada Ali Imran 64 yang bersaksi bahwa mereka muslimun adalah pengikut Muhammad

Sedangkan kalimat serupa yang merujuk pada pengikut Musa ada pada ayat berikut:

“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar  orang yang berserah diri." (QS 11Yunus:84)
 
Dengan kata lain :

1. Pengikut Muhammad disebut  muslimin (= muslimun )
2. Pengikut Isa juga disebut muslimin (= muslimun )
3  Pengikut Musa juga disebut muslimin (= muslimun )

Ketiga sebutan sama tersebut (muslimin = muslimun) juga merujuk pada pengertian yang sama yaitu berserah diri, tunduk patuh, taat kepada aturan petunjuk dan hukum yang diturunkan Allah melalui nabi nabi dan para RasulNya

Yang menjadi permasalahan adalah bahwa sebagian besar orang memiliki pemahaman keliru sbb:
  1. Orang menganggap bahwa setiap orang yang memiliki status formal agama Islam sudah pasti merupakan pengikut Muhammad.

  2. Orang menganggap bahwa seluruh sekte Kristen dan Katholik sudah pasti merupakan pengikut Isa

  3. Orang menganggap bahwa semua orang Israel adalah pengemban taurat dan merupakan pengikut Musa.


Padahal kenyataannya :

  1. Banyak orang yang secara formal berafiliasi dengan kelompok Islam lengkap dengan berbagai simbol atribut dan ritualnya padahal sebenarnya mereka adalah musuh Muhammad. Mereka inilah yang disebut dalam Quran sebagai munafiq (munafiqun)

  2. Beberapa pembaca bibel yang kritis menemukan kenyataan bahwa sebagian besar keyakinan kristen sekarang ini cenderung tidak sesuai dengan ajaran Isa dimasa hidupnya tetapi malah lebih menyerupai keyakinan para musuh Isa

  3. Musa dan Isa memang merupakan Rasul untuk bani Israil (Israel) tapi tidak semua orang Israel mau mengikuti ajaran Musa dan Isa.


Jadi yang disebut muslimin atau muslimun adalah

1. Pengikut Muhammad (dimasa Muhammad masih hidup sampai sekarang)
2. Pengikut Musa dan Pengikut Isa (pada saat Muhammad belum di angkat menjadi Rasul) serta sebagian kecil bani Israil dan orang Nashrani saat ini tetapi khusus yang benar benar tunduk patuh taat pada hukum taurat (ajaran Musa) dan injil (ajaran Isa)yang asli

Namun, hari ini,… keturunan Israel,….dan keturunan orang orang nazareth,.. adakah yang masih memiliki kemudian taat tunduk patuh membaca serta  mengamalkan taurat dan injil asli? Wa llahu a’lam bishowab

Shalawat atas Nabi

Oleh: Hasan Husen Assagaf

Diriwayatkan bahwa Rasulallah saw bersabda,

Disaat aku tiba di langit di malam Isra’ Miraj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 tangan, di setiap tangan ada 1000 jari. Aku melihatnya menghitung jarinya satu persatu. Aku bertanya kepada Jibril as, pendampingku,
‘Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya?.’
Jibril berkata,
Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi.’
Rasulallah saw bertanya kepada malaikat tadi,
‘Apakah kamu tahu berapa bilangan tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak diciptakan Adam as?.’
Malaikat itupun berkata,
‘Wahai Rasulallah saw, demi yang telah mengutusmu dengan hak (kebenaran), sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi dari mulai diciptakan Adam as sampai sekarang ini, begitu pula aku mengetahui jumlah tetetas yang turun ke laut, ke darat, ke hutan rimba, ke gunung-gunung, ke lembah-lembah, ke sungai-sungai, ke sawah-sawah dan ke tempat yang tidak diketahui manusia.’

Mendengar uraian malaikat tadi, Rasuluallah saw sangat takjub dan bangga atas kecerdasannya dalam menghitung tetesan air hujan. Kemudian malaikat tadi berkata kepada beliau,

‘Wahai Rasulallah saw, walaupun aku memiliki seribu tangan dan sejuta jari dan diberikan kepandaian dan keulungan untuk menghitung tetesan air hujan yang yang turun dari langit ke bumi, tapi aku memiliki kekurangan dan kelemahan.’
Rasulallah saw pun bertanya,
‘Apa kekurangan dan kelemahan kamu?.’
Malaikat itupun menjawab,
‘Kekurangan dan kelemahanku, wahai Rasulallah, jika umatmu berkumpul di satu tempat, mereka menyebut namamu lalu bershalawat atasmu, pada saat itu aku tidak bisa menghitung berapa banyaknya pahala yang diberikan Allah kepada mereka atas shalawat yang mereka ucapkan atas dirimu.’ “

Allahuma shalli a’la sayyidina Muhammadin wa a’la alihi wa shahbihi wa sallim

Oleh: Hasan Husen Assagaf

Diriwayatkan bahwa Rasulallah saw bersabda,

Disaat aku tiba di langit di malam Isra’ Miraj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 tangan, di setiap tangan ada 1000 jari. Aku melihatnya menghitung jarinya satu persatu. Aku bertanya kepada Jibril as, pendampingku,
‘Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya?.’
Jibril berkata,
Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi.’
Rasulallah saw bertanya kepada malaikat tadi,
‘Apakah kamu tahu berapa bilangan tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak diciptakan Adam as?.’
Malaikat itupun berkata,
‘Wahai Rasulallah saw, demi yang telah mengutusmu dengan hak (kebenaran), sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi dari mulai diciptakan Adam as sampai sekarang ini, begitu pula aku mengetahui jumlah tetetas yang turun ke laut, ke darat, ke hutan rimba, ke gunung-gunung, ke lembah-lembah, ke sungai-sungai, ke sawah-sawah dan ke tempat yang tidak diketahui manusia.’

Mendengar uraian malaikat tadi, Rasuluallah saw sangat takjub dan bangga atas kecerdasannya dalam menghitung tetesan air hujan. Kemudian malaikat tadi berkata kepada beliau,

‘Wahai Rasulallah saw, walaupun aku memiliki seribu tangan dan sejuta jari dan diberikan kepandaian dan keulungan untuk menghitung tetesan air hujan yang yang turun dari langit ke bumi, tapi aku memiliki kekurangan dan kelemahan.’
Rasulallah saw pun bertanya,
‘Apa kekurangan dan kelemahan kamu?.’
Malaikat itupun menjawab,
‘Kekurangan dan kelemahanku, wahai Rasulallah, jika umatmu berkumpul di satu tempat, mereka menyebut namamu lalu bershalawat atasmu, pada saat itu aku tidak bisa menghitung berapa banyaknya pahala yang diberikan Allah kepada mereka atas shalawat yang mereka ucapkan atas dirimu.’ “

Allahuma shalli a’la sayyidina Muhammadin wa a’la alihi wa shahbihi wa sallim

Duka Putri-putri Nabi kala Meninggalkan Tanah Suci

Duka Putri-putri Nabi kala Meninggalkan Tanah Suci 

“Kasihku, sesungguhnya ayahmulah yang memintaku untuk mengembalikanmu kepadanya, karena Islam telah memisahkan aku denganmu....”

Tahun baru Hijriyyah, 1431 H, telah tiba. Umat Islam terkenang sejarah saat Rasulullah SAW berhijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah.

Tergambar dengan jelas titik perjuangan dan pengorbanan Rasulullah berserta sahabat-sahabatnya untuk mempertahankan risalahnya. Terbayang bagaimanan penderitaan yang harus ditanggung ketika di siang hari yang sangat panas, atau di malam yang sangat gelap, mereka berjalan kaki, naik turun gunung yang berbatu-batu, melewati padang sahara yang gersang, dengan perbekalan seadanya.

Hijrah adalah langkah strategis untuk membangun basis kekuatan baru. Tidak hanya kekuatan fisik, melainkan juga psikologis.

Begitu pula yang dialami putra-putri Rauslullah SAW: Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum, dan Fathimah.

Hijrahnya Ruqayyah
Dalam catatan sejarah umat Islam, kaum muslimin pada masa Rasulullah SAW melakukan dua kali hijrah. Pertama terjadi pada akhir-akhir tahun keempat kenabian Rasulullah SAW. Kedua pada tahun ke-13 masa kenabian Rasulullah SAW.

Hijrah yang pertama dilakukan ketika kaum muslimin menghadapi penindasan yang sangat luar biasa. Ketika itulah Allah menurunkan surah Az-Zumar, yang di dalamnya terkandung isyarat untuk melakukan hijrah. Sebagian ayatnya menyatakan bahwa bumi Allah ini luas bagi kaum mukminin yang dipersempit.

Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar: 10).

Rasulullah SAW mengetahui bahwa Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka beliau memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Habasyah.

Pada bulan Rajab, tahun kelima dari kenabian, hijrahlah kelompok pertama para sahabat menuju Habasyah. Ketika itu kelompok ini terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Ketua mereka adalah Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istrinya, Sayyidah Ruqayyah, putri Rasulullah SAW.

Nabi SAW mengatakan perihal mereka berdua, “Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”

Ruqayyah pergi hijrah meskipun ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan termasuk orang yang pertama hijrah untuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum mukminin semuanya.

Yang paling bersedih ketika itu adalah putri bungsu Rasulullah SAW, Fathimah. Ia melepas kakaknya tersayang dengan cucuran air mata. Namun pada kedua bibirnya tersungging senyuman, karena saudara itu akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah SWT.

Hijrah pertama kali menuju Habasyah itu berlangsung dengan selamat.
Fathimah dan ayahnya merasa rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah mengabulkan keinginan mereka.

Kemudian datang seorang perempuan dari kalangan Quraisy yang mengatakan, “Wahai Muhammad, sungguh aku melihat menantumu bersama dengan istrinya di atas keledai yang ditungganginya.”

Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah orang pertama yang hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.”
Ruqayyah tidak kurang kerinduannya dibandingkan ayahnya, ibunya, dan saudara-saudara perempuannya.

Kejadian-kejadian berat yang dialaminya, terutama ketika ia keguguran pada kandungannya yang pertama, sangat mempengaruhi kesehatannya. Sehingga orang khawatir ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.

Tetapi ia mendapatkan perhatian suaminya dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang hijrah, dan semua itu membantunya untuk mengatasi krisis yang berat, sehingga ia kembali pulih. Terlebih dengan datangnya berita-berita dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboikotan yang sangat keras yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.

Berita-berita tentang kejadian ini sampai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah mereka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.

Namun ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah.

Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musyrik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughirah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib.

