Isi Ka'bah

http://html1155.files.wordpress.com/2009/10/kabah.jpg

Tak banyak orang yang mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam Ka'bah. Bangunan berbentuk bujur sangkar yang menjadi pusat arah bagi umat Muslim yang melakukan shalat itu sebenarnya memiliki ruang yang cukup luas.

Dengan tinggi saat ini sekitar 39 kaki 6 inci (kira-kira 11 meter) dan ukuran total adalah 627 kaki persegi maka ukuran dalam Ka'bah adalah 42,64x29,52 kaki atau sekitar 12,7x8,85 meter. Ruangan di dalam Ka'bah diperkirakan mampu menampung sebanyak 50 orang.

Namun, tahukah anda, apa saja isi di dalam bangunan yang disucikan umat Islam itu? Ketua Islamic Society of North America (ISNA) atau Masyarakat Islam Amerika Utara pernah diberi kesempatan untuk masuk ke dalam Ka'bah di tahun 1998. Ternyata tak banyak benda yang terdapat di dalamnya.
http://dymash.files.wordpress.com/2009/02/isi-ka-bah.jpgDi dalam Ka'bah ternyata terdapat 3 pilar dan meja untuk meletakkan parfum. Di langit-langitnya tergantung beberapa lampu lentera. Tak disebutkan lampu lentera itu terbuat dari bahan apa. Namun pada tahun 1940-an, lampu itu dikabarkan terbuat dari emas dan bertatahkan permata serta mutiara.
http://generalcomtech.com/kabah/photo/kiswah-and-kabah-door.jpg
 


Di dalam Ka'bah tak ada lampu listrik. Sementara tembok dan lantainya terbuat dari marmer. Tak ada satu pun jendela di bagian dalamnya dan hanya terdapat satu pintu untuk keluar-masuk. Langit-langit Ka'bah juga ditutupi selimut kain seperti halnya dinding bagian luarnya.

Referensi:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/07/06/123403-tahukah-anda-apa-saja-isi-di-dalam-kabah

MELURUSKAN KESALAH-PAHAMAN KONSEP BID'AH

Entah apa yang menjadi penyebabnya, yang jelas akhir-akhir ini terdapat kelompok di kalangan kaum muslimin yang memiliki kegemaran mengkafirkan, mensyirikkan, membid'ahkan dan menyesatkan sesama muslim yang lain. Kelompok ini beranggapan bahwa pemahaman Islam yang paling murni dan paling benar adalah pemahaman mereka, sedangkan pemahaman kelompok yang lain adalah keliru, sesat dan menyimpang dari ajaran yang sebenarnya.

Energi kaum muslimin banyak terkuras dan bisa jadi habis gara-gara masalah ini, padahal masih terlalu banyak yang bisa dipikirkan dan diperbuat untuk kepentingan izzul Islam wa al-muslimin. Harus diakui bahwa sampai saat ini mayoritas kaum muslimin masih hidup dalam kondisi " fakir", baik dari sisi ekonomi, maupun dari sisi keilmuan. Memikirkan dan menuntaskan permasalah ini dengan "kebersamaan" jauh lebih bermanfaat untuk kepentingan Islam dibandingkan dengan "mengembangkan hobi" menyesatkan kelompok Islam yang lain, karena kefakiran dapat menjerumuskan seseorang kepada kekafiran.

Hal ini bukan berarti permasalahan bid'ah, syirik, kafir dan lain sebagainya tidak penting. Wacana ini tetap penting, Akan tetapi, harus ditempatkan pada kerangka permasalahan yang "furu'iyah" dan "mukhtalaf fih". Maksudnya, masing-masing kelompok memiliki argumentasi dan oleh sebab itu tidak diperlukan sifat saling menyalahkan, apalagi saling menyesatkan. Bukankah kaidah fiqh mengatakan : la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru al-mujma'u alaihi.

Perbedaan pendapat tentang permasalahan agama sangat mudah dirunut dan diklarifikasi, karena semua proses ijtihad yang dilakukan oleh siapapun harus sesuai dengan logika dan kaidah ijtihad yang sudah disepakati bersama.

Seputar permasalahan bid'ah

Untuk memperjelas permasalahan bid'ah, maka perlu ditegaskan terlebih dahulu definisi bid'ah, kemudian dilanjutkan dengan pembagian dan permasalahan lain yang biasa diperbincangkan seputar bid'ah. Hal ini perlu dilakukan agar masing-masing kelompok yang berselisih memiliki konsep dan kriteria yang sama tentang permasalahan yang sedang diperselisihkan.

Harus diakui bahwa definisi bid'ah merupakan sesuatu yang tidak pernah ditegaskan oleh rasulullah SAW. Rasulullah di dalam haditsnya hanya menyebutkan lafadz bid'ah dan tidak pernah menjelaskan sama sekali apa yang dimaksud dengan lafadz tersebut dan apa pula kriterianya. Hal ini penting untuk ditegaskan terlebih dahulu, karena dengan demikian tidak boleh ada kelompok yang merasa paling benar, apalagi sampai menyesatkan kelompok yang lain, hanya gara-gara masalah bid'ah yang bersifat mukhtalaf fih.

Hadits nabi yang di dalamnya terdapat lafadz bid'ah diantaranya adalah :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضَََُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Jadi, tentang apa yang dimaksud dengan bid'ah tidak ada panduan dari nabi, sehingga masing-masing kelompok memiliki pandangan sendiri-sendiri dan sampai sekarang nampaknya masih sulit untuk dipertemukan. Merupakan perbuatan atau tindakan yang sangat naïf, gegabah dan sembrono ketika seseorang menyesatkan, mengkafirkan sesama muslim yang lain hanya didasarkan kepada dugaan yang belum pasti kebenarannya, Lebih-lebih apabila kelompok yang dituduh sesat juga memiliki dasar argumentasi yang kuat.

Kelompok wahabi dan yang semadzhab dengannya mengidolakan definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi (seorang tokoh ulama dari kalangan malikiyah yang berpendapat bahwa semua bid'ah dalam urusan agama adalah sesat) dan menganggapnya sebagai definisi yang paling jami' dan mani' (ilmu ushul al-bida' : 24). Tentu saja pilihan dan penilaian mereka terhadap definisi Syatibi sebagai yang paling jami' dan mani' sangat tendensius, tidak memiliki parameter yang jelas dan dipengaruhi kepentingan mereka.

Setiap definisi yang ditawarkan oleh ulama, meskipun tingkat kepakarannya tidak diragukan lagi selalu saja ditolak atau ditafsiri lain oleh kalangan wahabi dan dianggap kurang jami' dan mani'. Ada dua definisi tentang bid'ah yang ditawarkan oleh Imam Syatibi yaitu :

 فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

"bid'ah merupakan ungkapan untuk sebuah jalan/metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada) dan menyerupai syari'ah. Tujuan melakukannya dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah"

 البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية

"bid'ah adalah jalan/metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada). Tujuan melakukannya sama seperti tujuan melakukan jalan/metode syariat"
Dari definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi di atas, ada beberapa hal yang menjadi persyaratan sebuah perilaku seseorang atau kelompok dikatakatan sebagai perbuatan bid'ah, yaitu :

1. merupakan "al-thariqah fi al-din" (jalan/metode di dalam agama)
2. harus mukhtara'ah (merupakan kreasi baru)
3. harus tudlahy al-syar'iyah (menyerupai syariah)
4. bertujuan (mubalaghah) berlebih-lebihan dalam beribadah
5. tujuan melakukannya sama dengan tujuan melakukan syari'at

Definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi ini, meskipun dianggap definisi yang paling komprehensip menurut kalangan wahabi, akan tetapi dari sisi aplikasi akan terlihat kelemahannya, sehingga menjadi sulit untuk diterapkan. Dikatakan sulit untuk diterapkan, karena dengan definisi ini terpaksa kita harus berani menganggap para sahabat nabi (Umar dalam kasus shalat tarawih dan bacaan talbiyah, Ustman dalam kasus adzan Jum'at dua kali dan banyak sahabat nabi yang lain yang melakukan kreasi dalam bidang keagamaan) sebagai mubtadi'in (orang-orang yang ahli bid'ah yang sesat dan calon penghuni neraka).

