SBY Mirip Umar Bin Khattab Dalam Hal Menangis

Banyak orang mengidamkan pemimpin seperti Umar bin Khattab yang adil, tegas, tanpa kompromi melibas semua ketidakadilan, tetapi menempuh hidup sederhana karena khawatir melukai hati rakyatnya. Padahal tanpa kita sadari sebenarnya presiden kita SBY ini pun sangat mirip dengan Umar bin Khattab, setidaknya dalam hal menangis. Kenapa seorang pemimpin negara bisa menangis? Barangkali itulah yang membedakannya. Seperti apa bedanya?
Ada beberapa hal yang menyebabkan orang menangis. Namun bagi seorang negarawan tentu tidak sembarang sebab bisa dijadikan alasan untuk menangis. Dan dari sebab sebab tangisannya kita dapat memperkirakan kualitas kenegarawanan seseorang:

1. Nangis karena tidak terpilih menjadi pemimpin. Biasanya dialami oleh wanita, atau orang yang utang dana kampanye nya menggunung dan terancam tak bisa mengembalikan kalau tak jadi penguasa. Kalau bagi penguasa lama biasanya nangis tidak terpilih ini disebabkan karena takut diungkap kebijakan buruknya  selama memerintah dahulu. Itu sebabnya orang orang jenis ini mati matian pengin berkuasa seterusnya, kalau bisa dari dalam kuburpun masih bisa memerintah aparat.

2. Nangis karena capek banyak urusan banyak kritikan

3. Capek karena dicuekin ama aparatur di bawahnya

4. Nangis karena takut reputasinya jelek dimata rakyat

5. Nangis karena partainya dicaci maki rakyat

Berita Hot Tabrakan Kereta Api Dini Hari Di Banjar Jawa Barat

Kecelakaan Kereta api Terjadi lagi. Kali ini di Kota Banjar Jawa Barat tepatnya di daerah Langensari. 




VIVAnews - Kecelakaan kereta Api terjadi di Langensari Banjar, Kota Banjar, Jawa Barat. Kecelakaan terjadi sekitar pukul 02.00 Wib, Jumat, 28 Januari 2011.

Dua kereta yang terlibat tabrakan adalah KA Mutiara Selatan dan KA Kutojaya Selatan. KA Mutiara Selatan berangkat dari Surabaya menuju Bandung sedangkan Kutojaya berangkat dari Bandung menuju Purwokerto.

"Sampai saat ini belum ada laporan korban jiwa," kata petugas Polsek Purwaharja, Banjar, Brigadir Khadma ketika dihubungi VIVAnews.

Saat ini anggota-anggota Polsek di kota Banjar dikerahkan menuju lokasi untuk melakukan evakuasi.

"Kalau ada korban akan dibawa ke puskesmas-puskesmas dan RS Banjar," ujar Brigadir Khadma.
• VIVAnews

UFO Tertangkap Video Dari Jarak 30 Meter (Full Video)

Banyak orang menyangsikan keberadaan UFO. Padahal keberadaannya benar benar ada. Ribuan orang pernah menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. dan beberapa diantaranya berhasil mengabadikan pengalamannya dengan video. Berikut videonya

video ini asli rekaman handycam

pendaratan piring terbang seringkali dilakukan di areal pesawahan. hal ini disebabkan karena areal pesawahan merupakan area terbuka yang sangat landai jika dibandingkan dengan area perkebunan yang biasanya berbukit bukit. selain sawah, biasanya mereka juga melakukan pendaratan di daerah rawa.

UFO Benar Benar Mendarat Di Sleman dan Bantul Yogyakarta


Crop circle yang ditemukan di Sleman Yogyakarta memang mengundang perhatian banyak orang. Peneliti Lapan mengatakan "Jejak UFO" tersebut adalah buatan manusia. Tapi beberapa pemerhati UFO mengatakan sebaliknya. Inilah 6 bukti bahwa jejak tersebut benar benar bekas pendaratan UFO



1 Lubang di titik pusat Lingkaran adalah bekas piranti canggih UFO yang berguna untuk menentukan titik orientasi pendaratan yang nantinya menjadi acuan pendaratan untuk UFO lainnya. peneliti Lapan mengatakan bahwa lubang ini adalah lubang acuan pembuatan crop circle oleh manusia.

2 Batang padi rebah tidak patah. beberapa foto yang memperlihatkan padi rebah dan patah adalah batang yang rusak karena terinjak orang. sedangkan batang padi yang lainnya sebenarnya tidak patah

3.Crop Circle buatan manusia akan lebih rapih dibanding bekas pendaratan pesawat. Lapan menemukan bahwa crop circle sleman tersebut tidak simetris dan tidak rapih. mereka katakan bahwa itu bukti bahwa semua bikinan manusia. padahal itu malah membuktikan bahwa jejak itu benar benar bekas pendaratan pesawat yang dilakukan bukan dengan pengukuran melainkan cropping

4. lapan mencari bekas bekas radiasi, kemudian tidak menemukannya. mereka bilang bahwa ini merupakan bukti bahwa jejak itu bukan bekas pendaratan pesawat. Rupanya peneliti lapan mengira pesawat canggihnya UFo sama dengan pesawat IPTN. Itu tidak membuktikan bahwa jejak tesebut bukan UFO. tetapi malahan kita dapat data teknologi canggih bahwa sebuah pesawat bisa medarat tanpa diketahui bahwa itu adalah bekas pesawat.