Ruqayyah dan suaminya juga kembali. Ketika sampai di perkampungan Makkah, ia segera menuju ke rumah ayahnya. Kemudian kedua saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera menemuinya. Mereka memeluknya dan mengalirlah air mata di pelupuk mata mereka.

Setelah itu tampak hakikat yang sebenarnya bahwa kaum Quraisy tetap berada dalam kekufuran dan penentangan. Maka mereka pun pun kembali ke Habasyah.

Ruqayyah kembali bersama suaminya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya. Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir, daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.

Kemudian orang-orang Quraisy berpikir untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi.

Kaum Quraisy memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Mereka ingin merusak hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah itu. Pilihan mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi`ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi.

Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka yang berada di negeri Habasyah. Di antara mereka terdapat putranya, Ja`far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan Umaimah, dan Ruqayyah, cucu dari saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan tipu daya Amr dan sahabatnya. Maka ia menggubah sebuah syair yang ditujukan kepada Najasyi, mengharapkan kemurahannya agar berkenan membela umat Islam yang telah memilih untuk berlindung kepadanya.

Seruan ini didengar oleh dua orang Quraisy. Lalu salah seorang di antara mereka mengatakan seraya mengejek, “Suara orang tua ini tak akan mengalahkan siasat Amr dan sahabatnya? Apa yang akan didapat oleh kalimat-kalimat ini dibandingkan dengan hadiah-hadiah yang dibawa oleh utusan kaum Quraisy kepada An-Najasyi!”

Fathimah Az-Zahra RA khawatir sangat akan kedaan saudaranya, Ruqayyah, suami saudaranya itu, dan kaum muslimin lainnya yang berada dalam perlindungan An-Najasyi. Namun Ummu Kultsum dapat menenangkannya, “Sesungguhnya Allah akan menolong mereka yang hijrah itu dari `Amr dan sahabatnya. Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Tidakkah kemarin engkau melihat, wahai Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari mereka yang kufur dan menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan petunjuk dari-Nya yang disadari oleh hati-hati yang beriman? Sesungguhnya mereka yang kafir itu, seandainya tidak mau beriman, mereka akan hina. Bukankah keadaan mereka ini merupakan petunjuk menyerahnya mereka dan kehinaan mereka? Sesungguhnya Allah Ta`ala bersama mereka yang hijrah yang keluar di jalan-Nya. Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan mereka, dan sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong agama-Nya. Dan mereka itu memang menginginkan pertolongan Allah dan ingin menyampaikan agamanya kepada semua yang berada di muka bumi.”

Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi ke Habasyah. Mereka menyampaikan hadiah kepada An-Najasyi. Mereka meminta An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang meninggalkan agama mereka.

Lalu terjadilah persaingan antara yang hak dan yang bathil, antara keimanan dan kekufuran, antara kebaikan dan keburukan. Kemudian menanglah kebaikan, iman, atas kebathilan, kekufuran, dan keburukan.

`Amr dan Abdullah kembali kepada kaum Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan.


Hijrahnya Az-Zahra dan Ummu Kultsum
Hijrah yang kedua, tujuannya adalah Madinah. Orang-orang Madinah sangat mencintai Rasulullah, terutama setelah beliau berhasil mendamaikan dua suku, Aus dan Kharzaj, dan berhasil mengikat mereka dalam ukhuwah Islamiyah. Kemudian, penduduk Madinah ini menawarkan perlindungan kepada


Nabi Muhammad dan kaum muslimin Makkah dari gangguan kaum kafir Quraisy.
Maka, mulailah kaum muslimin hijrah ke Madinah dengan tergesa-gesa sampai Nabi SAW mendapat perintah dari Allah SWT untuk berhijrah.

Dalam perjalanannya menuju Madinah, beliau ditemani sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Nabi SAW meninggalkan istrinya, Saudah binti Zam`ah, dan kedua anaknya, Ummu Kultsum dan Fathimah.
Adapun Zainab masih berada di rumah suaminya, yang kafir, putra Abu Jahal, Abul-Ash bin Rabi`, di Makkah (Saat itu belum turun hukum Islam yang melarang muslimah menikah dengan non-muslim).
Seluruh Makkah mendengar berita tentang muhajir, orang yang berhijrah. Lalu sampailah berita dari Yatsrib (Madinah) tentang sampainya Nabi SAW dengan selamat di sana dan telah diterima oleh penduduknya dengan penerimaan yang luar biasa, penyambutan yang menunjukkan perasaan cinta yang besar dan kerinduan untuk berjumpa dengan nabi yang mulia dan rasul yang agung itu.
Setelah Nabi, hijrahlah Ali, putra paman beliau, Abu Thalib.
Hari-hari terasa berjalan dengan lambat disertai dengan perasaan gelisah dan rindu. Malam-malam pun berlalu dengan berat karena perasaan khawatir. Sampai datanglah berita yang menggembirakan bahwa Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi` telah tiba bersama dua unta dan uang lima ratus dirham agar mereka dapat mendatangkan Saudah binti Zam`ah serta Ummu Kultsum dan Fathimah dari rumah Nabi SAW, juga keluarga Abu Bakar, yakni Aisyah dan ibunya.
Kedua putri Nabi ini menghabiskan dua hari terakhirnya di Makkah bersama saudara mereka, Zainab, istri Abul-`Ash. Lalu mereka menuju Hujun, mereka menyampaikan ucapan berpisah kepada ibunda mereka yang dimakamkan di sana.
Ummu Kultsum menggandeng tangan saudaranya, Fathimah, lalu pergi bersamanya ke tempat Zaid, menunggu mereka bersiap-siap untuk berangkat.
Perjalanan mereka tidak berlangsung aman. Baru saja keduanya meninggalkan Makkah dan mereka berangkat dengan kafilah menuju Madinah, keduanya diburu oleh orang-orang musyrikin Quraisy yang kurang ajar. Al-Huwairits bin Naqidz bin Wahb bin `Abd bin Qushay, salah seorang yang selalu menyakiti Rasulullah SAW di Makkah, melakukan kejahatan dengan mengejutkan unta mereka berdua hingga keduanya terpelanting ke tanah.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan susah payah akibat terjatuh di padang pasir hingga mereka sampai ke Madinah. Betis mereka hampir tidak dapat diangkat. Tidak ada orang yang tidak mengutuk Al-Huwairits.
Rasulullah SAW tidak dapat melupakan perbuatan yang jahat itu. Pada tahun kedelapan Hijriyyah, saat Fathul Makkah (Pembebasan Makkah), beliau menyebut nama Al-Huwairits dan beberapa orang lagi yang sangat banyak menyiksa kaum muslimin. Beliau meminta para panglimanya untuk membunuh orang-orang itu meskipun mendapati mereka bersandar di tirai Ka`bah. Ali bin Thalib adalah orang yang paling patut di antara para panglima itu untuk membunuh Al-Huwairits dan ia pun akhirnya dapat melakukannya.
Sebelum Nabi menyuruh agar Fathimah didatangkan, beliau telah mulai membangun masjidnya dan rumahnya di tempat untanya yang bernama Al-Qushwa mendekam ketika beliau tiba di negeri hijrah. Selama pembangunan berlangsung, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Anshari, rumah yang kemudian menjadi milik bekas budaknya, Aflah. Setelah rusak dan banyak dindingnya yang retak, rumah itu dibeli oleh Al-Mughirah bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam dengan harga seribu dinar. Ia perbaiki rumah itu lalu ia sedekahkan kepada seorang fakir di Madinah.
Rasulullah SAW turut bekerja dalam pembangunan masjidnya dan rumahnya yang baru. Itu membangkitkan semangat kaum Muhajirin dan Anshar, sehingga mereka berlomba-lomba untuk bekerja. Salah seorang di antara mereka berdendang:

Jika kita duduk sedangkan Nabi bekerja
itu perbuatan menyesatkan dari kita

Sambil terus membangun, yang lain menyahut:

Tiada kehidupan selain akhirat
Ya Allah, rahmatilah Anshar dan Muhajirat

Terlihat Rasulullah SAW menyeka keringat Ammar bin Yasir, yang berjalan dengan berat karena mengangkat batu bata. Lalu terdengar Ali bin Abi Thalib bersenandung:

Tidak sama antara orang yang membangun masjid
bekerja gigih dengan berdiri dan duduk
dengan orang yang mengelak dari hamburan debu

Ammar kemudian mendendangkannya berulang-ulang sampai pembangunan selesai.


Rumah Rasulullah SAW yang dibangun itu terdiri dari beberapa kamar sederhana yang menghadap ke halaman masjid. Sebagiannya terbuat dari batu-batuan yang ditempelkan dan sebagiannya lagi dari pelepah kurma yang direkatkan dengan tanah. Sedangkan bagian atapnya semua tersusun dari pelepah kurma.

Mengenai ketinggiannya, Al-Hasan bin Ali, cucu Nabi SAW dan putra Fathimah, pernah mengatakan, “Ketika aku masih remaja, aku pernah memasuki rumah Nabi dan dapat memegang atapnya.” Di dalam Shahih al-Bukhari dikatakan, pintu rumah beliau dapat diketuk dengan jari, artinya tidak ada besi gelang khusus untuk mengetuk pintu.

Adapun perkakasnya untuk ukuran Madinah saat itu amat sederhana, kasar, dan di bawah standar. Tempat tidur beliau terbuat dari kayu diperlunak sedikit dengan serabut (ijuk) pohon kurma.

Ke rumah yang baru dan sederhana inilah Fathimah datang dari Makkah untuk melihat ayahnya di tempat yang sangat mulia dan mendapati kaum Muhajirin telah hidup dengan tenang. Dan Rasulullah telah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar untuk menghilangkan perasaan keterasingan di kalangan Muhajirin dan untuk mengakrabkan satu sama lain.

Alangkah indahnya gambaran yang Fathimah lihat sekarang. Persaudaraan yang tampak jelas, perasaan cinta yang nyata antara kaum Muhajirin dan Anshar. Alangkah indahnya apa yang ia saksikan. Tidak ada seorang Muhajirin pun yang datang ke Madinah melainkan puluhan orang Anshar segera mendatanginya. Semua ingin menjamunya dan semua ingin menjadi saudaranya.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang itu untuk menyenangkan semuanya? Maka ia harus mengundi di antara semuanya. Dan barang siapa mendapatkan undian itu, tampak gembira dan mendapat ucapan selamat karena mendapatkan seorang saudara yang dicintai.

Khayalan Fathimah kembali ke masa yang baru saja berlalu di Makkah. Di sana yang ditemui adalah siksaan dan permusuhan, sedangkan di Madinah yang didapatinya adalah perasaan cinta, kebaikan, dan sikap mendahulukan orang lain. Di Makkah, jika ada yang masuk Islam, penduduknya segera menghina, mencela, dan menyiksa. Sedangkan di Madinah, jika ada seorang muslim yang berhijrah, semuanya segera menemuinya untuk menjamu dan memuliakannya.