Menyadari definisi ini memiliki kelemahan, pada akhirnya mereka terpaksa melakukan taqsimul bid'ah, sehingga terpaksa juga pada akhirnya mereka mengakui –meskipun tidak terus terang- bahwa lafadz كل yang terdapat di dalam hadits di atas adalah lafadz 'Amm yang urida bihi al-khusus

Sebagai bandingan dari definisi yang biasa dijadikan sebagai pegangan oleh kalangan wahabi di atas, perlu juga ditampilkan definisi yang ditawarkan oleh ulama yang lain yang biasa kita jadikan sebagai pegangan . Diantaranya adalah :

Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i. beliau mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah ”. (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/172).

Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarah Al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i, dan karya-karyanya menjadi kajian dunia Islam seperti Syarh Shahih Muslim, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Riyadh Al-Shalihin dan lain-lain. Beliau mendefinisikan bid’ah segai berikut:

هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah ”. (Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, ).

Pembagian bid'ah

Taqsim al-bid'ah atau pembagian bid'ah merupakan wacana yang sensitive dan banyak menyita perhatian, karena sampai saat ini ternyata kaum muslimin belum satu suara. Maksudnya, ada kelompok yang berpendapat bahwa semua bid'ah adalah sesat dan tidak terkecuali; sementara ada kelompok lain yang berpendapat bahwa tidak semua bid'ah adalah sesat; ada yang hasanah, ada yang sayyi'ah.

Sumber perbedaan pendapat tentang masalah ini, ternyata bermuara pada penafsiran hadits di atas, khususnya menyangkut matan hadits yang berbunyi :

وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Di dalam teori ilmu ushul fiqh, kita mengetahui bahwa lafadz كل merupakan salah satu bentuk lafadz 'am. Permasalahannya kemudian adalah apakah lafadz كل yang ada di dalam hadits harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz, atau dianggap sebagai lafadz 'am, akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus. Satu kelompok berpandangan bahwa lafadz كل harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz; sedangkan kelompok lain berpendangan bahwa lafadz كل di dalam hadits adalah lafadz yang umum, akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus (عام اريد به الخصوص )

Pandangan pertama biasa ditawarkan oleh kelompok wahabi dan madzhab yang sejenis, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah satu ulama mereka yang berbunyi :

قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) كُلِّيَّةٌ، عَامَّةٌ، شَامِلَةٌ، مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ، أَوْ إِلَى أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًا هَذَا لاَ يَصِحُّ. (محمد بن صالح العثيمين، الإِبْدَاع في كَمَال الشَّرْع وخَطَرِ الابتداع، ص/13).

“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “كل (semua)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal. 13)



Referensi:
http://www.aswaja-nu.com/2010/02/meluruskan-kesalah-pahaman-konsep-bidah.html

TAHLILAN DAN ZIARAH KUBUR, LARANGAN ATAU ANJURAN ?

Sebenarnya permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup usang dan sudah lama diperdebatkan. Akan tetapi dirasa perlu untuk diangkat kembali karena ada pergeseran isu yang cukup substantive, yaitu dari furu' menuju ushul. Maksudnya, pada awalnya permasalahan ini dianggap sebagai permasalahan furu'iyah, sehingga masing-masing pihak yang berdebat tidak saling mengkafirkan dan mensyirikkan, dan kemudian berubah menjadi permasalahan ushul, sehingga pihak-pihak yang tidak setuju terhadap ziarah kubur dan tahlilan mengkafirkan dan mensyirikkan para pelakunya.

Semua pasti sepakat bahwa syirik dan kafir adalah hal yang mesti harus dijauhi dan dihindari. Semua muslim dari manapun kelompok dan organisasinya pasti marah apabila keislaman dan keimanannya dianggap tercemar dan berlumuran dengan Lumpur kesyirikan dan kekafiran. Demikian juga halnya dengan kita warga nahdliyin, akan marah dan jengkel ketika keislaman dan keimanan kita dianggap berlumuran dengan Lumpur kesyirikan dan kekafiran. Dalam konteks inilah sebenarnya LBM NU cabang Jember secara intensif melakukan kajian-kajian terhadap tradisi amaliyah nahdliyah dan melakukan advokasi terhadapnya dengan sebuah keyakinan bahwa para pendiri Nahdlatul Ulama adalah sosok ulama yang tingkat keislaman, keimanan, keilmuan dan keikhlasannya tidak perlu diragukan lagu, sehingga dalam menerima dan melanggengkan amaliyah nahdliyah beliah-beliau pasti selektif dan didasarkan pada sebuah ilmu, tidak ngawur, serampangan apalagi sembrono. Dengan tingkat keilmuan dan keikhlasan yang dimiliki pasti beliau-beliau itu lebih takut dosa dan neraka dibandingkan dengan kita, dan mungkin saja dibandingkan dengan mereka para penyerang tradisi amaliyah nahdliyah.

Semua permasalahan apabila dinisbahkan kepada Islam pasti sangat mudah untuk menyelesaikannya. Karena, semua keputusan hukum di dalam Islam harus selalu ada cantolan dalilnya. Seseorang tidak dapat memubahkan, mewajibkan, mengharamkan, mensunnahkan dan memakruhkan sesuatu apabila tidak ada cantolan dalil dan argumentasinya. Demikian juga halnya dengan para pendukung dan penentang amaliyah tahlilan dan ziarah kubur harus mendasarkan pandangannnya pada dalil-dalil yang absah, tidak boleh hanya didasarkan pada logika, hayalan dan lamunan saja.
Tulisan pendek ini mencoba untuk mengurai dasar-dasar argumentatif amaliyah nahdliyah yang biasa kita lakukan khususnya berkaitan dengan tahlil dan ziarah kubur.
Tradisi Tahlilan dan Analisis Argumentasi
Kata "tahlilan" merupakan bentuk masdar dari fi'il madli "hallala" yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum'at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.

Biasanya sebab dan alasan kenapa tahlilan harus di tolak oleh para penentangnya bermuara pada argumentasi sebagai berikut :

Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid'ah.

•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar


•Tahlilan dianggap merepotkan dan memberatkan keluarga mayat, karena di dalam tahlilan pasti selalu ada jamuan

•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap "niyahah" (meratap)

•Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.



Argumentasi-argumentasi para penentang di atas adalah argumentasi klasik yang sudah ditanggapi berkali-kali. Akan tetapi, karena sejak awal bersikap tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya yang paling benar), maka penjelasan yang diberikan tidak berdampak dan berpengaruh sama sekali. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan kita jelaskan sekali lagi mengenai kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada kita.

•Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid'ah.
Memang harus diakui bahwa kata "tahlilan" sebagai sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit. Dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam al-Qur'an dan al-Hadits, diantaranya adalah :

oDari al-Qur'an

Surat al-Hasyr
: 10

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."

Surat Muhammad : 19

"Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal".

oDari al-Hadits

•وعن أبي سعيد الخدري وأبي هريرة رضي الله عنهما قالا: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم «لا يقعد قوم يذكرون الله عز وجل إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده»
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya”.


•وَمِنْ حَدِيث مُعَاوِيَة رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ لِجَمَاعَةٍ جَلَسُوا يَذْكُرُونَ اللَّه تَعَالَى " أَتَانِي جِبْرِيل فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّه يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَة " .
" Dari hadits Mu'awiyah yang dihukumi marfu', dia berkata "Nabi bersabda untuk para jama'ah yang duduk berdzikir kepada Allah: " malaikat Jibril datang kepadaku dan menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu kepada malaikat"

oDari Logika

إن الجماعة قوة قال الله تعالى واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا والحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة وقد شبه الله تعالى القلوب القاسية بالحجارة في شدة قساوتها فقال عز من قائل ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة فكما أن الحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة فكذلك القلب القاسي يسهل تليينه إذا تساعدت عليه جماعة الذاكرين. (الموسوعة اليوسفية )

Dari uraian dan argumentasi di atas dapat dipastikan bahwa substansi tahlilan memliki cantolan dalil, baik naqliy (al-qur'an dan al-hadits), maupun aqliy.

•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar.
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:

o Harus dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah I'tiqadi. Karena demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di dalam hati warga nahdliyin bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari kedua, ketiga dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada keyakinan bahwa berdo'a kepada si mayit pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya lebih afdlal dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Tahlilan yang substansinya adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan pengampunan dari Allah boleh dilakukan kapan saja, atau bahkan boleh tidak dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

Tasyabbuh boleh dialamatkan kepada warga nahdliyin ketika meyikini bahwa tahlilan wajib dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud lebih afdlal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya tidak lebih dari sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini sama persis dengan dengan tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam (Nuzulul qur'an, halal bi halal, maulid nabi, isra'-mi'raj dan lain sebagainya) yang boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu. Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan dzikir hanyalah merupakan tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.

o Bahwa sikap warga nahdliyin sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab yang biasa dijadikan sebagai rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro yang berbunyi :

o ( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ .( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ ( الفتاوى الفقهية الكبرى لأبن حجر الهيتمى )
oوالتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييده ببعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفى سابع وفي تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الايتام والا فيحرم (نهاية الزين : باب فى الوصية , 281)

Tradisi yang berlaku dan berkembang di kalangan nahdliyin adalah : apabila ada seorang muslim meninggal dunia, maka tetangga dan kerabat yang ada disekitarnya berbondong-bondong melakukan ta'ziyah, dan dapat dipastikan bahwa pada saat ta'ziyah kebanyakan dari mereka membawa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tetangga yang ada di kanan-kiri bau-membau membantu keluarga korban untuk memasak dan menyijakan jamuan, baik untuk keluarga korban atau untuk para penta'ziyah yang hadir. Apabila hal ini yang terjadi, apakah ini tidak dapat dianggap sebagai terjemahan kontekstual dari hadits nabi yang berbunyi :
قال النبي صلى الله عليه و سلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم

Hadits di atas apabila diamalkan secara tekstual justru akan menjadi mubadzir, karena kalau seandainya semua tetangga yang ta'ziyah membawa makanan yang siap saji, maka dapat dipastikan akan banyak makanan yang basi. Catatan yang lain lagi adalah bahwa jamuan yang disajikan di dalam acara tahlilan bukanlah merupakan tujuan. Tujuan utama para tetangga yang hadir adalah berdo'a untuk si mayit. Karena demikian, jamuan boleh diadakan dan juga boleh ditiadakan. Bahkan, banyak dari kalangan kyai yang menjadi tokoh sentral warga nahdliyin memberikan pemahaman dan anjuran agar jamuan yang ada lebih disederhanakan, dan bahkan kalau mungkin hanya sekedar suguhan teh saja.

Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap "niyahah" (meratap).

Realitas berkumpul pada saat tahlilan sulit untuk dapat dipahami "hanya sekedar berkumpul" dalam rangka tenggelam dan larut dalam kesedihan, dimana hal ini dianggap sebagai illat al-hukmi kenapa berkumpul tersebut dianggap sebagai niyahah. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab I'anat al-Thalibin, yang berbunyi
كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

Berkumpul pada malam setelah kematian bukanlah menjadi tujuan. Yang menjadi tujuan adalah berdzikir dan berdoa untuk si mayit yang sedang mengalami ujian berat sebagaimana yang ditegaskan didalam kitab Nihayat al-zain, hal : 281 yang berbunyi :
وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره الا كالغريق المغوث – بفتح الواو المشددة – اى الطالب لان يغاث ينتظردعوة تلحقه من ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها

Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena gempa, dll), adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang takziah kepadanya, serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.

Dari uraian di atas sulit dapat diterima apabila lafadz " الاجتماع" yang terdapat didalam hadits nabi diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah berdzikir dan berdoa, bukan semata-mata berkumpul hanya sekedar tenggelam dan berlarut-larut dalam kesedihan.


Referensi:
http://www.aswaja-nu.com/2010/02/tahlilan-dan-ziarah-kubur-larangan-atau.html

Kalam Mutiara

 Berkata Ulama Shalihin : “Awali gerakmu dengan “Bismillahirrahmannirrahim”"

·    Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Atthos :

“Apakah kamu mau tahu kunci-kunci syurga itu ? Kunci Syurga sebenarnya adalah “Bissmillahirraman nirrahim”

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Atthos :
“Berziarahlah kamu kepada orang-orang sholeh! Karena orang-orang sholeh adalah obat hati”

·    Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Atthos :
“Sebaik-baiknya teman adalah Al-Qur’an! dan seburuk-buruknya teman adalah syaitan!”

·     Berkata Al Habib Alwi Bin Muhammad Bin Tohir Al Haddad :
“Orang yang sukses adalah orang yang istiqomah di dalam amal baik.”
·     Berkata Al Habib Umar Bin Hud Al Atthos :
“Bos yang wajib di patuhi adalah Allah SWT”

·     Berkata Al Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid (Tanggul) :
“Kunci kekayaan adalah shodaqoh, dan kunci kemiskinan adalah pelit”

·     Berkata Imam Ghazali :
“Cermin Manusia adalah Nabi Muhammad SAW”

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Abdull Qadir Bin Ahmad Balfaqih :
“Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu fiqih”

·     Berkata Al Habib Muhsin Bin Abdullah Al Atthos :
“Semua para wali di angkat karena hatinya yang bersih, tidak sombong, dengki, dan selalu rendah diri”

·      Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :
“ Guru yang paling bertaqwa adalah Nabi Muhammad SAW, dan Rasulullah bersabda : “ Aku di didik oleh
Tuhanku dengan sebaik-baiknya didikan”.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :
” Terangi rumahmu dengan lampu, dan terangi hatimu dengan Al-Qur’an”.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :
” Bermaksiatlah sepuas kamu pasti kamu akan mati, dan beramal sholehlah pasti kamu akan mati “.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :
” Jadikan akalmu, hatimu, ruhmu, jasadmu, karena bila semua terisi dengan namanya berbahagialah kamu “.