5. ketika Tim Lapan tidak menemukan korelasi jejak tersebut dengan pendaratan UFO kesimpulannya adalah bikinan manusia, padahal bukti bukti bahwa itu bikinan manusia juga tidak mereka dapatkan.

6. hanya karena manusia bisa membuat jejak seperti itu, orang langsung menyimpulkan bahwa jejak itu adalah bikinan manusia. ini sama persis dengan: ketika ada seonggok kotoran kerbau di depan istana raja, dan bisa dibuktikan bahwa manusia bisa membuat onggokan yang seperti itu jua maka disimpulkan bahwa onggokan kotoran kebo tadi adalah bikinan manusia.

Pengaruh Buruk Terhadap Tubuh Akibat Kurang Tidur

Tidur merupakan perilaku alamiah yang dikaruniakan Tuhan atas tubuh manusia agar performa nya tetap terjaga. Tidur adalah mekanisme tubuh untuk mengistirahatkan sebagian besar organ, di mana kondisi “off” itu diperlukan agar tubuh memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki sel sel yang rusak ketika seseorang melakukan aktivitas keseharian. Itu sebabnya jika seseorang kurang tidur, dia akan mengalami pengaruh buruk atas kesehatan tubuhnya. Berikut ini 6 Pengaruh buruk tersebut:



1. DAYA TAHAN TUBUH MELEMAH 

Ketika seseorang tidak memiliki waktu tidur yang cukup, maka tubuh orang tersebut belum cukup waktu dalam memperbaiki sel tubuh yang rusak akibat aktifitas yang dia lakukan. Artinya ketika bangun tidur, sel-sel tubuh yang rusak belum seluruhnya dipulihkan. Kinerja tubuh akan berkurang pada kondisi demikian kuman penyakit dan virus lebih mudah masuk ke dalam tubuh.
 
2. BERISIKO TERKENA STROKE DAN PENYAKIT JANTUNG

Menurut Kazuo Eguchi dari Universitas Medis Jichi yang dikutip dari Jurnal Asosiasi Medis Amerika menyimpulkan bahwa bergadang dapat memicu serangan jantung dan menimbulkan stroke. Dalam penelitian itu ditemukan 99 kasus penyakit kardiovaskuler pada orang yang kurang tidur dalam 7,5 jam. Tak hanya itu, tekanan darah mereka juga naik pada malam hari dan merasa sakit pada jantung. Hasil penelitian lainnya dari American Academy of Sleep Medicine (AASM) lewat juru bicaranya sanjeev Kothare, MD, menyampaikan bahwa begadang dapat menyebabkan seseirang menjadi suka ngemil. Tentu saja ngemil makanan instan itu enggak sehat. Beresiko terjadinya penyumbatan di pembuluh darah yang juga mengakibatkan kolestrol. Nah jadi jika kolestrolmu tinggi, bisa berdampak stroke berapapun usiamu.

3. MEMPENGARUHI TINGKAT KESTABILAN EMOSI

Secara medis ketenangan atau kondisi rileks ditandai dengan pelepasan endorphin dari dalam tubuh. Begadang dapat menyebabkan pelepasan hormon tersebut tidak sempurna. Sehingga susunan saraf pusat yang mengatur emosi seseorang pun terganggu. 

4. KEGEMUKAN

Hasil penelitian Unoversitas Otago, Selandia Baru, menyebutkan begadang juga dapat menyebabkan obesitas atau kegemukan. Awalnya tubuh yang tak bugar akan membuat seseorang enggan melakukan aktifitas fisik. Kalori dalam tubuhpun menjadi menimbun menjadi lemak. Selain itu juga, begadang pun akan memicu hormon yang meningkatkan keinginan makan.

5. MEMICU RESIKO DIABETES DAN DARAH TINGGI

Didalam tubuh seseorang ada yang disebut dengan sekresi alias pengeluaran hormon insulin yang berfungsi untuk memecah gula. Begadang bisa menyebabkan hormon ini melemah dan bekerja secara tidak sempurna.  Menurut riset yang dilakukan oleh University of Chicago, Amerika serikat keseimbangan metabolisme tubuh akan terganggu jika kamu begadang selamu 3 hari berturut-turut. Gula yang harusnya diubah menjadi energi menumpuk dalam darah. Tingginya kadar gula dalam darah itulah yang menyebabkan Diabetes mellitus. Tak hanya beresiko diabetes meningka, tekanan darah tinggi juga jadi resikonya.