Orang-orang Muhajirin itu mulai hidup dengan tenteram. Mereka dicukupi oleh keluarga-keluarga kaum Anshar. Kaum Anshar memberikan setengah rumah mereka kepada kaum Muhajirin, juga setengah harta mereka.

Ketika datang bulan Syawwal tahun kedua Hijriyyah, Nabi SAW menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar. Pernikahan ini tidak mengejutkan Fathimah dan tidak seorang pun kaum muslimin yang terkejut, karena beliau telah melamarnya sebelum hijrah dari Makkah.

Hijrahnya Zainab
Situasi yang amat sulit dihadapi oleh Zainab. Suaminya, Abul-Ash bin Rabi`, telah berangkat bersama kaum kafir Quraisy ke Badar untuk memerangi Nabi SAW dan kaum muslimin. Zainab ingin ayahnya menang, tetapi ia tak ingin beliau berhadapan dengan suaminya.

Kaum muslimin mendapatkan kemenangan dan di antara mereka yang ditawan adalah suami Zainab.
Kemenangan kaum muslimin telah diketahui oleh Zainab. Ia pun tahu suaminya ditawan. Suaminya ini seorang yang berharta dan keluarganya ingin membayar tebusan yang mahal. Tetapi Zainab hendak menebusnya sendiri dengan sesuatu yang lebih mahal daripada harta.

Para tawanan Badar kemudian digiring ke Madinah. Rasulullah memperhatikan mereka satu per satu. Beliau sisihkan menantunya, Abul-`Ash, dari para tawanan itu, lalu yang lainnya beliau bagi-bagikan kepada para sahabat seraya mengatakan, “Perlakukanlah para tawanan dengan baik.”

Tinggallah Abul-Ash berada dalam pengawasan Nabi SAW sampai datang para utusan kaum Quraisy untuk menebus mereka. Mereka memberikan harga tinggi untuk menebus sehingga ada seorang perempuan yang bertanya berapa harga tertinggi untuk menebus seorang Quraisy, lalu dikatakan kepadanya, “Empat ribu dirham.” Maka ia berikan seharga itu untuk menebus anaknya, suaminya, atau ayahnya.

Zainab ingin pula menebus suaminya. Maka ia utus `Amr bin Rabi` menghadap Nabi SAW dan mengirimkan sebuah kantung yang tak diketahui oleh Amr apa isinya.

`Amr, saudara Abul-`Ash ini, menghadap Nabi dan mengatakan, “Zainab binti Muhammad  mengutus saya membawa ini untuk menebus suaminya, yang tak lain adalah saudara saya, Abul-`Ash bin Rabi`.”

Kemudian ia keluarkan kantung dari balik pakaiannya dan ia serahkan kepada Nabi. Ternyata di dalamnya terdapat kalung akik dari Zhufar, suatu negeri di Yaman.

Saat melihatnya, Nabi SAW sangat terharu. Ia yakin, kalung itu adalah milik Khadijah. Ingatannya kembali ke Makkah, tempat jenazah Khadijah dikuburkan di Hujun. Beliau juga teringat hari-hari saat Khadijah bersama beliau mengalami ujian-ujian yang sangat berat tapi tetap sabar bersamanya dan bahkan mendorong beliau untuk terus bersabar menghadapi kekerasan dan siksaan kaumnya.

Kalung itu adalah milik Khadijah yang dihadiahkan kepada putrinya, Zainab, pada hari perkawinannya ketika ia dibawa ke tempat Abul-`Ash, putra bibinya, Halah.

Para sahabat menunduk tertegun. Situasinya sangat mengharukan. Kalung sang kekasih yang telah pergi dikirmkan oleh sang putri untuk menebus suaminya yang tercinta.

Zainab ingin membangkitkan perasaan ayahnya dengan kenangan yang mulia terhadap dirinya dan diri Khadijah. Dengan kalung ibunda yang telah pergi itu, Zainab mencoba untuk membebaskan suaminya.
Setelah beberapa saat terdiam, Nabi berkata sebagai seorang ayah yang penyayang dan seorang nabi yang pengasih, “Jika kalian berpendapat suaminya yang ditawan itu dapat dibebaskan dan kalungnya dikembalikan kepadanya, lakukanlah.”
Para sahabat menjawab, “Ya, Rasulullah.”
Rasulullah SAW kemudian menyuruh Abul-`Ash, yang tentu juga sangat terharu dengan situasi itu, agar mendekat kepada beliau. Kemudian beliau membisikkan kepadanya sesuatu yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.
Abul-`Ash mengangguk, tanda setuju. Setelah itu ia mengucapkan salam hormat lalu beranjak pergi.
Setelah ia jauh, Rasulullah SAW menoleh kepada para sahabat yang berada di sekitar beliau. Beliau memuji Abul-`Ash dengan mengatakan, “Demi Allah, kami tidak pernah mencelanya sebagai seorang menantu.”

Zainab menanti suamianya yang pergi. Ia adalah istri yang terbaik. Ketika ia berpikir untuk menebusnya, ia tebus suaminya dengan barang termahal yang ia miliki. Dengan ini ia ingin memberikan contoh yang nyata bagi kaum mukminat dalam memperhatikan suami.

Pada saat itu Abul-`Ash berangkat sebagai seorang musyrik yang berperang melawan kaum muslimin. Tetapi Zainab melihat, suaminya ini memiliki akhlaq Islam dan bahwa ia dekat dengan Islam. Karena itu ia berpikir bahwa dengan berbagai cara ia harus melindungi suaminya.

Abul-`Ash pun tiba di tempat istrinya. Zainab pun meloncat kegirangan. Ia menyambutnya dan mengucapkan selamat kepadanya. Kemudian ia bersyukur kepada Allah, yang telah mengembalikan suaminya dengan selamat. Dengan penuh kerendahan dan sambil menangis ia pun memohon kepada Allah agar memberinya petunjuk dan membukakan hatinya agar mau memeluk Islam.

Tetapi kemudian Zainab melihat kesedihan di wajah suaminya. Zainab bertanya apa yang terjadi padanya. Ia berusaha untuk menyenangkannya dari apa yang menimpanya. Dia suaminya yang tercinta. Dengan penuh kebanggaan Zainab ingat kepada suaminya saat ia tetap mempertahankannya dan menentang orang-orang Quraisy yang menawarkan kepada para menantu Rasulullah untuk mengembalikan anak-anak beliau kepada beliau untuk menyibukkan beliau dengan mereka daripada urusan dakwah.

Kedua suami saudara Zainab, yakni suami Ruqayyah sebelum menikah dengan Utsman dan suami Ummu Kultsum, menerima penawaran mereka dan mengembalikan istri-istri mereka kepada ayahnya. Sedangkan Abul-`Ash dengan tegas menolak. “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku. Tidak ada wanita lain dari kaum Quraisy yang dapat menggantikan istriku.”
“Ada apa denganmu, wahai putra bibiku?” tanya Zainab.
“Aku datang untuk berpisah denganmu, wahai Zainab!” Ucapan Abul-`Ash terhambat oleh air mata yang tertahan di matanya.
“Apakah kali ini orang-orang Quraisy berhasil mempengaruhimu dan memaksamu untuk menceraikan aku?!”
Abul-`Ash diam, tidak dapat menjawabnya. Itu perpisahan abadi antara dirinya dan orang yang dicintainya jika ia tidak masuk Islam.

Zainab mendesaknya untuk berbicara, mengungkapkan apa yang ia sembunyikan dalam hatinya.
Suami tercinta itu dapat memahami perasaan yang ada dalam hati istri tersayangnya. Kemudian ia berkata dan seolah-olah hatinya lebur dalam suaranya, “Kasihku, sesungguhnya ayahmulah yang memintaku untuk mengembalikanmu kepadanya, karena Islam telah memisahkan aku denganmu. Aku telah berjanji kepada ayahmu untuk membiarkanmu pergi kepadanya, dan aku tidak mau mencederai janjiku.”

Zainab pun terduduk karena sangat lemah, tetapi kebahagiaan yang besar menguasai hatinya. Ia akan segera hijrah ke tempat ayahnya dan kedua saudara perempuannya, serta akan memandang makam saudaranya, Ruqayyah. Kehidupannya akan berada di antara masyarakat mukminin di Madinah, dan berjumpa dengan kaum Muhajirin yang meninggalkan rumah mereka dan kota mereka. Ia benar-benar menikmati kebahagiaan ini dan kemudian bertanya, “Berapa lama lagi kita tinggal bersama-sama?”
Abul-`Ash menjawab dengan suara yang lemah dan terbata-bata, “Tidak lama. Hanya beberapa hari, sekadar engkau berkemas-kemas untuk melakukan perjalanan... dan setelah itu engkau dapat pergi.”
“Apakah aku pergi sendiri?” tanya Zainab.
“Tidak, engkau akan ditemani oleh Zaid bin Haritsah bersama seorang sahabatnya dari para penolong ayahmu. Ia akan menunggumu di Bathn Ya’jij, yang jauhnya delapan mil dari Makkah, sehingga engkau akan pergi bersama mereka, lalu mereka akan menemanimu menuju ayahmu di Yatsrib.”
Zainab lalu bertanya dengan sedih, “Apakah engkau tidak akan menemaniku ke negeri hijrah?”
“Tidak, wahai putri bibiku,” jawabnya. Kemudian Abul-`Ash mengusap air matanya dan keluar dari rumah.

Zainab memahami bahwa Allah SWT telah memerintahkan perpisahan ini dan ia tidak dapat tidak selain melaksanakan perintah-Nya. Ia menunggu beberapa hari sampai datang waktunya.

Mulailah Zainab bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Pada pagi hari di hari  keberangkatannya ia bertemu dengan Hindun bin `Utbah, yang menaruh dendam karena beberapa keluarganya mati di Perang Badar. Dengan daya tangkapnya yang cepat, Hindun tahu bahwa Zainab berkemas-kemas untuk menyusul ayahnya, tetapi ia ingin memastikannya. Maka ia mendekati Zainab dan berkata dengan lembut, “Wahai putri Muhammad, telah sampai berita kepadaku bahwa engkau akan menyusul ayahmu.”

Zainab bingung, tak tahu harus menjawab apa.

Kemudian Hindun melanjutkan kata-katanya, “Wahai putri pamanku, jika engkau mempunyai kebutuhan untuk bekal perjalananmu, katakan saja kepadaku. Aku akan memenuhi kebutuhanmu. Apa yang menjadi urusan kaum laki-laki tidak menjadi urusan kaum perempuan.”

