Peran Politik Muslimah dalam Sejarah(Bag. 2)

Hak-hak Perempuan

Catatan ini merupakan lanjutan dari Peran Politik Muslimah dalam Sejarah (Bag. 1). Diungkapkan tentang perlakuan dominatif laki-laki terhadap perempuan. Perlakuan itu terus berlangsung sejak sebelum Islam hingga turunnya wahyu. Padahal keberadaan perempuan dalam ranah domentik maupun publik (politik) sangat jelas diakui dalam ayat-ayat diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. maupun Hadits.

Menerima dan mengakui hak-hak perempuan bagi masyarakat yang awalnya tidak memperhitungkan perempuan sama sekali, bukanlah sesuatu yang mudah. Sekalipun sudah dinyatakan beberapa ayat al-Qur’an, tetapi tidak mudah bagi sebagian laki-laki untuk menerima dan mengakui hak-hak tersebut. Umar ra saja, seperti yang diceritakannya sendiri (lihat: Rujukan Bukhari yang sama), masih merasa keberatan jika pandangannya dalam suatu hal dibantah atau diberi masukan isterinya. Karena itu, para perempuan harus siap berhadapan dan melakukan semacam tekanan agar hak-hak mereka benar-benar diakui masyarakat awal Islam pada saat itu. Isteri Umar ra, putrinya Hafsah dan juga Ummu Salamah ra perlu meyakinkan kepada Umar ra bahwa perempuan memiliki hak untuk berbicara di hadapan suaminya atau ayahnya.

Ketika kaum perempuan merasakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sering dipahami bias untuk laki-laki semata, mereka datang menuntut kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka menginginkan ketegasan pernyataan al-Qur’an mengenai posisi dan kiprah mereka. Dalam suatu hadits riwayat Imam at-Turmudzi, suatu saat Ummu Salamah ra bertanya: “Wahai Rasul, saya tidak mendengar sedikitpun Allah SWT membicarakan para perempuan yang berhijrah?” Kemudian Allah SWT menurunkan ayat:


فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

 “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan, (dan berfirman): bahwa Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan amal perbuatan kamu, baik dari laki-laki atau perempuan, yang satu terhadap yang lain. Mereka yang berhijrah, dikeluarkan dari rumah tempat tinggal mereka, disiksa karena mengikuti jalan-Ku, berperang dan terbunuh, mereka semua akan Aku hapuskan dosa-dosa mereka, dan akan Aku masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan pada sisi Allah-lah, pahala yang yang baik” (QS. Ali Imran, 3: 195)

Dalam sejarah peperangan, baik yang terjadi pada masa pra Islam maupun pada masa penyebaran Islam, setiap perang, kaum perempuan selalu saja diposisikan pasif. Mereka berada di luar konflik. Jika kaumnya kalah, para perempuan diselewengkan ke dalam status tawanan perang, sementara kaum laki-lakinya dibunuh.

Bangsa Arab adalah suatu masyarakat dimana seseorang dibagi menjadi dua klasifikasi merdeka dan budak. Klasifikasi ini berlaku untuk dua jenis kelamin. Kedaulatan berkehendak dari seorang laki-laki merdeka tidak bisa dengan mudah dicabut. Sementara jika seorang perempuan, karena kekalahan militer kaumnya, dia akan menjadi harta rampasan.

Semua itu mereka lakukan semasa nabi SAW masih hidup. Tetapi para perempuan tidak tinggal diam terhadap cara-cara ini. Mereka bergegas menemui Nabi SAW di saat kaum laki-laki bersikeras menerapkan kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Ummu Kajja merupakan salah satu kasus dalam masalah ini. Dia adalah seorang perempuan anshar yang mengadu kepada rasulullah SAW “Suami saya meninggal, dan mereka menghalangi saya untuk mendapatkan warisan”. Ummu Kajja memiliki 5 putri yang secara menyeluruh terhalangi untuk mendapatkan waris kaum laki-laki dari keluarga, pada saat itu hanya laki-laki yang mewarisi. Ummu Kajja bukan satu-satunya perempuan yang datang menuntut penerapan hukum baru tentang hak waris perempuan, ada juga Kubaysha bin Ma’an. Karena tuntutan politis merekalah maka turun ayat yang menerangkan tentang hak waris perempuan, baik itu istri, anak perempuan, atau ibu.

Contoh lain misalnya pada perang Hunain, dimana Islam telah meniadi pemenang. Kaum perempuan juga telah mengajukan tuntutan-tuntutan politisnya tentang perang dan harta rampasan perang. Dan sejak saat itu, turun ayat yang menyatakan bahwa ketakwaan merupakan satu-satunya ukuran bagi tingkatan dalam hirarki ajaran agama Islam.

Sampai di sini, suara-suara yang tergambar dalam sejarah Islam sesungguhnya dapat juga menjadi referensi bahwa tuntutan kaum perempuan, dari ruang domestik dan dalam rangka memperjuangkan hak hidup mereka adalah bentuk shahih dari makna politik yang memang seharusnya tidak dipisah-pisahkan lagi. Suara-suara perempuan yang secara tidak langsung juga direspon melalui ayat-ayat yang diturunkan Allah adalah bagian penting bahwa setiap individu memiliki hak politik dan hak berdaulat. Bahkan karena adat jahiliyah yang diskriminatif terhadap hak perempuan jugalah yang membuat para perempuan muslim merasa perlu meminta revisi dan Allah merespon itu dengan cepat lewat perkatannya nabinya. ]