6. MEMICU PENUAAN DINI/KERIPUT DI KULIT

Bukan menjadi rahasia lagi kalau peremajaan kulit berlangsung saat tidur. bayangkan jika kamu begadang proses ini pastinya akan terganggu.

Stop Makan 4 Jam Sebelum Tidur (Trik Meningkatkan Kualitas Tidur)

Berhenti makan minimal 4 jam sebelum tidur terbukti bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang. Sebaliknya banyak makan sebelum tidur menyebabkan ketika bangun di pagi hari badan kita terasa tidak bugar. Kenapa demikian?

Tidur merupakan perilaku alamiah yang dikaruniakan Tuhan atas tubuh manusia agar performa nya tetap terjaga. (lihat: Keajaiban Tidur). Tidur adalah mekanisme tubuh untuk mengistirahatkan sebagian besar organ, di mana kondisi “off” itu diperlukan agar tubuh memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki sel sel yang rusak ketika seseorang melakukan aktivitas keseharian.

Jika terlalu banyak makan menjelang tidur maka mekanisme pemulihan yang dilakukan tubuh saat tidur akan terganggu oleh aktifitas lambung dalam mencerna makanan. Waktu rata rata yang diperlukan lambung untuk mencerna makanan adalah 4 jam. Itu sebabnya beberapa ahli menyarankan kita berhenti makan kira kira 4 jam sebelum tidur, sehingga tepat pada saat mulai tertidur proses pemulihan sel sel pada seluruh bagian tubuh bisa berjalan dengan baik tanpa terganggu aktifitas lainnya. Dengan mengatur asupan makanan ke dalam lambung, seseorang akan mendapatkan kualitas tidur yang jauh lebih baik.

Tapi gimana kalau menjelang tidur kita merasa lapar?

Jika memang lapar menjelang tidur pilihlah makanan yang mudah untuk dicerna oleh lambung, misalnya sayuran dan buah buahan.

Tangisan Rasulullah SAW Menggetarkan Arasy

“Dikisahkan, bahawasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka ’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka ’bah, dan berzikir lagi: “ Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!”
Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu lalu berkata: “Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, kerana aku ini adalah orang Arab badwi? Kalaulah bukan kerana ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah. ”


Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah s.a.w. tersenyum, lalu bertanya: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab ?” “Belum,”jawab orang itu. “Jadi bagaimana kau beriman kepadanya ?” “Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum
pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya, ” kata orang Arab badwi itu pula.

Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat !” Melihat Nabi dihadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya. “Tuan ini Nabi Muhammad?!” “Ya” jawab Nabi s.a.w. Dia segera tunduk
untuk mencium kedua kaki Rasulullah s.a.w. Melihat hal itu,
Rasulullah s.a.w.menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:“Wahai orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan serupa itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”

Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: “Ya Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda:
“ Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahawa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil mahupun yang besar !” Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi.

Maka orang Arab itu pula berkata:
“ Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya !”kata orang Arab badwi itu.
“Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan ?” Rasulullah bertanya kepadanya. ‘Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya,’ jawab orang itu. ‘ Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawananNya! ’

Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah s.a.w. pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata: “ Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda:
“Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya kerana tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahawa Allah tidak akan menghisab dirinya,juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah mengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti !”

Betapa sukanya orang Arab badwi itu, apabila mendengar berita tersebut. la lalu menangis kerana tidak berdaya menahan keharuan dirinya.
Sumber Sirah Nabawiy>

Manaqib Syeh Abdulqodir Al Jaelani.MP3










Bedanya Uya Kuya dan Rommy Raphael

Yang suka nonton acar Hipnotis di TV tentu hafal Uya Kuya maupun Rommy Raphael. Keduanya menampilkan permainan Hipnotis yang digandrungi bayak pemirsa. Tapi sebenarnya keduanya memakai teknik hipnotis yang sedikit berlainan. Kalau kita perhatikan dengan seksama, Uya Kuya selalu menanyai peserta dengan dua pertanyaan yang sama pada dua waktu yang berbeda. Uya selalu menanyakan "Siapa nama anda?" pada saat perkenalan dan itu diulanginya sekali lagi saat peserta sudah tertidur (terhipnotis). Hal ini tidak terjadi pada atraksi Rommy Raphael. Nah apa sesungguhnya yang membedakannya? Apa pengaruhnya atas peserta?

Rahasia Setan Dalam Penggandaan Uang Ghaib

Ada 2 Cara Penipuan Dengan Judul Penggandaan Uang Ghaib. Yang Pertama adalah tipuan biasa ala arisan bodong, sedangkan yang kedua adalah tipuan mata dengan menggunakan sihir atau kerjasama dengan setan (jin kafir). Bagaimana mekanisme nya? Kenapa ada yang benar-benar bisa mendapatkan uang hasil penggandaan sementara yang lain tidak? Berikut penjelasannya.