·     Berkata Al Habib Alwi Bin Muhammad Al Haddad :
“ Seindah-indahnya tempat di dunia adalah tempat orang-orang yang sholeh, karena mereka bagai  bintang-bintang yang bersinar pada tempatnya di petala langit “.

·      Berkata Ustadzul Imam Al Habib Abdullah Bin Abdul Qadir Bin Ahmad Bilfaqih :
“ Jadilah orang-orang yang sholeh, karena orang-orang     yang sholeh akan bahagia di dunia dan akherat . Dan jadilah orang-orang yang benar,  jangan menjadi orang yang pintar, karena orang yang pintar belum tentu benar,  tetapi orang yang benar sudah pasti pintar “.

·     Berkata Al Habib Abdurrahman Bin Ahmad Assegaf (Sayyidil Walid ) :
“ Ilmu itu bagai lautan dan tak akan ada yang mengenalnya kecuali merasakannya “.

·     Berkata Syekh Abu Bakar Bin Salim (Seorang Tokoh Besar di Negri yaman, di Kampung Inat) :
“Janganlah kau tunda-tunda kebaikan sampai esok hari, karena engkau tak tahu apakah umurmu sampai esok hari”.

·     Berkata Sayidina Ali Bin Abu Tholib Ra :
“Bukanlah seorang pemuda yang membanggakan harta dan kedudukan ayahnya, tetapi seorang pemuda yang berkata inilah aku (Beramal Sholeh)”.

·     Berkata Imam Syafi’i :
“Cintailah orang sholeh, karena mereka memiliki kesholehannya, cintailah Nabi Muhammad SAW, karena dia kekasih Allah SWT, dan cintailah Allah SWT, karena dia kecintaan Nabi dan orang Sholeh”.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :
“Istiqomah didalam agama menjauhkan kesedihan dan ketakutan”.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :
“Orang yang buta bukan orang yang melihat banyaknya harta, akan tetapi, yang disebut orang buta, orang yang tak mau melihat ilmu agama”.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :
“Ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan ikhlas, maka ikhlas mendatangkan keridho’an”.

·     Berkata Imam Syafi’i :
“Ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya tak masuk kepada kemaksiatan”.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :
“Pemuda yang baik adalah pemuda yang berakhlak :
1. Ta’at kepada Allah SWT.
2. Ta’at kepada Nabi Muhammad SAW.
3. Ta’at kepada orang tua.
4. Ta’at kepada ulama.”.

·     Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :
“Kunci kesuksesan ada tiga, yaitu :
1. Menuntut ilmu dan beramal.
2. Istiqomah dan sabar.
3. Saling menghormati.”

Referensi:
http://majelisshofwaturrahman.org/kata-mutiara/kata-mutiara/comment-page-1#comment-39

Kecintaan Mu’adz bin Jabal ra pada Rasulullah SAW

 
Dikisahkan dari Said bin Ziyad dari Khalid bin Saad, bahwa Mu’adz bin Jabal ra telah berkata: “Rasulullah SAW telah mengutusku ke Negeri Yaman untuk memberikan pelajaran agama di sana. Maka tinggallah aku di sana. Pada satu malam aku bermimpi dikunjungi oleh seseorang, kemudian orang itu berkata kepadaku: “Apakah anda masih tidur juga wahai Mu’adz, padahal Rasulullah SAW telah berada di dalam tanah.” Mu’adz terbangun dari tidur dengan rasa takut, lalu ia mengucapkan: “A’uzubillahi minasy syaitannir rajim?” Setelah itu ia lalu mengerjakan solat. Pada malam seterusnya, ia bermimpi seperti mimpi malam yang pertama. Mu’adz berkata: “Kalau seperti ini, bukanlah dari syaitan?” Kemudian ia memekik sekuat-kuatnya, sehingga didengar sebahagian penduduk Yaman.


Pada esok harinya orang ramai berkumpul, lalu Mu’adz berkata kepada mereka: “Malam tadi dan malam sebelumnya saya bermimpi yang sukar untuk difahami. Dahulu, bila Rasulullah SAW bermimpi yang sukar difahami, baginda membuka Mushaf (al-Quran). Maka berikanlah Mushaf kepadaku. Setelah Mu’adz menerima Mushaf, lalu dibukanya maka nampaklah firman Allah yang bermaksud:
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula?” (Az-Zumar: 30).
Maka menjeritlah Mu’adz, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah ia sadar kembali, ia membuka Mushaf lagi, dan ia nampak firman Allah yang berbunyi:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada orang-orang yang bersyukur?” (Ali-lmran: 144)
Maka Mu’adz pun menjerit lagi: “Aduhai Abal-Qassim. Aduhai Muhammad?” Kemudian ia keluar meninggalkan Negeri Yaman menuju ke Madinah. Ketika ia akan meninggalkan penduduk Yaman, ia berkata: “Seandainya apa yang kulihat ini benar. Maka akan meranalah para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, dan kita akan menjadi seperti biri-biri yang tidak ada pengembala.” Kemudian ia berkata: “Aduhai sedihnya berpisah dengan Nabi Muhammad SAW?” Lalu iapun pergi meninggalkan mereka.
Di saat ia berada pada jarak lebih kurang tiga hari perjalanan dari Kota Madinah, tiba-tiba terdengar olehnya suara halus dari tengah-tengah lembah, yang mengucapkan firman Allah yang bermaksud: “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” Lalu Mu’adz mendekati sumber suara itu, setelah berjumpa, Mu’adz bertanya kepada orang tersebut: “Bagaimana khabar Rasulullah SAW? Orang tersebut menjawab: Wahai Mu’adz, sesungguhnya Muhammad SAW telah meninggal dunia. Mendengar ucapan itu Mu’adz terjatuh dan tak sadarkan diri. Lalu orang itu menyadarkannya, ia memanggil Mu’adz: Wahai Mu’adz sadarlah dan bangunlah.” Ketika Mu’adz sadar kembali, orang tersebut lalu menyerahkan sepucuk surat untuknya yang berasal dari Abu Bakar Assiddik, dengan cop dari Rasulullah SAW. Tatkala Mu’adz melihatnya, ia lalu mencium cop tersebut dan diletakkan di matanya, kemudian ia menangis dengan tersedu-sedu. Setelah puas ia menangis iapun melanjutkan perjalanannya menuju Kota Madinah.
Mu’adz sampai di Kota Madinah pada waktu fajar menyingsing. Didengarnya Bilal sedang mengumandangkan azan Subuh. Bilal mengucapkan: “Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah?” Mu’adz menyambungnya: “Wa Asyhadu Anna Muhammadur Rasulullah?” Kemudian ia menangis dan akhirnya ia jatuh dan tak sadarkan diri lagi. Pada saat itu, di samping Bilal bin Rabah ada Salman Al-Farisy ra lalu ia berkata kepada Bilal: “Wahai Bilal sebutkanlah nama Muhammad dengan suara yang kuat dekatnya, ia adalah Mu’adz yang sedang pingsan. Ketika Bilal selesai azan, ia mendekati Mu’adz, lalu ia berkata: “Assalamualaika, angkatlah kepalamu wahai Mu’adz, aku telah mendengar dari Rasulullah SAW, baginda bersabda: “Sampaikanlah salamku kepada Mu’adz.” Maka Mu’adz pun mengangkatkan kepalanya sambil menjerit dengan suara keras, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia telah menghembus nafas yang terakhir, kemudian ia berkata: “Demi ayah dan ibuku, siapakah yang mengingatkan aku pada baginda, ketika baginda akan meninggalkan dunia yang fana ini, wahai Bilal? Marilah kita pergi ke rumah isteri baginda Siti Aisyah ra.”
Ketika sampai di depan pintu rumah Siti Aisyah, Mu’adz mengucapkan: “Assalamualaikum ya ahlil bait, wa rahmatullahi wa barakatuh?” Yang keluar ketika itu adalah Raihanah, ia berkata: “Aisyah sedang pergi ke rumah Siti Fatimah. Kemudian Mu’adz menuju ke rumah Siti Fatimah dan mengucapkan: “Assalamualaikum ya ahli bait.” Siti Fatimah menyambut salam tersebut, kemudian ia berkata,
“Rasulullah SAW bersabda: Orang yang paling alim di antara kamu tentang perkara halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal, ia adalah kekasih Rasulullah SAW.”
Kemudian Fatimah berkata lagi: “Masuklah wahai Mu’adz?” Fatimah rha lalu berkata kepadanya: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sampaikanlah salam saya kepada Mu’adz dan khabarkan kepadanya bahwa ia kelak di hari kiamat sebagai imam ulama.” Kemudian Mu’adz bin Jabal keluar dari rumah Fatimah ha menuju ke arah kubur Rasulullah SAW.