Kalimat yang lembut ini menyentuh hati Zainab. Maka ia ingin memberitahukannya saat keberangkatannya yang sudah dekat. Tetapi ia agak khawatir karena sikap Hindun dalam membangkitkan api kedengkian dan balas dendam di kalangan Quraisy sangat jelas dan nyata, sama sekali tidak ada kesamaran. Zainab berpikir, “Demi Allah, menurutku ia mengatakan demikian karena memang ingin melakukannya. Tetapi aku agak khawatir kepadanya. Maka aku menyangkal bahwa aku ingin menyusul ayah ke Yatsrib.”

Lalu tibalah waktunya. Zainab berpisah dengan Abul-`Ash bin Rabi` dengan perpisahan yang hangat, perpisahan yang disertai perasaan cinta, bukan nafsu, apalagi di dalam perutanya terdapat janin yang mengikat keduanya.

Abul-`Ash tidak dapat pergi bersama Zainab ke tempat yang ditentukan. Perasaannya telah membuatnya lemah dan kemudian ia jatuh di hadapan Zainab sambil menangis, yang menambah pedih perpisahan itu.

Ia membiarkan saudaranya, Kinanah bin Rabi`, pergi bersama Zainab ke tempat Zaid bin Haritsah dan temannya menunggu. Maka bertolaklah Kinanah mengendarai untanya siang hari di hadapan kaum Quraisy. Ia menyiapkan busur dan anak panahnya, bersiap-siap kalau-kalau ada serangan.

Kepergian putri Nabi Muhammad SAW itu dipandang seperti tantangan yang terang-terangan terhadap kaum Quraisy. Maka berangkatlah beberapa orang di antara mereka di belakang Zainab. Mereka mempercepat perjalanan hingga dapat menyusul di suatu tempat yang disebut Dzu Thuwa. Orang Quraisy yang paling dulu dapat mendekatinya adalah Hubar bin Al-Aswad Al-Asadiy, yang sangat marah dan sedih karena kehilangan tiga orang saudaranya yang terbunuh pada Perang Badar.

Orang kafir yang telah kehilangan rasa kemanusiannya itu menakut-nakuti Zainab dengan tombak, kemudian mendorong unta yang dinaiki Zainab, yang membuatnya jatuh telentang di atas batu yang keras.

Melihat kejadian itu, Kinanah segera memasang anak panah dan merentangkan busurnya seraya mengancam, “Demi Allah, siapa pun yang berani mendekat, akan aku panah.”
Maka para pengejar yang pengecut itu pun berhenti.

Pada saat itu Abu Sufyan, yang berdiri agak jauh, berkata kepada Kinanah, “Turunkan panahmu agar kita bisa berbicara baik-baik.”
Kinanah pun menurunkannya.

Lalu Abu Sufyan mendatanginya dan berkata, “Engkau melakukan hal yang salah, wahai putra Rabi`. Engkau keluar bersama wanita ini secara terang-terangan di depan orang-orang. Padahal engkau tahu bahwa kami baru saja menderita kekalahan dari Muhammad. Maka orang-orang akan mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kelemahan dan rasa takut kami. Kami melakukannya bukan karena kami butuh untuk menghalangi dia berjumpa ayahnya. Kami hanya minta engkau kembali bersamanya. Lalu setelah situasi kembali tenang dan orang-orang mengatakan bahwa kami telah berhasil mengembalikannya ke Makkah, engkau boleh mengantarnya kepada ayahnya secara sembunyi-sembunyi.”

Berat bagi Kinanah untuk mengembalikan Zainab dan kemudian kembali dengannya secara sembunyi setelah tersebar berita bahwa orang Quraisy mengembalikannya, kalau ia tidak mendengar suara Zainab merintih kesakitan, lalu ia menoleh kepadanya karena khawatir melihatnya mengucurkan darah. Ternyata ia keguguran setelah terjatuh itu.

Setelah itu Kinanah kembali lagi dengan Zainab ke Makkah.
Abul-`Ash berada di sisi Zainab terus selama beberapa hari, tidak mau meninggalkannya sampai Zainab agak kuat.

Barulah kemudian Kinanah berangkat dengannya kembali hingga menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dalam keadaan merasakan lemah akibat keguguran yang dialaminya.

Fathimah khawatir terhadap kakak tertuanya, Zainab, karena beberapa hari terlambat. Ia terus merasa khawatir sampai Zainab tiba di Madinah bersama putranya, Ali, dan putrinya, Umamah. Ia segera berlari untuk menjumpai kakak tertuanya. Tetapi kemudian ia merasa sedih melihat kondisi kakaknya itu.

Bersama ayahnya Fathimah mendengarkan cerita Zainab mengenai apa yang dialaminya dari perlakuan orang-orang Quraisy yang keji.

Para sahabat marah mengetahui apa yang menimpa Zainab. Demikian juga Rasulullah SAW.
Kemudian pasukannya membicarakan kemarahan beliau dan menyampaikannya ke Makkah. Rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabatnya agar membakar dua laki-laki jahat itu, Hubar dan sahabatnya, apabila mereka dapat menangkapnya.

Kemudian Nabi SAW menyendiri dan memikirkan perintahnya untuk membakar kedua laki-laki itu sampai akhirnya beliau melihat bahwa perintah tersebut melampaui batas. Ketika datang waktu subuh, beliau mengirim utusan kepada para sahabat itu agar membatalkan perintah beliau sebelumnya, dan menggantinya dengan membunuh saja.

Lalu tinggallah Zainab di rumah ayahnya bersama saudaranya, Ummu Kultsum. Fathimah pun tidak jauh dari mereka berdua, karena rumah-rumah mereka berdekatan dan mereka sering bertemu. Di malam hari mereka suka mengobrol dan Zainab terkadang mengeluarkan air mata kesedihan atas wafatnya Ruqayyah.

Zainab dari sakitnya, dan kemudian ia mendidik anak laki-lakinya, Ali, dan anak perempuannya, Umamah, dengan pendidikan Islami.

Kisah-kisah Rahmatan lil ‘Alamin

Nabi Muhammad SAW diturunkan ke dunia sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam. Maka kita, sebagai umatnya, pun memiliki adab-adab terhadap alam.
Terlahirnya seorang nabi bernama Muhammad, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, merupakan karunia terbesar yang telah Allah berikan kepada umat manusia, bahkan bagi seluruh alam ini. Beliaulah makhluk termulia dari seluruh ciptaan-Nya. Dan beliau adalah nabi pembawa rahmat dari sisi Tuhannya, Allah Azza wa Jalla.
Para ulama ahli sejarah telah menulis dan mengumpulkan kesempurnaan akhlaq beliau dari segala sisinya. Namun amat disayangkan, hanya sedikit dari umat beliau sendiri yang mau membaca sejarah hidup beliau. Padahal, tidaklah kebenaran akan didapat kecuali melalui pintunya. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21).

Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku adalah rahmat yang membawa petunjuk." Ibnu Dahyah RA mengatakan, "Maknanya bahwa ‘Allah SWT mengutusku sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah’. Beliau tidak menghendaki imbalan atas itu, karena pemberi hadiah yang didasari dengan kasih sayang tidak menghendaki imbalan atas hadiahnya."

“Siapa yang Makan Bawang Putih…”

Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam," (QS Al-Anbiya’: 107). Rahmat yang dibawa Rasulullah SAW mencakup segala sesuatu di alam ini: manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, bahkan benda mati. Ini bukan hal yang aneh, karena Allah SWT kuasa memberikan rahmat-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan Dialah Pemilik karunia yang agung.

Di antara seluruh alam yang tercakup dalam rahmat Allah melalui Rasulullah SAW adalah malaikat yang mulia. Allah SWT berfirman, "Mahasuci Allah, Yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Quran) kepada hamba-Nya (Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (QS Al-Furqan: 1).
Diutusnya beliau SAW kepada para malaikat tidak lain adalah sebagai pengutusan pemuliaan, bukan pembebanan, karena mereka tidak termasuk dalam kalangan yang dibebani  (mukallaf) kewajiban syari’at, seperti halnya jin dan manusia.
Allah SWT merahmati para malaikat dan memuliakan mereka melalui nabi-Nya SAW dengan berbagai macam wujud rahmat dan pemuliaan. Di antaranya, dengan adanya hukum-hukum syari’at yang ditetapkan oleh Allah, yang di dalamnya terkandung keimanan kepada para malaikat, adab terhadap mereka, penghormatan terkait kedudukan mereka, pengetahuan mengenai tugas-tugas mereka, dan lain-lain.
Rasulullah SAW mengajari kita tentang penghormatan kepada para malaikat, adab terhadap mereka, dan hendaknya kita menjauhi hal-hal yang mengganggu mereka. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang makan sayuran berupa bawang putih ini (pada saat yang lain beliau bersabda, "Siapa yang makan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung), janganlah sekali-kali mendekati masjid kami. Sesungguhnya para malaikat terganggu sebagaimana keturunan Adam (manusia) merasa terganggu (oleh bau makanan itu)."

Dalam riwayat lain, "Siapa yang makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya menghindari kami." Atau, "Hendaknya dia menghindari masjid kami, dan hendaknya dia duduk di rumahnya."
Pada suatu saat, disodorkan kepada beliau SAW sepriuk sayuran dengan berbagai macam rempah-rempah. Namun beliau mendapati bau padanya, maka beliau menanyakannya.

Setelah diberi tahu tentang rempah-rempah yang terdapat di dalamnya, beliau menyuruh agar priuk itu didekatkan kepada seorang sahabat beliau yang saat itu bersama beliau.

Begitu melihatnya, sahabat itu enggan memakannya.

Beliau pun bersabda, "Makanlah, sesungguhnya aku berbicara dengan yang tidak berbicara kepadamu."
Rasulullah SAW menganjurkan sahabat-sahabat beliau SAW agar malu kepada malaikat. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Tsauban, maula (budak yang dimerdekakan) Rasulullah SAW, bahwa dia mengatakan, Rasulullah SAW melihat sejumlah orang berkendaraan dalam rangka mengiring jenazah. Lalu beliau bersabda, "Tidakkah kamu malu bahwa malaikat-malaikat Allah berjalan kaki sementara kamu naik kendaraan?!"
Rasulullah SAW pun mengajari sahabat-sahabat beliau agar membuat barisan dalam shalat seperti barisan yang dibuat oleh para malaikat di sisi Tuhan.
Dalam sebuah hadits dikatakan, "Mengapa kamu tidak membuat barisan sebagaimana para malaikat membuat barisan di sisi Tuhan mereka?
Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana para malaikat membuat barisan di sisi Tuhan mereka?’
Beliau bersabda, ‘Memenuhi barisan pertama dan mereka saling merapatkan diri dalam barisan’.”
Jika pemuliaan malaikat kepada orang-orang yang beriman di akhirat dengan perintah Allah SWT tak terhingga dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, bagaimana dengan pemuliaan para malaikat kepada Rasulullah SAW, sementara beliau adalah sosok yang menjadi perantara mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan dan pembelaan terhadap beliau, serta dengan bershalawat dan penghormatan kepada beliau!

