Kejujuran : Mission Possible Ujian Nasional

Semakin dekatnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) membuat saya tertarik untuk menulis tentang kejujuran ini. Ya kejujuran, yang pada saat ini rasanya sulit untuk mendapati orang-orang yang mempunyai integritas dan menjunjung tinggi kejujuran, dalam berbagai sektor kehidupan dan tidak terkecuali dunia pendidikan.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa mencari orang jujur di negeri ini adalah ibarat mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami, sebuah mission impossible. Dalam pandangannya, kejujuran telah hilang dari negeri tercinta Indonesia. Dari ujung paling atas negeri ini hingga pangkal paling bawah terbelenggu oleh kemunafikan, ketidak jujuran, dan

Jika kejujuran adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita, maka pakta integritas kejujuran menjadi tidak diperlukan. Apalah artinya tanda tangan pakta integritas kejujuran bila kejujuran itu tidak ada sama sekali dalam kehidupan kita. Meskipun kita disumpah, maka bisa dipastikan sumpah kita adalah sampah. Bukankah para pejabat yang korup juga bersumpah, bahkan atas nama Tuhan? Berarti sumpah mereka adalah sampah!

semangat korup yang maha dahsyat. Betapa setiap hari kita disuguhi berita-berita ketidakjujuran, tindakan korup, dan tidak amanah.

Sebelumnya kita beranggapan bahwa yang tidak jujur adalah orang-orang atas, orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Tetapi fakta telah membuktikan bahwa ketidakjujuran itu sekarang tidak hanya didominasi oleh kalangan elit, tetapi juga oleh orang-orang bawah yang sama sekali tidak mempunyai kekuasaan. Dulu kita juga beranggapan bahwa ketidakjujuran adanya hanya di tempat-tempat “basah”. Faktanya adalah dimanapun tempatnya, ketidakjujuran itu terjadi. Bahkan dunia pendidikan, tempat dimana nilai-nilai kebaikan dan kejujuran ditanamkan, juga tidak luput dari ketidakjujuran.

Ironis memang, bangsa Indonesia adalah bangsa religius, bangsa yang dalam falsafan negaranya tercantum betapa nilai-nilai ketuhanan sangat dijunjung tinggi. Tentu saja dalam nilai-nilai ketuhanan itu, kejujuran adalah sesuatu yang sangat penting. Apalagi untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tentu saja kejujuran menjadi syarat mutlak.

Mission Possible itu bernama kejujuran


Dalam pelaksanaan UN tahun pelajaran 2010/2011 yang lalu, kita dikejutkan dengan berita ironi. Sebuah peristiwa memilukan dialami oleh Ibu Siami sekeluarga yang terusir dari rumahnya. Peristiwa pengusiran itu dilatarbelakangi sikap jujur anaknya dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SD tempatnya menimba ilmu.

Adalah Alifah Ahmad Maulana, anak pasangan Widodo dan Siami yang tergolong anak pandai di sekolahnya, SD Gadel II. Dia diminta gurunya–sebagai balas budi–memberikan contekan kepada teman-temannya saat Ujian Nasional (UN) Mei 2011 lalu. Ahmad memenuhi permintaan gurunya, tetapi dia juga mengadukan apa yang dilakukan kepada ibunya. Mendengar pengaduan itu Ibu Siami melaporkan peristiwa contek massal itu ke berbagai pihak, termasuk media massa.

Akibat laporan Ibu Siami, orang tua siswa peserta UN di SD Gadel II menggelar unjuk rasa dan memaksa Ibu Siami dan keluarga meninggalkan rumahnya. Polisi terpaksa turun tangan mengevakuasi keluarga Widodo. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani pun telah memberikan sanksi larangan mengajar kepada guru yang meminta Ahmad berbuat curang dan mencopot jabatan kepala SD Gadel II.