Referensi:
http://abizakii.wordpress.com/2010/08/20/kecintaan-muadz-bin-jabal-ra-pada-rasulullah-saw/

Membuat Bangunan atau Masjid di atas Kuburan

Rasul saw shalat ghaib di pekuburan umum, Rasul saw shalat jenazah (shalat ghaib) menghadap kuburan setelah dimakamkan di sebuah pemakaman, lalu bermakmum dibelakang beliau shaf para sahabat, beliau saw bertakbir dengan 4 takbir (Shahih Muslim hadits No.954)

Telah wafat seseorang yang biasa berkhidmat menyapu masjid, maka Rasul saw bertanya tentangnya dan para sahabat berkata bahwa ia telah wafat, maka Rasul saw bersabda : “apakah kalian tak memberitahuku??”, maka para sahabat merasa tak penting mengabarkannya, maka Rasul saw berkata : “tunjukkan padaku kuburnya!”, maka Rasul saw mendatangi kuburnya lalu menyalatkannya, seraya bersabda: “Sungguh penduduk pekuburan ini penuh dengan kegelapan, dan Allah menerangi mereka dengan shalatku atas mereka” (Shahih Muslim hadits No.956), hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.1258).
Kita akan lihat ucapan para Imam :
Berkata Guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Imam Syafii rahimahullah : “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid, (*Imam syafii tidak mengharamkan memuliakan seseorang hingga membangun kuburnya menjadi masjid, namun beliau mengatakannya makruh), karena ditakutkan fitnah atas orang itu atau atas orang lain, dan hal yang tak diperbolehkan adalah membangun masjid diatas makam setelah jenazah dikuburkan, Namun bila membangun masjid lalu membuat didekatnya makam untuk pewakafnya maka tak ada larangannya”. Demikian ucapan Imam Syafii (Faidhul qadir Juz 5 hal.274)
Berkata Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy : “hadits – hadits larangan ini adalah larangan shalat dengan menginjak kuburan dan diatas kuburan, atau berkiblat ke kubur atau diantara dua kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sahnya shalat, (*maksudnya bilapun shalat diatas makam, atau mengarah ke makam tanpa pembatas maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat dihadapan kuburan maka Umar ra berkata : kuburan..kuburan..!, maka Anas melangkahinya dan meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan tidak batal. (Fathul Baari Almayshur juz 1 hal 524).
Berkata Imam Ibn Hajar : “Berkata Imam Al Baidhawiy : ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung – patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525)
Berkata Imam Al Baidhawiy : bahwa Kuburan Nabi Ismail as adalah di Hathiim (disamping Miizab di ka’bah dan di dalam masjidilharam) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yg sudah tergali (Faidhulqadiir Juz 5 hal 251)
Kita memahami bahwa Masjidirrasul saw itu didalamnya terdapat makam beliau saw, Abubakar ra dan Umar ra, masjid diperluas dan diperluas, namun bila saja perluasannya itu akan menyebabkan hal yang dibenci dan dilaknat Nabi saw karena menjadikan kubur beliau saw ditengah – tengah masjid, maka pastilah ratusan Imam dan Ulama dimasa itu telah memerintahkan agar perluasan tidak perlu mencakup rumah Aisyah ra (makam Rasul saw),.
Perluasan adalah di zaman khalifah Walid bin Abdulmalik sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, sedangkan Walid bin Abdulmalik dibai’at menjadi khalifah pada 4 Syawal tahun 86 Hijriyah, dan ia wafat pada 15 Jumadil Akhir pada tahun 96 Hijriyah
Lalu dimana Imam Bukhari? (194 H – 256 H), Imam Muslim? (206 H – 261H), Imam Syafii? (150 H – 204 H), Imam Ahmad bin Hanbal? (164 H – 241 H), Imam Malik? (93 H – 179 H), dan ratusan imam imam lainnya?, apakah mereka diam membiarkan hal yang dibenci dan dilaknat Rasul saw terjadi di Makam Rasul saw?, lalu Imam Imam yg hafal ratusan ribu hadits itu adalah para musyrikin yg bodoh dan hanya menjulurkan kaki melihat kemungkaran terjadi di Makam Rasul saw??, munculkan satu saja dari ucapan mereka yang mengatakan bahwa perluasan Masjid nabawiy adalah makruh. apalagi haram.
Justru inilah jawabannya, mereka diam karena hal ini diperbolehkan, bahwa orang yang kelak akan bersujud menghadap Makam Rasul saw itu tidak satupun yang berniat menyembah Nabi saw, atau menyembah Abubakar ra atau Umar bin Khattab ra, mereka terbatasi dengan tembok, maka hukum makruhnya sirna dengan adanya tembok pemisah, yang membuat kubur – kubur itu terpisah dari masjid, maka ratusan Imam dan Muhadditsin itu tidak melarang perluasan masjid Nabawiy bahkan masjidil Haram pun berkata Imam Baidhawiy bahwa kuburan Nabi Ismail adalah di Masjidil Haram.
Kesimpulannya larangan membuat masjid diatas makam adalah menginjaknya dan menjadikannya terinjak – injak, ini hukumnya makruh, ada pendapat mengatakannya haram.