“Jangan Mencaci Angin”


Di antara wujud rahmat Rasulullah SAW kepada benda mati adalah beliau SAW melarang mencaci angin. Dari Ubay bin Ka'ab RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian mencaci angin. Jika kalian menghadapi angin yang tidak kalian sukai, ucapkanlah, ‘Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang terdapat di dalamnya, dan kebaikan pada apa yang diperintahkan padanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang terdapat di dalamnya, dan keburukan pada apa yang diperintahkan padanya’.”
Beliau SAW juga melarang mencaci sakit demam. Dari Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW menemui Ummu Saib atau Ummu Musayyab, lantas bertanya, "Hai Ummu Saib," atau, "Hai Ummu Musayyab, kenapa kamu gemetar?"

Dia menjawab, “Demam, tidak ada keberkahan Allah padanya.”

Beliau bersabda, "Jangan mencaci demam, sesungguhnya ia menghapus kesalahan-kesalahan manusia sebagaimana tempaan api menghilangkan kotoran pada besi."

Karenanya, tidaklah mengherankan bila batu pun memberi salam kepada beliau, karena mereka mengenal beliau adalah seorang nabi. Pangkal pohon merindukan beliau saat beliau meninggalkannya. Gunung Uhud terguncang di bawah kedua telapak kaki beliau yang mulia hingga beliau menyuruhnya agar tenang, dan Gunung Uhud pun tenang.
Dari Jabir bin Samurah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui batu di Makkah yang memberi salam kepadaku sebelum aku diutus, sekarang aku benar-benar mengetahuinya."

Dari Jabir bin Abdillah RA, dia mengatakan, “Kala itu masjid ditopang dengan pangkal-pangkal pohon kurma. Saat menyampaikan khutbah, Rasulullah SAW berdiri di salah satu pangkal pohon tersebut. Begitu beliau telah dibuatkan mimbar dan saat itu beliau berada di atasnya, kami mendengar pada pangkal pohon itu suara seperti suara ringkikan hingga Rasulullah SAW menghampirinya lantas meletakkan tangan beliau padanya dan pangkal pohon itu pun tenang.”

Dari Anas RA, dia mengatakan, “Rasulullah SAW mendaki Gunung Uhud bersama Abubakar, Umar, dan Utsman. Lalu gunung Uhud bergetar.

Rasulullah SAW pun bersabda, ‘Tenanglah, Uhud.’

Aku menduga beliau menghentakkan kaki beliau, ‘… karena tidak ada yang berada di atasmu selain seorang nabi, orang shiddiq (Abubakar), dan dua orang syahid (Umar dan Utsman)’.”

“Siapa Yang Membakar Ini?”

Adapun di antara wujud rahmat Rasulullah SAW terhadap hewan, beliau SAW melarang menjadikan hewan sebagai sasaran dalam pemanahan, serta melarang membunuh hewan secara perlahan, yaitu dengan menahannya hingga mati.
Dari Said bin Jubair, dia mengatakan, Ibnu Umar RA melewati sejumlah pemuda Quraisy yang memasang burung-burung sebagai sasaran dan mereka memanahnya. Mereka menetapkan setiap burung yang tidak terkena panah mereka sebagai hak pemiliknya.
Begitu melihat Ibnu Umar, mereka membubarkan diri.

Ibnu Umar bertanya, “Siapa yang melakukan ini? Allah mengutuk orang yang melakukan ini. Sesungguhnya Rasulullah SAW mengutuk orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran.”

Beliau SAW memerintahkan berlaku lemah lembut dan ihsan dalam membunuh atau menyembelih hewan.

Dari Syaddad bin Aus RA, dia mengatakan, “Dua hal yang kuhafal dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menetapkan ihsan pada segala sesuatu. Oleh karena itu, jika kamu membunuh (hewan), lakukanlah pembunuhan dengan ihsan. Jika kamu menyembelih (hewan), sembelihlah dengan ihsan, dan hendaknya salah seorang di antara kamu menajamkan belatinya, serta memberi kenyamanan kepada sembelihannya’."

Beliau SAW melarang mencaci ayam. Dalam hadits dari Zaid bin Khalid RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian mencaci ayam jantan, sesungguhnya ia membangunkan untuk shalat."
Rasulullah SAW adalah nabi rahmat yang mengemban petunjuk bagi seluruh alam. Kutukan adalah semacam kemarahan dan siksaan, sedangkan cahaya-cahaya rahmat beliau SAW menghancurkan kegelapan-kegelapan kemarahan dan siksaan. Keduanya tidak dapat terhimpun.

Beliau SAW melarang mengambil anak-anak burung dari induknya dan melarang membakar (membunuh) hewan dengan api. Dari Abdurrahman bin Abdullah, dari ayahnya RA, dia mengatakan, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan. Lalu beliau bergegas untuk memenuhi keperluan beliau.
Kemudian kami melihat seekor burung bersama dua anaknya. Kami pun mengambil kedua anaknya.
Burung itu datang dengan mengepak-ngepakkan kedua sayapnya.

Begitu Rasulullah SAW datang, beliau bersabda, ‘Siapa yang membuat burung ini menderita lantaran terpisah dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepadanya’.”

Dalam kisah lain disebutkan, “Begitu melihat perkampungan semut yang telah kami bakar, beliau bertanya, ‘Siapa yang membakar ini?’

‘Kami,’ jawab kami.

Beliau pun bersabda, ‘Sesungguhnya tidak ada yang layak menyiksa dengan api kecuali Tuhan, Pemilik api’.”

Maka sungguh sangat menyedihkan “kebiasaan” masyarakat zaman sekarang yang begitu kompak dan bersemangat saat membakar sesama manusia yang terkadang hanya karena mencuri jemuran.

“Anjing Ini Benar-benar Kehausan…”

Kasih sayang terhadap hewan merupakan sebab bagi rahmat dan ampunan Allah. Kasih sayang Islam terhadap hewan mencapai tingkatan yang tidak terbayangkan oleh manusia, yaitu saat Rasulullah SAW memberitahukan bahwa Allah SWT mengampuni orang yang menyayangi anjing yang kehausan lantas dia memberinya minum.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Ketika seseorang berjalan, dia merasa sangat kehausan. Dia pun turun ke sumur lantas minum darinya.
Kemudian dia keluar dan ternyata ada seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya. Anjing itu makan tanah karena kehausan.
Orang itu berkata dalam hati, ‘Anjing ini benar-benar mengalami kehausan seperti yang aku rasakan.’
Maka dia pun segera memenuhi sepatu kulitnya dengan air kemudian memegangnya dengan mulutnya. Lalu dia naik ke atas dan memberi minum anjing itu.
Allah pun membalas kebaikannya dan mengampuninya.”
Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami juga mendapat pahala terkait perbuatan baik kepada binatang?”

Beliau bersabda, "Pada setiap hati yang basah (makhluk hidup) terdapat pahala." Pada hadits riwayat lainnya disebutkan, bahkan seandainya pun orang itu seorang yang kurang taat.
Kebalikan dari kisah di atas, seorang perempuan disiksa dalam neraka karena dia menahan seekor kucing hingga mati.

Dari Abdullah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang dikekangnya hingga mati. Dia pun masuk neraka lantaran kucing.

Dia tidak memberinya makanan, tidak pula memberinya minum saat menahannya, dan dia pun tidak membiarkannya makan serangga-serangga di bumi."
Beliau SAW pun membela unta yang terzhalimi.

Dari Abdullah bin Ja'far RA, dia mengatakan, “Beliau memasuki kebun milik seorang dari kaum Anshar dan ternyata ada seekor unta.

Begitu melihat Rasulullah SAW, unta itu merintih dan bercucuran air mata.
Rasulullah SAW segera menghampirinya dan mengusap kedua pangkal telinganya, lantas unta itu diam.
Beliau bertanya, "Siapa pemilik unta ini? Siapa pemilik unta ini?"
Seorang pemuda Anshar datang dan berkata, “Milikku, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, "Tidakkah engkau takut kepada Allah terkait binatang yang dijadikan oleh Allah sebagai milikmu?! Sesungguhnya ia mengadu kepadaku bahwa engkau membiarkannya kelaparan dan engkau berlaku kasar terhadapnya."

Rahmat kenabian mencapai tingkat yang sangat luhur saat Allah menetapkan pahala bagi manusia jika binatang-binatang dan burung-burung memakan sesuatu dari yang ia tanam meski itu tanpa didasari motivasi yang disengaja.

Dari Anas bin Malik RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang muslim menanam tumbuhan atau menanam tanaman lantas ada yang dimakan oleh burung-burung atau manusia atau binatang melainkan itu baginya merupakan sedekah."

“Apakah Kalian Mencium Anak-anak Kalian?”



Masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW adalah masyarakat satu keluarga, dan beliau SAW berperan sebagai ayah bagi mereka semua. Beliaulah yang memberikan nama anak yang dilahirkan dan melakukan tahnik (mengunyah sebutir kurma kemudian meletakkan pada mulut bayi dan memutar pada sisi-sisinya). Beliau juga mendoakan mereka agar mendapatkan kebaikan dan keberkahan.
Dari Abu Musa RA, ia mengatakan, “Anakku lahir, lantas aku membawanya kepada Rasulullah SAW.
Beliau memberinya nama ‘Ibrahim’ dan melakukan tahnik terhadapnya dengan sebutir kurma dan mendoakannya agar diberkahi. Kemudian beliau menyerahkannya kembali kepadaku.” Itu adalah anak Abu Musa yang paling besar.

Dari Aisyah Ummul Mu’minin RA, Rasulullah SAW mendoakan seorang bayi dengan mengucapkan, "Ya Allah, jadikanlah dia sebagai anak yang berbakti, bertaqwa, dan bijak, serta tumbuhkanlah dia dalam Islam dengan pertumbuhan yang baik."