Derita pilu buah dari kejujuran yang dialami Ibu Siami sekeluarga berbanding terbalik dengan yang dialami Gubernur Bengkulu non aktif (saat itu) Agusrin M. Najamudin. Dia didakwa korupsi 20 miliar rupiah dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Dan setelah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, ketika pulang kampung Agusrin disambut meriah–diarak menuju rumahnya–bak sorang pahlawan yang baru pulang dari medan perang.

Fenomena apa ini, ketika seseorang dengan integritasnya menjunjung tinggi kejujuran justru terusir dari rumah sementara seseorang yang didakwa korupsi malah diarak bak pahlawan pulang dari gelanggang perang.

Pertanyaannya adalah, apa sebabnya masyarakat menolak kejujuran yang ditunjukkan Siami sekeluarga dalam pelaksanaan Ujian nasional? Masih mungkinkah melaksanakan Ujian Nasional (UN) dengan jujur?

Peristiwa pengusiran yang dilakukan oleh warga kepada satu keluarga terkait pelaksanaan Ujian nasional, menurut saya diakibatkan karena besarnya tekanan yang dirasakan oleh mereka. Mereka merasa Ujian Nasional adalah segala-galanya. Anak-anak mereka harus mendapatkan nilai yang bagus agar tidak memalukan. Dan adanya salah anggapan bahwa Ujian Nasional adalah tujuan dari pendidikan. Karena anggapan sebagai tujuan pendidikan maka prilaku mereka adalah menjadikan UN sebagai tujuan akhir. Sehingga kegagalan memperoleh nilai maksimal dianggap sebagai kegagalan pendidikan. Akibatanya, sekolah, guru, dan masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang dirasa perlu untuk mendongkrak nilai agar dikatakan berhasil dalam proses pendidikan walaupun harus dengan cara curang.

Lalu, masih mungkinkah menjaga integritas dan kejujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2012 ini? Menurut saya, kejujuran masih sangat mungkin diterapkan dalam segala aspek kehidupan kita termasuk dalam dunia pendidikan. Dan khusus dalam pelaksanaan Ujian Nasional, kejujuran adalah mission Possible bila semua pihak yang terkait satu kata dan satu hati. Kesadaran semua pihak bahwa indikator keberhasilan pendidikan tidak hanya dilihat dari hasil UN, tetapi dari banyak indikator lain yang mutlak diperlukan. Kesadaran bahwa nilai UN adalah bagian kecil dari keberhasilan proses pendidikan menjadikan semuanya berpandangan bahwa ada tujuan pendidikan yang lebih penting dan mulia dari sekedar nilai mapel UN.

Kejujuran dalam pelaksanaan UN agar menjadi mission possible maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. luruskan niat
  2. bangun kesadaran bahwa pendidikan bukan sekedar mencari angka, tetapi lebih pada menanamkan value dan attitude dalam kehidupan jangka panjang
  3. sadari juga bahwa hari ini kita memberikan kebohongan, berarti kita telah membangun generasi pembohong. Padahal mereka adalah generasi penerus yang bertanggung jawab pada masa depan Indonesia
  4. jaga integritas
  5. sebagai orang beragama, ingatlah bahwa ketidakjujuran berakibat pada dosa dan kehancuran.

Jika kejujuran adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita, maka pakta integritas kejujuran menjadi tidak diperlukan. Apalah artinya tanda tangan pakta integritas kejujuran bila kejujuran itu tidak ada sama sekali dalam kehidupan kita. Meskipun kita disumpah, maka bisa dipastikan sumpah kita adalah sampah. Bukankah para pejabat yang korup juga bersumpah, bahkan atas nama Tuhan? Berarti sumpah mereka adalah sampah!

Ingatlah bahwa kejujuran adalah pangkal kebaikan berkelanjutan, dan sebaliknya kebohongan adalah pangkal kejahatan berkelanjutan. Nabi bersabda :

قَالَ رَسُولُ اللهِ ص م عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Wajib atasmu bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan dituls oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan wajib atasmu menjauhi bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong” (HR. Muslim dari Abdullah)
Semoga bermanfaat.