Referensi:
(Habib Munzir bin Fuad al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu 2)

Aku Kembali Kepada Manhaj Salafush Shalih

Secara bahasa, Salaf berarti orang-orang yang mendahului kita, baik dari segi keilmuan, keimanan, keutamaan, maupun kebaikannya. Ibnul-Manzhur berkata; “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahuluimu, baik orang tua maupun karib kerabatmu yang lebih tua dan utama darimu.” [Lisanul Arab 9/159]
Termasuk dalam pengertian ini apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahrah:


“Sesungguhnya sebaik-baik Salaf bagimu adalah aku.” [HR. Muslim nomor 1450]
Adapun yang dimaksud “Salaf” menurut istilah para ulama pada asalnya adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian disertakan kepada mereka –dalam istilah tersebut- generasi sesudah mereka yang mengikuti jejak mereka. [Kitab Limadza Ikhtartu Madzhab Salaf halaman 30]
Namun, makna “Salaf” menurut tinjauan waktu ini masih belum cukup, karena kita melihat kemunculan firqah-firqah sesat dan bid’ah-bid’ah pada masa-masa tersebut, sehingga orang yang hidup pada masa tersebut tidak cukup dikatakan bahwa dia di atas manhaj Salaf sampai diketahui bahwa dia sejalan dengan para sahabat dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, para ulama menambahkan dengan istilah “as-Salaf ash-Shalih” (generasi Salaf yang shalih). Pada perkembangan selanjutnya istilah Salaf dinisbatkan kepada “orang-orang yang senantiasa menjaga aqidah dan manhaj hidupnya agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiallahu ‘anhum sebelum terjadi perpecahan dan perselisihan,” yaitu dengan munculnya beberapa macam firqah (kelompok Islam sempalan).
Merujuk kepada Pemahaman Salaf
Sebagai seorang Muslim kita dituntut untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kaum Muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya.
Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga kita tidak boleh menyelisihi mereka?
Jawabannya adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat itulah orang-orang yang paling paham tentang al-Qur’an dan as-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka.
Selain itu, kita juga harus melihat pemahaman para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Karena mereka adalah 3 generasi salaf yang disebut oleh Rasul sebagai 3 generasi terbaik. Tabi’in adalah generasi yang telah bertemu dan bergaul dengan para shahabat dan memahami benar pemahaman para Shahabat terhadap Al-Qur`an dan Hadits. Sedangkan tabi’it tabi’in adalah mereka yang telah berjumpa dan menimba ilmu kepada para tabi’in.
”Orang-orang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100]
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji generasi Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka, dari sini dapat diketahui bahwa bila Salaf mengemukakan suatu pendapat kemudian diikuti oleh orang-orang pada generasi berikutnya, maka mereka menjadi orang-orang yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhaan dari Allah sebagaimana yang didapat oleh generasi Salaf.
Kalaulah mengikuti jejak Salaf tidak berbeda dengan mengikuti jejak selainnya, niscaya mereka tidak pantas untuk dipuji dan diridhai; dan hal seperti itu jelas bertentangan dengan ayat di atas. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Namun, di antara mereka ternyata ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali Imran : 110]
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan adanya keutamaan generasi Salaf dibanding keseluruhan umat karena pernyataan dalam ayat tersebut tertuju kepada kaum Muslimin, yang waktu itu tiada lain adalah para Sahabat, generasi Salaf pertama yang mendulang ilmu langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara.
Adanya pemberian gelar kepada mereka sebagai umat terbaik menunjukkan bahwa mereka itu senantiasa istiqamah dalam segala hal, sehingga tidak akan menyimpang dari kebenaran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan sifat mereka sebagai bukti kelurusan jalan hidup mereka, yaitu bahwa mereka selalu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang seluruh yang mungkar.Berdasarkan ayat di atas, juga jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi hujjah dan rujukan bagi generasi sesudah mereka sampai Hari Kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksiannya salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [HR. Bukhari nomor 2509, 3451, dan 6065; Muslim nomor 1533]
Ukuran kebaikan yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lain adalah ketakwaan hati dan amal shalih. Mengenai hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenali.” (QS. Al-Hujurat : 13)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kekayaan kalian. Allah hanya akan melihat kepada hati dan amal kalian.” [HR. Muslim nomor 2564]
Salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, menceritakan bahwa Allah telah menjelaskan kepada umat ini bahwa hati para Shahabat adalah sebaik-baik hati setelah hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla menganugerahkan kepada mereka pemahaman yang tidak akan pernah dicapai oleh generasi berikutnya. Sehingga, apa-apa yang mereka nilai baik, maka akan baik menurut Allah Azza wa Jalla dan apa-apa yang mereka nilai buruk, juga menjadi buruk menurut Allah Azza wa Jalla. [Lihat Musnad Imam Ahmad (I/379)]
Jadi jelaslah, pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya sampai Hari Akhir nanti.
Dalam suatu hadits, Rasul memerintahkan kepada kita agar memegang teguh Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin Radhiyallahu ‘anhum. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku (kebiasaan dan perikehidupanku) dan sunnah (kebiasaan/ perikehidupan) Khulafa’ ar-Rasyidin sepeninggalku.”
Beliau menyatakan bahwa dari sekian banyak kelompok Islam hanya ada satu yang selamat dan menjadi ahli Surga, yaitu mereka yang menempuh perikehidupan (Sunnah) sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum. Hal ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan dalam sabdanya (yang artinya):
“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja yaitu golongan yang pada saat itu mengikuti perikehidupanku dan perikehidupan para Sahabatku.”
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita mengetahui bahwa perikehidupan para Sahabat Radhiyallahu’ anhum adalah perikehidupan Khulafa’ ar-Rasyidin dan perikehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi jelaslah, pemahaman sahabat Radhiyallahu ’anhum –sebagai generasi Salaf pertama- menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
Sunnatun Hasanatun
Barang siapa yang mengadakan (mempelopori) dalam Islam suatu sunnah hasanah lalu diamalkan orang sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang ikut mengerjakan itu dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yang mengerjakan itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah sayyi`ah, lalu diamalkan orang sunnah sayyi’ah itu, diberikan dosa kepadanya seperti dosa orang yang ikut mengerjakannya dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan itu.” [HR. Muslim dari Jabir]
Sanna dapat berarti membuat, mengadakan, mempelopori. Sedangkan sunnah dapat bermakna kebiasaan, perikehidupan, methode (thoriqoh), jalan (sabil). Seperti dalam hadits tentang sunnah orang-orang terdahulu dan juga sunnah khulafa`ur rasyidin.
Diriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: “Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehinggakan mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?” Baginda bersabda: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” [HR. Bukhari dan Muslim]
“Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi]
Maka hadits man sanna ini adalah hadits yang tidak terbatas pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa`ur rasyidin saja. Tetapi setiap sunnah yang dibuat oleh siapa saja, jika ia baik, tidak bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar, dan ijma’, maka itu adalah sunnah yang baik (sunnah hasanah). Dan setiap sunnah yang dibuat oleh siapa saja, jika ia bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar, atau ijma’, maka itu adalah sunnah yang buruk (sunnah sayyi`ah).
Namun, karena sunnah itu umum digunakan untuk sunnah Rasul dan tidak umum digunakan untuk sunnah yang lain, maka secara bahasa sunnah ini biasa diganti dengan kata bid’ah. Mengapa bid’ah? Karena memang sunnah atau kebiasaan tersebut biasanya adalah kebiasaan yang tidak dikenal pada zaman Rasul sehingga dikategorikan sebagai perkara baru.
Kita sama-sama ketahui bahwa adzan dua kali sebelum shalat Jum’at tidaklah dikenal pada masa Nabi dan tidak pula pada masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bin Khaththab. Ia merupakan kebiasaan yang baru ada pada masa khalifah Utsman. Maka hal ini bisa disebut sebagai perkara baru. Namun perkara baru ini tidaklah bertentangan dengan Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Karena adzan memang tidak terbatas waktu pengumandangannya pada saat masuk waktu shalat saja. Adzan boleh dikumandangkan ketika menguburkan mayyit, ketika ada kebakaran, ketika anak lahir. Intinya tidak hanya ketika masuk waktu shalat.
Karena adzan dua kali sebelum shalat Jum’at itu adalah perkara baru, maka ia disebut bid’ah. Dan karena tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan hadits, maka ia merupakan hasanah. Maka adzan dua kali sebelum shalat Jum’at itu adalah bid’ah hasanah.
Menurut Imam Nawawi, Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim : “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah hasanah lalu diamalkan orang sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yg mengerjakan kemudian itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah, lalu diamalkan orang sunnah sayyi’ah itu, diberikan dosa kepadanya seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” [Syarah Nawawi juz' 14 hlm. 226]
Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata, “Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang sesuai dengan sunnah, sedangkan bid’ah yang tercela ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang tidak sesuai dengan sunnah atau menentang sunnah.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Imam Baihaqi menjelaskan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata, “Pekerjaan yang baru itu ada pekerjaan yang menentang atau berlainan dengan Al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma, ini dinamakan bid’ah dholalah; dan ada pula pekerjaan keagamaan yang baru yang baik, yang tidak menentang salah satu yang disebutkan di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Demikianlah Imam Syafi’i, salah satu tokoh salafush shalih terkemuka, telah membagi bid’ah kepada dua macam. Namun bid’ah di sini adalah bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah menurut syara’ yang sesat. Beliau membagi bid’ah kepada bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Lalu beliau tidak meninggalkan kita dalam kebingungan. Namun beliau menjelaskan kepada kita akan apa yang dimaksud dengan bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah itu.
Bid’ah mahmudah adalah pekerjaan yang baru yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah yang tidak bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar dan ijma’. Adapun bid’ah madzmumah adalah pekerjaan yang baru yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah yang bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar atau ijma’.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari juz’ 4 halaman 318: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima.”
Penyusunan Mush-haf Al-Qur`an
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para shahabat (Ahlul Yamaamah) yang mereka itu para Huffazh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashshiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul Qur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..??” Maka Umar berkata padaku bahwa demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Dan engkau (Zaid) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” Berkata Zaid : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?? Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768)
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks di atas, Abubakar Ash-Shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar,” hatinya jernih menerima hal yang baru, yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya Alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu kitab, tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll. Ini adalah bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.