Penggandaan Uang Gaya Arisan Bodong

Pelaku melakukan trik sulap merubah uang seribu menjadi seratus ribu, dihadapan si A B C dan D. Pelaku menerangkan bahwa, dengan syarat tertentu dia bisa melakukan hal tersebut untuk jumlah yang lebih banyak. Si A B dan C tertarik kemudian menyetor sejumlah uang masing masing 1 juta rupiah dalam bentuk lembaran seribuan. Setelah syarat syarat dipenuhi dan dilakukan ritual pengubahan nilai nominal uang. ternyata benar benar terjadi perubahan. 20 lembar uang seribuan milik A telah berubah menjadi 20 lembar 100 ribuan. sedang sisanya 980 lembar lainnya masih tetap. Tetapi uang milik B dan C tetap tidak berubah.

Pelaku pun membual bahwa Ritual si A sudah berjalan tapi belum sempurna sedangkan B dan C masih mentah. A B dan C pun disarankan untuk menambahkan persyaratan lain.

Rahasia yang tidak diceritakan si pelaku adalah bahwa uang B dan C (total 2 juta) sudah ditukar dengan 20 lembar 100 ribuan kemudian dimasukkan ke dalam karung milik A. sementara lembaran seribuan milik A di bagi bagi ke karung milik B dan C. (ritual uang ghaib selalu di lakukan dengan karung, tas plastik atau kotak tertutup dengan tujuan supaya tidak terlihat apa isi sebenarnya dari karung karung tersebut)

Karung A isinya 20 lembar 100 ribuan+lembaran seribuan+guntingan koran. Karung B dan C isinya lembaran seribuan +guntingan koran.

Hari berikutnya D mulai tertarik dan ikut ritual dengan menyetor 1 juta. Bahkan D mengajak 5 orang temannya yang masing masing setor 1 juta, sehingga total setoran pengikut baru = 6juta. Setelah ritual ternyata A, B dan C berhasil mendapatkan masing masing 2 juta. 
Karung milik D dan 5 orang temannya berisi uang seribuan+potongan koran

D dan 5 orang temannya tidak tahu bahwa sebenarnya A B dan C sebenarnya adalah kaki tangan sang pelaku. 
Dalam kenyataannya jumlah dan 5 temannya ini jumlahnya bisa sampai puluhan dan uang yang disetorkan plus syarat syaratnya untuk masing masing korban bisa bernilai puluhan atau ratusan juta rupiah.

Untuk sedikit menghibur korbannya pelaku memberikan sejumlah hasil (lembaran 100 ribuan) juga pada karung karung korbannya. tetapi total nilai yang dibagikan jauh lebih kecil dibanding dengan jumlah setoran seluruh korbannya. Dengan cara ini pelaku meraup uang tunai dengan mudah.

Semakin banyak jumlah orang yang terpedaya maka semakin lama aksi penipu tersebut bisa aman untuk ditutupi dengan dongeng uang ghaibnya. Tapi jika korban baru tak kunjung datang dan jumlah setoran mulai menipis bualan sang penipu tak kan lagi bisa meredakan rasa dongkol para korban yang tak kunjung mendapatkan hasil. Saat itulah biasanya sang penipu mulai ambil jurus pamungkas yaitu langkah seribu.


Penggandaan Dengan Tipuan Mata (Bantuan Setan dari jenis Jin)

Kalau penggandaan jenis pertama itu murni akal akalan orang biasa, kalau yang tipuan mata ini hanya bisa dilakukan oleh penipu yang memiliki perjanjian khusus dengan setan (dari jenis jin). Yang dikenal orang sebagai dukun, paranormal, orang pintar, 'kiai'(dalam pengertian sempit) biasanya memiliki perilaku khusus dalam bekerjasama dengan setan dari jenis jin.

Mekanisme Tipuan Mata dalam penggandaan uang adalah sebagai berikut:

Pelaku meminta syarat ritual (syarat yang diminta oleh setan yang akan membantu)  kepada A. Pelaku menyiapkan tas plastik atau karung kosong. Setelah ritual selesai karung menjadi penuh dengan uang lembaran 100 ribuan. Uang tersebut bisa digunakan oleh A untuk berbelanja atau membeli apa saja tetapi jangka waktunya ditentukan. Misalnya uang  harus sudah habis sebelum tujuh hari. Waktu tujuh hari adalah waktu kesepakatan antara pelaku dan setan (dari jenis jin) yang membantu. Selama tujuh hari penuh pasukan setan menjaga tiap tiap lebar 100 ribuan tersebut sehingga setiap orang yang melihat benar benar melihat seolah olah nyata bahwa uang tersebut adalah lembaran 100 ribu, padahal benda sebenarnya bisa berupa kertas atau uang uangan atau benda benda lain seperti daun daunan.