Doa ini termasuk dalam sekian banyak kalimat beliau SAW yang singkat namun sarat dengan makna, atau dikenal dengan istilah jawami’ul kalim. Pada setiap kata darinya terhimpun maksud yang besar di antara maksud-maksud agama ini, yaitu berbakti, bertaqwa, bijak, dan pertumbuhan dalam Islam dengan pertumbuhan yang baik. Kesemuanya itu adalah makna-makna komprehensif yang luas cakupannya, menghimpun hakikat-hakikat yang besar, dan hampir-hampir merangkum ajaran agama secara keseluruhan.

Demikianlah rahmat yang dibawa Rasulullah SAW kepada anak-anak. Di antara wujud rahmat Rasulullah SAW lainnya terhadap anak-anak adalah penanaman aqidah yang benar dan pokok-pokok keimanan dalam jiwa anak sejak dini. Penanaman prinsip-prinsip sejak kecil dan pengajaran hakikat-hakikat keimanan kepada anak selayaknya menjadi tradisi pendidik yang peduli terhadap perkembangan yang baik, kedalaman kebenaran, keteguhan aqidah, dan persiapan yang baik bagi masa depan.

Dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan, “Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Wahai anak! Aku mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah (agama) Allah, niscaya Dia akan menjagamu; dan jagalah (agama) Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu.
Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.

Ketahuilah, sesungguhnya jika umat berhimpun hendak memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. Dan seandainya mereka berhimpun hendak membahayakanmu dengan sesuatu, mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. Pena telah diangkat dan buku catatan amal telah kering." Makna "Pena telah diangkat dan buku catatan amal telah kering" adalah bahwa apa yang telah ditetapkan pasti terjadi.

Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Al-Musnad dengan tambahan, "Kenalilah Allah pada saat lapang, niscaya Dia mengenal-Mu pada saat sulit. Dan ketahuilah, dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau sukai terdapat banyak kebaikan, kemenangan bersama kesabaran, ada jalan keluar bersama kesusahan, dan bersama kesulitan ada kemudahan."

Selain itu, wujud rahmat Rasulullah SAW lainnya lagi adalah penanaman sikap hormat dan menghargai dalam jiwa anak melalui interaksi yang luhur bersamanya dan mengajarkan akhlaq Islam dan adab-adabnya kepadanya. Ini tampak dalam berbagai gambaran teladan dari beliau, di antaranya beliau mengucapkan salam kepada anak-anak, sedangkan salam adalah wujud perhatian, kepedulian, dan adanya saling keterikatan sosial di antara individu-individu umat.

Terkait salam Rasulullah SAW kepada anak-anak khususnya, itu merupakan sinyalemen bagi kalangan orang-orang dewasa agar memberikan perhatian yang semestinya kepada anak-anak, dan mereka tidak memandang anak-anak dengan pandangan merendahkan dan meremehkan.

Dari Sayyar, dia mengatakan, “Aku berjalan bersama Tsabit Al-Bunany. Begitu melewati anak-anak, Tsabit memberi salam kepada mereka lantas berkata, ‘Saat aku bersama Anas RA lantas melewati anak-anak, dia pun memberi salam kepada mereka dan Anas RA mengatakan, ‘Saat aku bersama Rasulullah SAW dan melewati anak-anak, beliau memberi salam kepada mereka’.”

Dari Wahb bin Kaisan, dia mendengar Umar bin Abu Salamah RA mengatakan, “Saat masih kecil aku berada dalam asuhan Rasulullah SAW. Ketika itu tanganku meraih-raih ke sana-kemari di nampan tempat makanan. Rasulullah SAW pun bersabda kepadaku, ‘Wahai anak! Ucapkanlah basmalah, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah makanan yang dekat denganmu.’ Itulah yang kemudian terus aku amalkan saat aku menyantap makanan.”

Betapa indah pengaruh positif yang diabadikan oleh Umar bin Abu Salamah RA pada bagian akhir hadits ini, "Itulah yang kemudian terus aku amalkan saat aku menyantap makanan." Ini mengungkapkan kekuatan kehendak anak dalam merespons dan membuat perubahan.

Di antara gambaran tentang penanaman rasa hormat dan menghargai dalam jiwa anak adalah mendidiknya agar menunaikan ibadah dengan berbagai ragamnya sejak usia mumayiz (mulai dapat membedakan yang membahayakan dan tidak), mengarahkannya agar suka beribadah, dan melatihnya beribadah, agar dia berkembang dengan lurus dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, jauh dari kesesatan dan penyimpangan.

Dari Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila mereka tidak mengerjakannya pada saat mereka berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka."

Beliau juga amat menghargai keinginan dan perasaan seorang anak. Hal tersebut tampak pada berbagai momentum, bahkan pada saat beliau menunaikan shalat. Lantas bagaimana selayaknya perilaku seorang mukmin di luar shalat?

Dari Abdullah bin Syaddad, dari bapaknya, Syaddad RA, dia mengatakan, “Rasulullah SAW keluar menemui kami pada saat shalat Maghrib atau Isya dengan membawa Hasan atau Husain. Rasulullah SAW pun mengambil tempat di depan lantas meletakkan cucu beliau itu. Kemudian beliau bertakbir untuk shalat.

Pada saat menunaikan shalat, beliau sujud cukup lama di tengah-tengah shalat beliau.
Bapakku mengatakan, ‘Aku pun mengangkat kepalaku. Ternyata ada anak kecil di atas punggung Rasulullah SAW saat beliau sedang sujud. Lalu aku kembali bersujud.

Begitu Rasulullah SAW selesai dari shalat, orang-orang bertanya: Wahai Rasulullah, engkau sujud di tengah-tengah shalatmu dengan sujud yang engkau lamakan hingga kami mengira ada suatu kejadian atau ada wahyu yang diturunkan kepadamu.

Beliau bersabda: Itu semua tidak terjadi, akan tetapi cucuku ini menaiki punggungku, maka aku tidak mau segera membuatnya turun hingga dia memenuhi keperluannya’.”

Kasih sayang kepada anak-anak adalah anugerah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang terbaik dan identitas mukmin sejati dalam seluruh hubungannya. Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayangi.
Dari Abu Hurairah RA, dia mengatakan, “Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali, dan ketika itu Aqra' bin Habis At-Tamimy duduk bersama beliau.

Aqra' berkata, ‘Aku memiliki sepuluh anak namun aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.’
Rasulullah SAW memandangnya kemudian bersabda, ‘Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayangi’."
Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Aisyah RA dikatakan, sejumlah orang pedalaman datang kepada Rasulullah SAW lantas mereka bertanya, “Apakah kalian mencium anak-anak kalian?”
Orang-orang itu menjawab, “Ya.”

Mereka berkata lagi, “Akan tetapi, demi Allah, kami tidak mencium.”

Rasulullah SAW bersabda, "Dan aku layak khawatir bila Allah telah mencabut kasih sayang dari kalian!" Dalam riwayat lain, "Mencabut kasih sayang dari hatimu atau hati kalian."

Rahmat Rasulullah SAW terhadap anak-anak dan canda beliau dengan mereka tidak menjadi penghalang bagi beliau untuk menyampaikan pembinaan dan bimbingan kepada mereka. Sebagaimana yang terungkap dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Laila RA, dia mengatakan, “Aku bersama Rasulullah SAW yang ketika itu di dada atau perut beliau ada Hasan atau Husain. Aku melihat kencingnya mengucur ke mana-mana, maka kami segera menghampirinya.

Namun beliau mencegah, ‘Biarkan cucuku, kalian jangan membuatnya kaget hingga dia menyelesaikan kencingnya."

Kemudian beliau mengguyur bekas kencing sang cucu dengan air.
Setelah itu beliau bergegas masuk gudang kurma zakat dan cucunya turut masuk bersama beliau.
Anak itu mengambil kurma lantas meletakkannya di mulut Rasulullah SAW.
Namun beliau SAW segera mengeluarkan kurma itu dan bersabda, "Sesungguhnya zakat tidak diperkenankan bagi kami (ahlul bayt)."

Beliau juga amat memotivasi anak-anak untuk siap berjuang dan menumbuhkan keahlian yang berkaitan dengan kekuatan melalui latihan memanah. Sebagaimana diungkap dalam hadits yang diriwayatkan dari Salamah bin Akwa' RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW melewati sejumlah orang dari Aslam yang sedang melakukan lomba memanah. Rasulullah SAW bersabda, "Memanahlah, hai keturunan Ismail, sesungguhnya leluhur kalian adalah seorang pemanah….”

Salamah bin Akwa' RA mengatakan, begitu salah satu dari dua kelompok itu menahan tangan mereka, Rasulullah SAW bertanya, "Mengapa kalian tidak memanah?"
Mereka menjawab, “Bagaimana kami memanah, sementara engkau bersama mereka?”
Rasulullah SAW bersabda, "Panahlah, sebab aku bersama kalian semuanya."
Tidaklah mengherankan bila Nabi, petunjuk dan rahmat SAW, memiliki perhatian yang sangat besar seperti ini terhadap anak-anak sejak usia dini, yaitu sejak masa perkembangan mereka yang pertama. Rasulullah SAW mengajari umat beliau bahwa pendidikan sesungguhnya dimulai sejak masa perkembangan anak yang pertama. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Huriarah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah (suci). Kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang menghasilkan binatang yang utuh (tanpa cacat). Apakah kamu merasa ada yang terpotong padanya?"

Kemudian Abu Hurairah RA membaca, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Ar-Rum: 30).

“Padanya Tetap Ada Kebengkokan”

Setiap orang beriman harus mengetahui, di antara rahmat terbesar dalam misi kenabian Rasulullah SAW adalah hukum-hukum syari’at yang lurus, yang mengatur kehidupan manusia, laki-laki maupun perempuan, melindungi hak-hak mereka, dan menegakkan timbangan-timbangan keadilan di antara mereka. Itu semua bermuara dari sumber rahmat, dan itulah yang mewujudkan kebahagiaan umat manusia di dunia, meskipun sebagiannya terkesan keras. Pada akhirnya, mereka akan kembali ke akhirat, menuju kebahagiaan yang lebih agung.

Wanita muslimah pada masa-masa awal benar-benar menyambut dakwah Islam dan menerapkan adab-adabnya. Imannya kepada Allah dan Rasul-Nya SAW benar-benar tulus, tidak melanggar ketentuannya, dan tidak melampaui batas. Mereka tidak melibatkan diri dalam tugas dan pekerjaan laki-laki terkait apa yang dikhususkan Allah bagi laki-laki dan terkait berbagai kewajiban serta tanggung jawab yang ditetapkan bagi laki-laki. Wanita muslimah saat itu melakukan amalnya yang didasarkan pada adanya persamaan dengan laki-laki dalam kebaikan secara umum, dan berlomba-lomba dengan laki-laki dalam hal-hal kebaikan dan kebajikan yang dapat mengangkat martabatnya dan memperbesar pahalanya. Titik tolak ini seluruhnya adalah dari firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (An-Nisa’: 32).