referensi:
http://artikelislami.wordpress.com/2010/11/11/apa-itu-salafush-shalih/

Kullu Bid’atin Dholalah

Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafi’kan (menihilkan) bid’ah hasanah, yaitu mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap para shahabat dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir, maka mereka berkata : “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan, maka beri wasiatlah kami” Maka Rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Afrika. Sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat), maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mereka itu diberi petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati-hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’ur rasyidin. Dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak menyelisihi syariah. Dan sunnah khulafa’ur rasyidin adalah Anda lihat sendiri bagaimana Abubakar Ash-Shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw, yaitu pembukuan Alqur’an. Lalu pula selesai penulisannya di masa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah, sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’ur rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Abubakar Ash-Shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an atas anjuran Umar bin Khaththab. Lalu pula selesai penulisan Alqur’an di masa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy. Dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat. Tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak di masa Khalifah Abubakar Ash-Shiddiq ra, tidak pula di masa Umar bin Khaththab ra dan baru dilakukan di masa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873)
Siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan bid’ah? Adakah pendapat yang mengatakan bahwa keempat khulafa’ur rasyidin ini tak faham makna bid’ah?
Boleh Mengikuti Sunnatun Hasanatun
Hadits yang menyuruh kita mengikuti sunnah khulafa`ur rasyidin menunjukkan bahwa kita boleh mengikuti sunnah-sunnah selain sunnah-sunnah Nabi selama sunnah itu tidak menyelisihi Al-Qur`an, sunnah Nabi, atsar dan ijma’. Adapun sunnah khulafa`ur rasyidin telah dijamin oleh Rasul, sehingga kita tidak perlu lagi meneliti apakah ia menyelisihi Al-Qur`an dan sunnah Nabi atau tidak. Khulafa`ur rasyidin itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Sunnah-sunnah mereka dijamin oleh Nabi. Begitu pula sunnah para shahabat, karena golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti Nabi dan para shahabat Nabi.
Adapun sunnah-sunnah selain sunnah Nabi, sunnah khulafa`ur rasyidin dan juga para shahabat, maka hal ini dijelaskan dalam hadits “man sanna fil Islami sunnatun….”. Maka, telitilah sunnah-sunnah lain itu, apakah ia menyelisihi Al-Qur`an, sunnah Nabi, sunnah para shahabat, ijma’ ataukah tidak menyelisihi. Jika tidak menyelisihi satu pun dari itu, maka ia itu baik. Jika menyelisihi, maka ia itu buruk.
Khulafa`ur rasyidin dan para shahabat bukanlah Nabi yang membawa syari’at. Tetapi nabi tidak melarang kita untuk mengikuti sunnah mereka. Bahkan Nabi menyuruh kita untuk mengikuti sunnah mereka. Dan Nabi juga tidak melarang kita untuk mengikuti sunnah hasanah yang dibuat oleh selain mereka. Nabi telah menjanjikan bahwa siapa yang membuat suatu sunnah hasanah di dalam Islam lalu diikuti orang, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya.
Kebiasaan yang Tidak Dikenl pada Zaman Rasul
Menurut Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam dalam Qowaaid al Hakam, bid’ah adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Termasuk bid’ah adalah penulisan mush-haf Al-Qur`an dan juga adzan dua kali sebelum shalat Jum’at.
Lalu bagaimana hukum dari bid’ah ini? Bagaimana hukum dari pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah ini?
Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata, “Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang sesuai dengan sunnah, sedangkan bid’ah yang tercela ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang tidak sesuai dengan sunnah atau menentang sunnah.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Menurut riwayat Abu Nu’im pula, bahwa Imam Baihaqi menjelaskan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata, “Pekerjaan yang baru itu ada pekerjaan yang menentang atau berlainan dengan Al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma’, ini dinamakan bid’ah dholalah; dan ada pula pekerjaan keagamaan yang baru yang baik, yang tidak menentang salah satu yang disebutkan di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Menurut Imam Nawawi, Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim : “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah hasanah lalu diamalkan orang sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yg mengerjakan kemudian itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah, lalu diamalkan orang sunnah sayyi’ah itu, diberikan dosa kepadanya seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” [Syarah Nawawi juz' 14 hlm. 226]
Hadits ini tidak membicarakan sunnah/kebiasaan/perikehidupan nabi. Hadits ini membicarakan kebiasaan baru, suatu sunnah baru yang belum pernah ada di zaman Rasul. Nabi membagi kebiasaan (sunnah) itu menjadi dua, sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Supaya tidak rancu dengan sunnah yang biasanya digunakan untuk sunnah nabi, maka pembagiannya oleh Imam Syafi’i diistilahkan dengan Bid’ah Mahmudah dan Bid’ah Madzmumah. Kenapa dikatakan bid’ah? Karena sunnah/kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan yang baru diadakan setelah Rasul wafat. Karena dia merupakan perkara baru, maka dikatakan bid’ah. Misalnya adzan dua kali sebelum zholat Jum’at yang dibiasakan oleh Sayyidina Utsman bin Affan. Penulisan dan pengkitaban hadits. Itu semua adalah perkara baru, namun tidak bertentangan dengan agama. Memang Nabi tidak mencontohkan adzan dua kali sebelum sholat Jum’at. Tetapi yang namanya adzan itu memang boleh kapan saja, tidak hanya menandakan waktu shalat. Adzan juga dilakukan ketika seorang bayi lahir, ketika menguburkan mayyit, dsb.
Bahkan mengenai penulisan hadits adalah suatu perkara yang dilarang pada masa Nabi. Namun sekarang, kita dapat menyaksikan bahwa hadits-hadits itu ditulis dan dikitabkan. Namun ini adalah perkara baru yang baik. Apakah menulis hadits itu ibadah? Sungguh, menulis hadits itu dapat membantu menjaga agama ini. Menulis hadits itu membantu penyebaran ajaran agama ini. Penulisan hadits telah membantu orang yang sulit menghafal sehingga mereka juga dapat mempelajari hadits. Maka ia adalah ibadah. Penulisan hadits memang dilarang pada masa Nabi. Namun penulisan hadits di zaman setelah beliau dan para shahabat wafat merupakan hal yang diridhoi Allah karena membantu menjaga agama ini.
Cakupan Ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasulNya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dazariyat: 56-58)
Allah Subhannahu wa Ta’ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembahNya sesuai dengan aturan syari’atNya.
Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembahNya tetapi dengan selain apa yang disyari’at-kanNya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari’atNya, maka dia adalah muk-min muwahhid (yang mengesakan Allah).
Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam ketaatan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil dan membaca Al-Qur’an; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Begitu pula cinta kepada Allah dan RasulNya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas kepadaNya, sabar terhadap hu-kumNya, ridha dengan qadha’-Nya, tawakkal, mengharap nikmatNya dan takut dari siksaNya.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [QS. An-Nahl: 90]
Ayat ini menjelaskan bahwa berbuat adil, berbuat ihsan, dan memberi kepada kaum kerabat itu merupakan ibadah. Adapun segala macam perbuatan keji, perbuatan munkar, dan permusuhan merupakan pelanggaran.
Dikatakan oleh Imam Ibn Rajab, dalam Jami’ul ’Ulum wal Hikam, bahwa dengan munculnya ayat ini sudah cukup memberi perintah semua hal yang baik-baik. Apakah itu diajarkan oleh Sang Nabi saw atau belum diajarkan. Semua hal yang baik sudah diperintahkan oleh ayat itu dan semua hal yang buruk sudah dilarang oleh ayat itu. Semua hal yang baik diperintah di situ, selama tidak bertentangan dengan syari’ah dan sunnah Nabiyuna Muhammad saw. semuah hal yang buruk sudah dilarang. Jadi kalau zaman sekarang seseorang berkata hal-hal seperti maulid dan hal-hal yang baru di zaman sekarang dikatakan bid’ah munkarah, maka fatwa yg demikian itu tidak bisa diterima begitu saja, karena semua hal yang baik sudah diperintah oleh Allah melalui ayat tersebut.
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. [QS. Al-A'raf: 157]
Rasul itu menyuruh kita mengerjakan yang ma’ruf dan melarang kita dari mengerjakan yang munkar. Segala amal yang ma’ruf itu merupakan ibadah berdasarkan dalil ini. Maka jelaslah, bahwa segala apa-apa yang baik yang tidak bertentangan dengan syari’ah dan ia itu adalah untuk qurbah atau membantu qurbah, maka ia merupakan ibadah kepada Allah.
Jadi, ibadah itu mencakup seluruh tingkah laku seorang mu`min jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada-Nya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafqah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhaq mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal. Wallahu a’lam.