Setelah 7 hari berlalu pasukan setan yang menjaga tiap lembar tersebut pergi, dan mata orang yang melihat lembaran uang uang tersebut akan melihat benda sebenarnya, yaitu uang uangan, kertas atau dedaunan

Jadi pasukan setan tadi menipu semua orang selama 7 hari sesuai kesepakatan. Setan setan itu membuat mata orang melihat lembaran kertas seolah olah uang pecahan 100 ribu.

Dengan mekanisme semacam itu si A membelanjakan uang (tipuan sihir) tersebut kepada orang lain. Jadi setan sekaligus menjebak A untuk membohongi orang lain dengan bantuan pasukannya.

Demikian 2 jenis penipuan penggandaan uang. Tidak benar bahwa uang yang dihasilkan dengan bantuan setan semacam itu adalah uang yang nyata. karena uang yang dibuat oleh bank ada nomor serinya masing masing. jumlahnya pun tertentu. Yang benar adalah bahwa uang dari bantuan setan adalah uang tipuan mata. Itu artinya A meskipun mendapatkan uang yang bisa dibelanjakan tapi sebenarnya A sudah ditipu oleh setan karena sejatinya itu semua bukanlah uang melainkan sesuatu yang seolah olah uang (akibat tipuan mata yang dilakukan oleh kawanan setan) Dalam bahasa agama populer sering disebut sihir.

Kedua jenis penipuan ini sama sama harus dicermati agar tidak jatuh korban lebih banyak. Penggandaan uang jenis kedua tampak lebih pasti berhasil buat si A (pasien/korban) tetapi sebenarnya si A sudah masuk pada satu dosa besar yang paling berat di hadapan Tuhan, yaitu dosa syirik.

Belajar dari pengalaman, biasanya yang sudah masuk dalam perangkap kerjasama dan perjanjian dengan setan, orang orang semacam ini menjadi semakin sulit untuk bisa kembali kepada Allah. Hal ini disebabkan setan tidak akan mau melepaskan orang orang yang sudah menjadi teman mereka.

Demikianmudah mudahan bermanfaat.

Most Amazing Book In The World QUR'AN Devine Words of Allah

Calling the Qur'an amazing is not something done only by Muslims, who have an appreciation for the book and who are pleased with it; it has been labeled amazing by non-Muslims as well. In fact, even people who hate Islam very much have still called it amazing.
Yet in every age there have been Muslims who have followed the advice of the Qur'an and made surprising discoveries. If one looks to the works of Muslim scientists if many centuries ago, one will find them full of quotations from the Qur'an. These works state that they did research in such a place, looking for something. And they affirm that the reason they looked in such and such a place was that the Qur'an pointed them in that direction. For example, the Qur'an mentions man's origin and then tells the reader, "Research it!" It gives the reader a hint where to look and then states that one should find out more about it. This is the kind of thing that Muslims today largely seem to overlook - but not always, as illustrated in the following example. A few years ago, a group of men in Riyadh, Saudi Arabia collected all if the verses in the Qur'an which discuss embryology - the growth of the human being in the womb. They said, "Here is what the Qur'an says. Is it the truth?" In essence, they took the advice of the Qur'an: "Ask the men who know." They chose, as it happened, a non-Muslim who is a professor of embryology at the University of Toronto. His name is Keith Moore, and he is the author of textbooks on embryology - a world expert on the subject. They invited him to Riyadh and said, "This is what the Qur'an says about your subject. Is it true? What can you tell us?" While he was in Riyadh, they gave him all of the help that he needed in translation and all of the cooperation for which he asked. And he was so surprised at what he found that he changed his textbooks. In fact, in the second edition of one of his books, called Before we are born... in the second edition about the history of embryology, he included some material that was not in the first edition because of what he found in the Qur'an. Truly this illustrates that the Qur'an was ahead of its time and that those who believe in the Qur'an know what other people do not know.
I had the pleasure of interviewing Dr. Keith Moore for a television presentation, and we talked a great deal about this - it was illustrated by slides and so on. He mentioned that some of the things that the Qur'an states about the growth of the human being were not known until thirty years ago. In fact, he said that one item in particular - the Qur'an's description of the human being as a "leech-like clot" ('alaqah) at one stage - was new to him; but when he checked on it, he found that it was true, and so he added it to his book. He said, "I never thought of that before," and he went to the zoology department and asked for a picture of a leech. When he found that it looked just like the human embryo, he decided to include both pictures in one of his textbooks. Dr. Moore also wrote a book on clinical embryology, and when he presented this information in Toronto, it caused quite a stir throughout Canada. It was on the front pages of some of the newspapers across Canada, and some of the headlines were quite funny. For instance, one headline read: "SURPRISING THING FOUND IN ANCIENT BOOK!"! It seems obvious from this example that people do not clearly understand what it is all about. As a matter of fact, one newspaper reporter asked Professor Moore, "Don't you think That maybe the Arabs might have known about these things - the description of the embryo, its appearance and how it changes and grows? Maybe there were not scientists, but maybe they did something crude dissections on their own - carved up people and examined these things."
The professor immediately pointed out to him that he [i.e., the reporter] had missed a very important point - all of the slides of the embryo that had been shown and had been projected in the film had come from pictures taken through a microscope. He said, "It does not matter if someone had tried to discover embryology fourteen centuries ago, they could not have seen it!". All of the descriptions in the Qur'an of the appearance of the embryo are of the item when it is still too small to see with the eye; therefore, one needs a microscope to see it. Since such a device had only been around for little more than two hundred years, Dr. Moore taunted, "Maybe fourteen centuries ago someone secretly had a microscope and did this research, making no mistakes anywhere. Then he somehow taught Muhammad and convinced him to put this information in his book. Then he destroyed his equipment and kept it a secret forever. Do you believe that? You really should not unless you bring some proof because it is such a ridiculous theory." In fact, when he was asked "How do you explain this information in the Qur'an?" Dr. Moore's reply was, "It could only have been divinely revealed."!
Although the aforementioned example of man researching information contained in the Qur'an deals with a non-Muslim, it is still valid because he is one of those who is knowledgeable in the subject being researched. Had some layman claimed that what the Qur'an says about embryology is true, then one would not necessarily have to accept his word. However, because of the high position, respect, and esteem man gives scholars, one naturally assumes that if they research a subject and arrive at a conclusion based on that research, then the conclusion is valid. One of Professor Moore's colleagues, Marshall Johnson, deals extensively with geology at the University of Toronto.