Pada masa-masa kelam dulu, wanita mengalami penyiksaan yang buruk dan diragukan kemanusiannya. Orang-orang enggan memposisikan wanita sebagai pihak yang memiliki motivasi seperti laki-laki, dan wanita dibebani berbagai dosa dan kesalahan yang tak memiliki ketentuan dalam agama. Yang dibutuhkan wanita masa kini adalah membaca. Hendaknya wanita membaca sejarahnya dalam Islam, sikap Islam terhadap wanita, dan sejauh mana perhatian Islam terhadap wanita, agar mereka tahu apa yang dipropagandakan musuh-musuh Islam dan berbagai kalangan yang dalam hatinya terdapat penyakit kebohongan, yang tidak layak untuk diperhatikan atau dilirik sedikit pun.

Di antara rahmat Rasulullah SAW terhadap kaum wanita adalah wasiat bagi kaum wanita dan penegasan terhadap besarnya hak mereka. Dari Abu Hurairah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dia tidak akan istiqamah terhadapmu pada satu ketentuan. Jika kamu menikmatinya, kamu mendapatkan kenikmatan padanya, tapi padanya tetap ada kebengkokan. Jika kamu hendak meluruskannya, (akibatnya) kamu mematahkannya, dan mematahkannya berarti menceraikannya."

Banyak orang salah memahami hadits yang mulia ini. Kendala yang dialami orang seperti ini hanyalah karena minim pengetahuan dan buruknya pemahaman. Rasulullah SAW, yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu melainkan wahyu yang diturunkan, menetapkan dalam hadits mulia ini hakikat yang fitri dan nyata. Bukanlah cela bagi wanita bila kekurangan itu terdapat pada pokok pembentukan dan penciptaannya, sebab ini merupakan perkara yang pasti terjadi padanya, namun itu mengandung hikmah yang luhur yang dikehendaki oleh Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana, untuk menetapkan kewenangan dan pengayoman laki-laki terhadapnya, berusaha keras untuk memuliakannya dan berbuat baik kepadanya, dan agar wanita dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, Islam tidak membebankan kepada wanita sesuatu di luar kemampuannya. Bahkan Islam melarangnya dari segala sesuatu yang tidak baik untuk dilakukannya, yaitu segala sesuatu yang tidak selaras dengan watak kewanitaan dan kondisi fisiknya. Sebab, implikasinya justru mengabaikan tanggung jawabnya yang sesuai dengan fitrahnya, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Akibatnya kehidupan pun rusak dan tidak kondusif. Maka jadilah dia seperti orang yang membangun istana dan menghancurkan kota.

Selain itu, di antara rahmat Rasulullah SAW terhadap kaum wanita adalah penjelasan beliau SAW bahwa istri adalah pemimpin di rumah  suaminya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dari Abdullah bin Umar RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, wanita (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan pembantu adalah pemimpin terkait harta tuannya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
Beliau juga mewasiatkan agar kaum wanita diperlakukan dengan baik dan hak-hak mereka ditunaikan. Dari Bahz bin Hakim RA, dia mengatakan, “Bapakku menyampaikan kepadaku dari kakekku bahwa dia mengatakan, ‘Aku bertanya: Wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami, apa yang harus kami tunaikan terhadap mereka dan apa yang kami tinggalkan?

Beliau bersabda: Datangilah lahanmu bagaimana pun yang kamu kehendaki, dan berilah dia makan jika kamu makan, serta berilah dia pakaian jika kamu mengenakan pakaian. Jangan menjelekkan wajah, jangan memukul, dan jangan berseteru kecuali di dalam rumah’."

Rasulullah SAW, pribadi yang sempurna, juga telah mencontohkan bagaimana beliau menjadi pendengar yang baik atas keluhan yang disampaikan kaum wanita. Dalam sebuah riwayat dari Urwah bin Zubair dikatakan, Aisyah berkata, “Mahasuci Allah, Yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Aku benar-benar mendengar ucapan Khaulah binti Tsa'labah dan sebagiannya tersembunyi dariku. Dia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, dia menikmati masa mudaku dan aku setia dalam melayaninya. Namun, begitu aku sudah tua dan tidak produktif lagi, dia melakukan zihar (seorang suami menyamakan istrinya dengan ibunya sehingga haram istrinya) terhadapku. Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu.”

Periwayat mengatakan, dia tetap bertahan hingga Jibril turun dengan membawa ayat-ayat yang terkait dengan itu, "Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah." (QS Al-Mujadilah:1)
Perhatikan pula bagaimana beliau melindungi kaum wanita dari segala hal yang tidak diinginkan, di antaranya lewat peringatan beliau SAW terhadap bepergiannya seorang wanita. Dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama muhrimnya, dan janganlah ada laki-laki yang menemuinya kecuali dia disertai muhrimnya."
Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, aku hendak keluar dan bergabung dengan pasukan perang begini dan begini, sementara istriku hendak menunaikan ibadah haji?”
Beliau bersabda, "Keluarlah bersamanya."

IY, sumber: Risalah Ustadz Muhammad Vad’aq tentang Rahmat Rasulullah SAW terhadap Alam Semesta

Habib Abdurrahman Basurrah:Tak ‘kan Menyamai Ketinggian Nabi SAW

Di akhir zaman tidak ada amalan yang pasti diterima oleh Allah SWT selain bershalawat kepada Rasulullah SAW
Seminggu sepeninggal Rasulullah SAW, seorang Badwi datang ke Madinah. Ia bermaksud menjumpai Nabi.
Sesampainya di Madinah, ia menanyai sahabat yang dijumpainya. Tapi dikatakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah wafat seminggu sebelumnya dan makamnya ada di samping masjid, di kamar Aisyah, istri Rasulullah SAW.

Badwi itu pun sangat bersedih, air matanya bercucuran, karena tak sempat berjumpa dengan Nabi SAW.
Segera ia menuju makam Rasulullah SAW. Di hadapan makam Nabi, ia duduk bersimpuh, mengadukan dan mengutarakan kegelisahan dan kegundahan hatinya. Dengan linangan air mata, ia berkata, “Wahai Rasulullah, engkau rasul pilihan, makhluk paling mulia di sisi Allah. Aku datang untuk berjumpa denganmu untuk mengadukan segala penyesalanku dan gundah gulana hatiku atas segala kesalahan dan dosa-dosaku, namun engkau telah pergi meninggalkan kami. Akan tetapi Allah telah berfirman melalui lisanmu yang suci, ‘…. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun kepada Allah SWT untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ – QS An-Nisa (4): 64.

Kini aku datang kepadamu untuk mengadukan halku kepadamu, penyesalanku atas segala kesalahan dan dosa yang telah aku perbuat di masa laluku, agar engkau mohonkan ampunan kepada Allah bagiku….”
Setelah mengadukan segala keluh kesah yang ada di hatinya, Badwi itu pun meninggalkan makam Rasulullah SAW.

Kala itu di Masjid Nabawi ada seorang sahabat Nabi SAW tengah tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi Rasulullah. Beliau berkata, “Wahai Fulan, bangunlah dan kejarlah orang yang tadi datang kepadaku. Berikan khabar gembira kepadanya bahwa Allah telah mendengar permohonannya dan Allah telah mengampuninya atas segala kesalahan dan dosanya….”

Sahabat tadi terbangun seketika itu juga. Tanpa berpikir panjang ia pun segera mengejar orang yang dikatakan Rasulullah SAW dalam mimpinya.
Tak berapa lama, orang yang dimaksud pun terlihat olehnya. Sahabat itu memanggilnya dan menceritakan apa yang dipesankan Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Perintah Allah SWT


Penggalan kisah itu diceritakan oleh Habib Abdurrahman Basurrah dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di majelis bulanan alKisah (18/10). Habib Abdurrahman mengingatkan pentingnya mengagungkan Rasulullah SAW. Mengagungkan Rasulullah merupakan kewajiban yang diperintahkan syari’at. Tapi bukanlah menuhankan beliau. Mengagungkan dan menyanjung Nabi SAW berarti menaati perintah Allah SWT.

Dalam Al-Quran, Allah SWT selalu memanggil para nabi dengan menyebut namanya. Seperti firman Allah SWT kepada Nabi Adam AS, “Allah berfirman, ‘Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini…’.” – QS Al-Baqarah (2): 33. Namun, Allah mengecualikan Rasul-Nya, Muhammad SAW, dengan panggilan yang khusus dan agung. Allah tidak memanggil namanya, melainkan selalu memanggilnya dengan sifat-sifat atau predikatnya. Seperti firman Allah SWT, “Wahai orang yang berselimut.” – QS Al-Muddatsir (74): 1. Ini menunjukkan, Allah mengistimewakan Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, menurut Habib Baurrah, Imam Abul Hasan Ali Asy-Syadzilli pernah berkata, “Di akhir zaman tidak ada amalan yang lebih baik daripada bershalawat kepada Rasulullah SAW.” Ungkapan ini disandarkan pada firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” – QS Al-Ahzab (33): 56. Juga hadits shahih dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

Adapun maksud ucapan Imam Abul Hasan Asy-Syadzilli tersebut adalah bahwa tidak ada amalan yang pasti diterima kecuali shalawat kepada Rasulullah SAW. Karena semua amalan disyaratkan padanya niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Amalan yang dilakukan dengan riya’ dan sum`ah, ingin dipuji dan didengar orang lain, tidak akan diterima oleh Allah SWT. Namun shalawat kepada Nabi SAW, para ulama bersepakat, bagaimanapun shalawat itu diucapkan, pasti diterima oleh Allah SWT, bahkan sekalipun orang yang mengucapkannya itu melakukannya dengan riya’, misalnya.

Itulah sebabnya para ulama mengatakan, sanjungan kepada Rasulullah SAW, bagaimanapun bentuk dan tingginya, tidak akan pernah menyamai ketinggian dan keagungan derajat beliau, karena keagungan yang beliau miliki datangnya dari Allah SWT, Yang Mahaqadim. Maka tidak mungkin dan tidak akan pernah pujian dan sanjungan makhluk menyamai pujian dan sanjungan-Nya, yang kekal dan abadi. “Bila demikian, tidak ada kata berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan Rasulullah SAW,” tutur Habib Basurrah menutup taushiyahnya.

Bagai di Kaki Gunung

Peringatan Maulid Nabi SAW majelis bulanan Zawiyah alKisah kali ini, selain dihadiri  karyawan Aneka Yess! Group, penerbit majalah alKisah, juga dihadiri pembaca setia alKisah di wilayah Jabodetabek. Hadir pula para habib asal Pekalongan, antara lain Habib Idrus Shahab, Habib Faried Assegaf, Habib Faik Hinduan, Habib Abdurrahman, Habib Lukman Bilfagih.

