Masalah Kointradiksi ‘Am dan Khash (Bag. II)

Perbedaan antara Takhshish dan Naskah

 Faedah dari pengungkapan bahwa naash sebagai mukhashshish dan bukan sebagai nasikh menurut mereka adalah bahwasanya ‘aam pada kondisi me-nasakh, penunjukan (dalalah) adalah qath’i sebagaimana telah tetap sebelumnya. Adapun ‘aam yang mengkhususkan sebagaian dirinya, maka tidaklah demikian. Dalalah-nya bersifat dhanni. (Al-Mir’ah I/355).

Demikianlah, dan Al-Amidy rahimahullah telah menyebutkan perbedaan-perbedaan antara takhshish dan naskh. Dia berkata : “Kami katakan bahwa takhshish dan naskh -sekalipun keduanya sama dari sisi bahwa masing-masing dari keduanya mengharuskan pen-takhshish-an hukum dengan sebagian hal yang diteima oleh lafadz-  tetapi keduanya berbeda dalam sepuluh sisi :

Pertama : Takhshish menjelaskan bahwa sesuatu yang keluar dari umum, mutakallim tidaklah menghendaki dalalah atasnya dengan lafadz itu.

Sedangkan naskh menjelaskan bahwa sesuatu yang keluar (dari umum) berarti tidak ada taklif karenanya, sekalipun mutakallim menghendaki itu dengan lafadz dalalah atasnya.

Kedua : Takhshish tidak terjadi pada suatu perintah dengan satu macam hal yang diperintahkan, sedang naskh terkadang terjadi pada suatu perintah dengan satu macam hal yang diperintahkan.

Ketiga : Naskh  tidak terjadi pada suatu perintah itu sendiri melainkan dengan adanya khitab dari syari’. Berbeda dengan takhshish, naskh dibolehkan dengan qiyas atau yang lainnya dari dalil-dalil ‘aqliyah maupun sam’iyah.


Keempat : bahwa (Nasikh) harus datang belakangan dari mansukh, berbeda dengan mukhassish, ia boleh mendahului mukhashshash ataupun datang belakangan sebagaimana penjelasan terdahulu.

Kelima : Takhshish tidak mengeluarkan ‘aam dari pengambilan hujjah dengannya secara mutlak di waktu yang akan datang, sesungguhnya pengambilan hujjah dengannya tetaplah ada selain yang di khususkan. Berbeda dengan naskh, sesungguhnya ia kadang mengeluarkan hukum dalil mansukh dari menggunakannya di waktu yang akan datang. Yang demikian ini bila nashk terdapat pada suatu perintah dengan satu hal yang diperintahkan.

Keenam : Dibolehkan takhshish dengan qiyas, dan tidak dibolehkan nashk dengan qiyas.

Ketujuh : Nashk  memunculkan hukum setelah ditetapkan, berbeda dengan takhshish.

Kedelapan : Dibolehkan me-nashakh suatu syari’at dengan syari’at yang lain, dan tidak dibolehkan men-takhshish suatu syari’at dengan lainnya.

Kesembilan : Bahwa ‘aam dibolehkan me-naskh hukumnya hingga tidak tersisa sedikitpun, berbeda dengan takhshish.

Kesepuluh : Yaitu disebutkan oleh sebagian kaum Mu’tazilah, bahwa takhshish lebih umum dari nashk, dan bahwa setiap nashk adalah takhshish tetapi tidak setiap takhsish adalah naskh, dikarenakan naskh tidak terjadi melainkan dengan pen-takhshish-an suatu hukum pada sebagian zaman, sedang takhshish bersifat umum dalam pen-takhsish-an sebagian individu, sebagaian kondisi, sebagian zaman. Didalamnya ada pertimbangan (Al-Hakam : 3/161-163). 

Masalah Kointradiksi ‘Am dan Khash (Bag. I) atau Masalah Kointradiksi ‘Am dan Khash (Bag. III)