Anda Lebih Tahu Ketimbang Dokter Anda

Laqad kholaqna al insan fi akhsani taqwim. "Sungguh Kami ciptakan manusia dalam wujud (fisik maupun psikis) yang sebaik baiknya". Sebagian dari kesempurnaan fisik dan psikis manusia yang cukup hangat diperbincangkan adalah kemampuan tubuh manusia untuk memulihkan kondisi dengan sendirinya. Dengan memahami mekanisme self recovery yang dimaksud, seseorang akan dengan sangat mudah memahami cara menyembuhkan diri sendiri ketika menderita suatu penyakit. Tanpa bantuan Dokter? Tentu saja. Malahan tiap orang sebenarnya jauh lebih mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuhnya dibandingkan seorang dokter, apalagi jika dokternya kurang pengalaman atau dahulu di kuliah termasuk mahasiswa yang kurang cerdas. Bagaimana mekanismenya?
Tubuh kita dilengkapi indikator yang selalu memberitahukan jika ada yang kinerja faal tubuh yang tidak normal di dalam tubuh kita. Yang paling sering dialami oleh semua orang adalah rasa lapar, rasa haus, rasa kenyang, rasa lelah, serta rasa ngantuk. Sedangkan yang tidak terlalu sering dialami adalah rasa sakit.

Beberapa indikator tersebut diatas merupakan kemampuan dasar tubuh untuk memberikan sinyal kepada otak untuk melakukan tindakan tertentu agar tidak terjadi kerusakan pada bagian bagian tubuh.

Rasa Lapar merupakan siyal agar kita memasukkan makanan ke dalam lambung, Rasa Kenyang adalah sinyal agar kita tidak lagi menambah asupan makanan ke dalam lambung.

Kehendak Allah Perihal Rezeki Ternyata BUKAN TAKDIR

Kekayaan fulan 600 trilyun sedangkan zaid tak punya apapun kecuali pakaian yang menempel ditubuhnya, bertahan hidup dari belas kasihan orang lain. Allah meluaskan rizki bagi yang Dia kehendaki yaitu fulan, dan Allah menyempitkan rizki bagi siapa yang Dia kehendaki yaitu zaid. Orang memahami kejadian ini sebagai takdir Allah atas fulan dan Zaid. Benarkah demikian? Ayat Qurannya memang ada, tetapi pemahamannya tidak tepat. Kehendak Allah perihal rizki seseorang bukanlah takdir. Berikut penjelasannya:


Allah Memberi Rizki Pada Seluruh Makhluk Nya

Jumhur ulama sepakat bahwa Allah memberikan rizki kepada seluruh makhlukNya tanpa kecuali. Tidak ada satupun makhluk yang hidup di alam semesta ini, kecuali rizkinya ditanggung oleh Allah. Namun demikian kita melihat ada orang yang hartanya melimpah ada pula yang tak punya apa apa. Lantas beberapa orang yang membaca Quran merasa menemukan adanya ayat yang menegaskan bahwa adanya kaya miskin itu adalah memang sudah kehendak atau takdir Allah. Beberapa orang ini kurang cermat memahami apa yang mereka baca, sehingga memahami dengan salah dan bahkan meyakini kesalahan tersebut sebagai kebenaran.

Ada beberapa ayat yang berbicara mengenai rizki yang diberikan Allah kepada orang yang dikehendakiNya, diantaranya adalah : QS Ar Ra’ad 26, QS Al Isro 30, QS As Syuro 27.