Acara diawali dengan penampilan kelompok hadrah Utan Kayu, yang membawakan beberapa lagu pujian dan shalawat kepada Rasulullah SAW. Dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Simthud Durar oleh Habib Abdurrahman Basurrah.

Iringan hadrah dan lantunan merdu shalawat yang menyelingi pembacaan Simthud Durar membuat suasana semakin khusyu’, terlebih dengan semerbaknya wewangian dupa dan bunga rampai Maulid khas Pekalongan, dan menenteramkan hati segenap hadirin, ditambah lagi udara dan cuaca yang cerah, menjadikan suasana majelis semakin terasa damai dan tenteram. Detik demi detik, menit demi menit tak terasa berlalu. Hadirin dibuai kekhusyu’an dan perasaannya masing-masing, menyimak untaian kisah Maulid yang terus mengalir.

Nuansa kerinduan kepada Rasulullah SAW semakin terasa pada saat asyraqal atau mahallul qiyam dikumandangkan dengan nada yang indah, diiringi irama hadrah yang syahdu. Ratusan jama’ah yang hadir memenuhi ruangan terlihat menuangkan ekpresiknya masing-masing mengikuti lantunan asyraqal.

Menjelang maghrib, acara pun ditutup dengan doa dan ramah tamah sambil menikmati hidangan yang disediakan panitia. Yaitu, nasi tomat yang gurih, dihidangkan langsung oleh shaibul bayt, Hj. Nuniek H. Musawa. Juga martabak dan kelengkeng kiriman dari Dian Rakyat. 

Tak lama kemudian, adzan maghrib berkumandang. Jama’ah segera mempersiapkan diri untuk mengikuti shalat Maghrib berjama’ah. Mereka berwudhu di pancuran bambu, yang berbalutkan sabut kelapa, seperti pancuran yang mengalir dari bukit di kaki gunung, di halaman kantor alKisah.

Setelah selesai shalat dan doa bersama, yang dipimpin oleh Habib Basurrah, jama’ah bersalam-salaman dan meninggalkan majelis, dan insya Allah akan kembali lagi sebulan yang akan datang. Amin.…   

MS

Rasulullah SAW dan Pengemis Yahudi Buta

Rasulullah SAW dan Pengemis Yahudi Buta

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.
Keesokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "Siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "Aku orang yang biasa". "Bukan !, Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, “Benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia....”. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

Ratib Al-‘Atthos

RATIB AL-IMAM AL-QUTHUB AL-HABIB UMAR BIN ABDURRAHMAN AL-‘ATTHOS

ياايّها الّذين امنوا اذكرواالله ذكرا كثيرا وسبّحوا بكرة واصيلا


Wahai orang-orang yang beriman perbanyaklah ingatan kamu kepada Allah SWT dan pujilah Dia pagi dan petang (Al-Ahzab : 41 )


Makna Ratib

Kata Ratib diambil dari kata Rotaba Yartubu Rotban Rutuuban atau Tarottaba Yatarottabu Tarottuban, yang berarti tetap atau tidak bergerak. Jadi kata Ratib menurut Lughot (bahasa) artinya kokoh atau yang tetap. Sedangkan menurut istilah, Ratib diambil dari kata Tartiibul-Harsi Lil-Himaayah ( penjagaan secara rutin untuk melindungi sesuatu atau seseorang ). Apabila disebuah tempat ada bala tentara yang berjaga guna melindungi masyarakat, maka mereka disebut Rutbah, dan jika yang berjaga satu orang maka disebut Ratib, para ulama berpendapat makna Ratib adalah kumpulan atau himpunan ayat-ayat Al-qur’an dan untaian kalimat-kailmat dzikir yang lazim diamalkan atau dibaca secara berulang-ulang sebagai salah satu cara untuk bertaqorrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT)


Keberkatan Ratib Al-Habib Umar Bin Abdurrahman Al-Atthos.


    Ratib Habib Umar yang dibari nama Azizul Manl Wafathul Babil Wisol seperti dikatakan oleh Al-Habib Ali bin Hasan AL-Atthos di dalam kitab Al-Qirthos bagian kedua juz pertama : “ Ratib Habib Umar merupakan hadiah yang tertinggi dari Allah bagi umat Islam melalui Habib Umar “.ketahuilah bahwa Ratib yang besar dan Hizib yang kokoh dan sumber yang murni ini, yaitu Ratib Habib Umar Al-Atthos terkandung didalamnya rahasia-rahasia dan Nur-Nur, manfaat yang besar, faedah-faedah yang luar biasa tinggi nilainya, dan tak dapat diperkirakan batas kekuatan pemeliharaanya.

Al-Habib Ali bin Hasan Al-Atthos mengatakan sepengetahuan kami Al-Habib Umar tidak ada sesuatu yang di tinggalkannya berupa bekas peninggalan ( seperti kitab atau masjid terkecuali Ratib ini ) maka dengan jelas Ratib ini diintisabkan kepada pribadinya langsung.

WAFATNYA SANG RASUL

WAFATNYA SANG RASUL
           
Detik-detik kewafatan Rasulullah SAW telah tiba. Rasulullah SAW menyandarkan tubuhnya yang suci ke pangkuan Sayyidah `Aisyah. Tatkala itu, masuklah Abdurrahman dan Abubakar dan ditangannya ada sepotong siwak. Dengan matanya yang indah, Rasulullah SAW memandangi siwak tersebut dan menunjukkan bahwa beliau menginginkannya. Kemudian Sayyidah ‘Aisyah berkata kepada Rasulullah : “Wahai Rasulullah maukah aku ambilkan siwak ini untukmu ?” Beliau pun menganggukkan kepalanya bertanda mengiyakan. Kemudian Sayyidah ‘Aisyah pun mengambil siwak tersebut dan mengunyah ujungnya sampai lunak kemudian memberikannya kepada Rasulullah. Dan Rasulullah pun bersiwak dengan cara yang paling baik sebagaimana lazimnya dilakukan oleh beliau kala sehatnya. Di depan beliau ada sebuah bejana berisi air, lalu beliau memasukkan kedua tangannya ke dalam air tersebut kemudian mengusapkan kewajahnya sambil berkata : “La ilaaha illallah, sesungguhnya kematian itu mengalami saat-saat yang pedih”.
           Tak berselang lama selesai bersiwak , saat itu kepala Rasulullah berada di pangkuan Sayyidah ‘Aisyah dan Sayyidah ‘Aisyah merasakan beratnya kepala Rasulullah di pangkuannya. Terlihat Baginda Rasul mengangkat kedua tangannya dan menatapkan pandangan ke atas, ke dua bibirnya bergerak dan Sayyidah ‘Aisyah mendengarkannya beliau berkata lirih : “bersama-sama dengan orang-orang yang telah engkau anugerahi nikmat, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh. Ya Allah, ampunilah dan kasihanilah aku, pertemukan aku dengan kekasih Yang Maha Tinggi , Ya Allah Kekasih Yang Maha Tinggi”.
           Beliau mengulangi kalimat yang terakhir ini tiga kali, kemudian ke dua mata Rasulullah terpejam dan suara beliau pun tak terdengar lagi. Ruh suci beliau naik menuju kekasih Yang Maha Tinggi, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya kita milik Allah dan kita pun akan kembali kepada-Nya.
           Rasulullah wafat pada waktu dhuha musim panas, hari senin 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah. Usia beliau saat itu telah mencapai enam puluh tiga tahun lebih empat hari.

Diringankan siksa Abu Lahab krn BerMaulid

Ayo Baca Maulid

 
Umat Islam pada saat ini berada pada kondisi pertentangan antara orang yang mendukung dan menolak, antara yang mengatakan sunnah dan bid’ah. Sehingga mereka lupa akan esensi pokok yaitu umat islam haruslah berada dalam satu barisan. Diantara hal yang sering dipertentangkan adalah masalah maulid. Pembacaan/ peringatan maulid maulid adalah dilakukan untuk mengenang dan memuliakan nabi Muhammad. Hal ini dapat dilakukan kapan saja, hanya pada bulan kelahiran nabi peringatan ini kelihatan lebih semarak.

Al-Qur’an mengisyaratkan tentang cerita maulid dan pengagungan Nabi Muhammad dalam surah Shaf :6 “dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata.

Ketika Rasulullah datang ke Maddinah Ia mendapatkan orang yahudi sedang berpuasa 'Asyura, Rasulullah bertanya kepada mereka dan mereka menjawab "Hari terserbut adalah hari Allah menenggelamkan fir'aun dan Allah selamatkan Nabi Isa A.S, kami berpuasa karena bersuykur kepada Allah.
Hadist ini menunjukan ungkapan rasa syukur dengan melakukan ibadah seperti puasa, sholat dll. Dan ungkapan rasa syukur dan kegembiraan tersebut juga terlihat dengan keberadaan sang nabi yang mulia, dengan mengadakan maulid, bersholawat dan memberi makan kepada orang lain.
Dan adalah Rasulullah mengagungkan hari kelahirannya dengan berpuasa dihari senin. Beliau mengatakan “ pada hari ini aku dilahirkan dan pada hari ini wahyu diturunkan kepadaku”
 
  Al-imam Syamsuddin Muhammad bis Nasir uddin ad-Dimasyqi membuat sebuah syair :
 
 “apabila orang kafir ini

Yang telah di cela dengan tabbat yadahu


Kekal didalam neraka

Ia pada hari senin

Dringankan karena gembira dengan adanya Muhammad

Bagaimana orang selalu gembiira Dengan Nabi

Dan Meninggal bertauhid meninggal.
 
Dari dahulu sampai sekarang ada orang yang mengatakan bahwa peringatan maulid itu tidak ada asalnya  dan tidak pernah dilakukan pada masa-masa Awal. Sehingga mereka mengatakan bahwa maulid itu bid’ah, sesat, bahkan Haram . Kalau memang demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh para sahabat adalah bid’ah, seperti mengumpulkan al-quran yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar, dan masih banyak hal lain yang bisa masuk dalam kategori bid’ah ini. Maka dari itu haruslah dibedakan mana bid’ah yang baik dan bid’ah yang tercela.

Alangkah indahnya yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i: “ sesuatu yang baru dan berlawanan dengan al-qur’an, hadist, ijma’ dan atsar, itulah yang dinamakan bid’ah yang sesat. Adapun sesuatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan hal tersebut maka itu terpuji.   Sebagian orang mengatakan peringatan maulid dan berdiri ketika asroqol adalah pengkultusan kepada nabi"