Dalam QS Ar Ra’ad  26 disebutkan
Artinya: Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).

Dalam QS Al Isro 30 disebutkan:

Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.



Frasa “yang Dia Kehendaki” Adalah Variabel

Banyak orang mengira bahwa ayat ayat di atas merupakan penegasan bahwa rizki tiap orang sudah ditetapkan Allah. Yang kaya memang takdirnya kaya dan yang miskin memang takdirnya miskin. Padahal frasa “yang Dia Kehendaki” adalah variabel yang siapapun boleh menggantikan variabel tersebut sehingga dia sendiri menjadi orang yang dikehendaki Allah itu.

Tuhan melapangkan rizki kepada (orang orang tertentu) yang Dia Kehendaki
Siapakah orang orang tertentu yang dikehendaki tersebut? Ternyata Quran juga merinci sifat sifat orang yang dikehendaki tersebut. Misalnya orang orang yang dikehendaki Allah diluaskan rizki nya adalah orang orang yang memiliki sifat a, b, c, dan d, maka siapapun orang yang mau melatih dirinya untuk memiliki sifat tersebut pasti menjadi orang yang dikehendaki Allah untuk diluaskan rizkinya.

Dengan demikian ayat diatas merupakan semacam ketentuan bersyarat yang apabila seseorang memenuhi syarat tersebut maka ketentuan itu berlaku bagi dirinya. 

Bagaimana dengan kalimat, “Allah menyempitkan rizki bagi siapa yang dikehendaki Nya?”

Frasa “siapa yang DikehendakiNya” juga merupakan variabel. Artinya siapa saja yang memiliki sifat p q r s t atau u yang merupakan kriteria bagi orang yang dikehendaki menjadi terbatas rizkinya maka ketentuan itu pun berlaku atasnya.

Hanya saja ada sedikit bahasan tambahan mengenai kata “menyempitkan” yang dipakai untuk menterjemahkan kata “yaqdir”. Pada beberapa ayat lain kata yaqdir (qodaro) diberi makna “ditentukan kadar/ proporsi nya” Kata "yaqdir" inilah sebenarnya yang lebih dekat asalnya dengan kata takdir, taqdir maupun qodar.  Jika diterjemahkan dengan kata “menyempitkan” terasa terlalu jauh maknanya karena kata menyempitkan memiliki konotasimerugikan’ atau “menzhalimi” padahal Allah tidak bersifat zhalim. Allah tidak  merugikan/menganiaya hamba-hambanya. Penterjemahan yang dirasa lebih akurat adalah "menentukan kadar / proporsi sesuai kebutuhan masing masing makhluk".

Jadi kalimat “Allah melapangkan (yabsuthu) rizki bagi siapa yang dikehendakiNya serta menyempitkan (yaqdir) bagi siapa yang dikehendakiNya” bermakna melapangkan dan menentukan kadarnya (bukan menyempitkan)

Dengan dasar ini dapat dipahami bahwa Allah memiliki dua kebijakan mengenai rizki yaitu:
1. Pertama menentukan proporsi tiap orang sesuai kebutuhan masing masing untuk bertahan hidup
2. Kedua meluaskan bagi orang orang tertentu (yang mau mengembangkan sifat dan amal amal tertentu yang merupakan ciri orang yang dikehendaki Allah untuk diluaskan rizkinya)

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari uraian di atas? Memang ada beberapa hal penting yang dapat dibahas dalam artikel terpisah, tetapi pelajaran pertama yang dapat langsung kita ambil sebagai sikap positif seorang mukmin adalah:

Setiap kita punya kesempatan untuk berlatih hingga memiliki sifat sifat positif tertentu yang merupakan kriteria orang yang dikehendaki Allah untuk diluaskan rizkinya

Wa Llahu a'lam bi showab  (adil muhammad isa)

Heboh PSSI Palsukan Surat FIFA Untuk Boikot LPI

Merasa dipermalukan dengan munculnya Kompetisi tandingan LPI, PSSI tak kehilangan akal.  Lembaga yang dikuasai bak kendaraan politik oleh Nurdi Halid ini mengadu ke FIFA mengenai keberadaan LPI serta status para pemain yang klubnya ikut kopetisi LPI tersebut. aneh bin ajaib  balasan dari FIFA diterima sehari setelah PSSI mengirimnya pada tanggal 10 Januari 2011. Dalam sejarah FIFA tidak ada rekomendasi atau keputusan atas sebuah kasus pengaduan yang diselesesaikan secepat itu. Sebagai contoh kasus PSSI nya philipina yang diadukan tanggal 6 Desember baru dbalas tanggal 20 desember 2010 (14 hari). Ternyata kepalsuan surat balasan FIFA tersebut dapat ditelusuri dengan mudah. Seperti apa jelasnya?

Kejanggalan terdapat dalam surat balasan FIFA mengenai tanggapan Liga Primer Indonesia (LPI) yang diterima oleh PSSI. Sebab, surat tersebut tidak ditandatangani oleh badan sepak bola tertinggi di dunia tersebut. Surat tersebut ditunjukkan oleh Sekjen PSSI Nugraha Besoes dalam jumpa pers yang digelar di Hotel Century, Kamis (13/1/2011).

Surat tersebut merupakan balasan FIFA atas laporan PSSI mengenai LPI. Dalam surat yang dikirimkan lewat faksimile tertanggal 13 Januari tersebut, FIFA meminta agar PSSI memberi sanksi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kompetisi bentukan Arifin Panigoro tersebut.

Dalam surat tersebut ditemui kejanggalan. Surat tersebut tidak dibubuhi tanda tangan sehingga tidak diketahui jelas siapa pihak FIFA yang menulis surat tersebut. Bahkan, surat yang ditulis dengan bahasa Inggris tersebut tidak dibubuhi stempel FIFA.

Kejanggalan juga ditemui dalam surat terjemahan yang dibuat oleh PSSI. Dalam pojok kiri bawah surat tersebut disediakan kolom untuk tanda tangan General Secretary FIFA Jerome Valcke. Padahal, hal tersebut tidak ditemui pada surat asli.

Nugraha juga seperti hati-hati menunjukkan kedua surat tersebut kepada wartawan. Ia hanya menunjukkan surat terjemahan kepada wartawan tanpa menunjukkan surat asli. Terkait hal tersebut, Nugraha mengklaim surat tersebut ditandatangani oleh FIFA. "Tanda tangan Sekjen ada di lembaran kedua," jelas Nugraha

Sholawat Campur Sari


Doa Abu Nawas



Tuhanku… aku tidak layak memasuki syurga Firdaus
Dan aku pun tak mampu menahan siksa api Neraka

Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkaulah Pengampun dosa-dosa besar

Dosa-dosaku amatlah banyak bagai butiran pasir
Terimalah taubatku, wahai Yang Maha Agung

Umurku berkurang setiap hari, sedang dosa-dosaku terus bertambah
Bagaimana aku sanggup menanggungnya?

Tuhanku… hamba-Mu yg durhaka ini datang bersimpuh menghadap-Mu
Mengakui dosa-dosa dan menyeru memohon kepada-Mu

Bila Kau mengampuni, Engkaulah Sang Pemilik Ampunan
Bila Kau campakkan aku, kepada siapa aku mesti berharap selain dari-Mu?

GALERY HABIB UMAR BIN HAFIDZ







Kumpulan Mahalul Qiyam MP3



Maulid Diba'i MP3 (64Mb)

Allah Tidak Menentukan Kondisi Kematian Seseorang (Ali Imran 145)

Fulan bin fulan mati pada hari h tanggal t jam j menit m dan detik t diarea anu dengan kordinat x koma y koma z, dalam keadaan kafir, atau dalam keadaan muslim. Yang demikian itu adalah ketetapan Allah yang sudah ditentukan. Benarkah demikian? TENTU TIDAK DEMIKIAN. Penjelasannya dapat kita pelajari dalam surat Ali Imran ayat 145 berikut ini


Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Imran 145)

Dalam ayat 145 Surah ali Imran ini ketetapan Allah berpadanan dengan frasa “kitaban muajjalan (ketetapan yang berhubungan dengan waktu)” Beberapa penafsir memberikan analogi yang dimaksud dengan ketetapan yang ditentukan waktunya itu mirip dengan life time atau masa berlakunya sesuatu. Dalam hal ini jumhur ulama bersepakat bahwa masa hidup semua makhluk yang bernyawa merupakan sesuatu yang sudah ditentukan.

Namun demikian beberapa orang melebih-lebihkan pernyataan ini menjadi kesimpulan baru yang mengada ada bahwa yang ditentukan bukan hanya waktunya melainkan juga kondisi kematiannya. Kesimpulan itu mengarah pada pengertian bahwa si fulan akan mati pada tanggal sekian jam sekian detik sekian sudah ditentukan termasuk matinya dalam keadaan kafir atau beriman juga sudah ditentukan.

Demikian ini adalah penafsiran zindiq. Ulama yang berhati hati tetap membatasi penafsirannya bahwa yang ditentukan hanyalah waktunya, sedangkan mati dalam kondisi apa itu adalah pilihan masing masing.

Manaqib Imam Al Ghazali



Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

Manaqib Imam Syafi'i

Nama Dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga

Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.

Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Gelarnya


Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

Tempat Kelahirannya

Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.

Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”

Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu

Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.

Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.

Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.

Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya

Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.

Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.

Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.

Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.

Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.

Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).

Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.

Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

Aqidahnya

Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.

Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

Sya’ir-Sya’irnya

Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”

Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.

Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?


- Sya’ir Akhaq

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang


Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya

Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.

Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”

Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”

Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”

Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”

Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.

Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.

Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.

Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan


REFERENSI:

- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i

Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-‘Afifah