Referensi:
http://artikelislami.wordpress.com/2010/11/11/apa-itu-salafush-shalih/

Sejuta Fadilah Shalawat – Kalam Habib Ahmad Bin Zein Al Habsyi


Al Musthafa SAW. Sebingkai mozaik nan indah. Kontruksi cita rasa Sang Kuasa yang sempurna. Cahaya yang bertahta megah di atas cahaya-cahaya. Makhluk terindah, termulia, tersantun, yang tiada duanya.

” Dialah yang di langit di kenal sebagai Ahmad, sedang di bumi di kenal sebagai Muhammad.”
Begitulah Habib Ahmad Bin Zein Al Habsyi melukiskan sosok Rasulullah SAW dalam kata-kata. “Dialah Penguasa maqam Mahmud. Bendera puja dan puji tegak dalam genggamannya.”


“Tidaklah ia di kenal sebagai Muhammad sebelum di seru sebagai Ahmad. Sebab (Di langit) Ar Robb SWT telah memuji sosoknya jauh sebelum seluruh makhluk mengenalnya. Ia mengagul-agulkannya jauh sebelum manusia menyanjung-nyanjungnya. Engkau bakal menjumpai nama Ahmad pada kitab-kitab suci terdahulu. Sedang dalam Al Qur’anul Kariem termaktub Nama Muhammad. Dialah yang terlayak menuai pujian-pujian. Dialah yang teragung di antara insan-insan yang layak di puji.”
“Hanya untuknya, kelak Maqam Mahmud di singkap di iringi pujian-pujian. Tak pernah tersingkap untuk selain dirinya. Dengan Maqam Mahmud itu, Sang Kuasa senantiasa memujinya. Berbekal Maqam Mahmud itu, ia menjelma sebagai pemberi Syafa’at tertinggi. Bendera puja-puji terajut hanya untuknya, seorang. Umatnya di sebut-sebut sebagai Al Hamidun (Orang-orang yang gemar memuji) dalam kitab terdahulu. Dan tatkala kakeknya, Abdul Muthalib, menyematkan nama Muhammad, ia mengunjuk doa, ‘Aku berharap kelak seluruh penghuni langit dan bumi akan senantiasa memujinya.’ “
Tak terpungkiri, Rasulullah SAW memang sempurna. Tiada celah untuk mencela, kecuali hati yang buta oleh kabut kemusyrikan. Begitu sempurnanya Sang Nabi. Hingga lisan mukminin tak lelah memadahkan puja dan puji dari dulu hingga kini.
SHALAWAT
Puncak kekaguman Sang Pencipta terhadap mahakarya yang satu ini adalah Shalawat. Habib Ahmad mengurainya,
“Shalawat Allah SWT kepada Nabi SAW adalah cucuran kebaikan-kebaikan, sifat-sifat luhur, karakter yang elok, ni’mat-ni’mat, penghargaan, penghormatan, dan anugerah-anugerah yang meruah. Sedang salam Nya adalah Penjagaan Nya dari berbagai aib dan mala, karunia yang berupa ketentraman, kesempurnaan, dan kemegahan. Sebentuk penghormatan yang indah dan penuh berkah dari Nya.”
Mari kita bershalawat kepada Nabi SAW. Mari kita haturkan salam kepada Rasul SAW.
“Dalam sepenggal ayat, Ar Rahman Ar Rahiem menfirmakan, (yang maksudnya)
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Manusia yang paling dekat denganku pada hari akhir adalah orang yang paling banyak bershawat kepada ku.”
Sabda Beliau SAW yang lain, “Tidaklah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah SWT pasti mengembalikan ruhku. Hingga akupun bisa membalas salam nya.”
Makna ruh di atas adalah bicara atau sesuatu hal yang berkenaan dg aktifitas ruh. Sebab, seyatanya, ruh Beliau SAW senantiasa hidup.
“Masih banyak lagi hadits-hadits nabawiy yang mengulas faedah Shalawat. Tercatat lebih dari 40 Sahabat terkemuka yang meriwayatkan hadits ragam ini.”
“Dalam satu shalawat terpendam 40 faedah. Diantaranya, Menghapus dosa, mengusir kesumpekan, menuntaskan cita-cita, memercik kabar gembira akan syurga sebelum ajal tiba, membersihkan dirì, menanggung keselamatan dari kecamuk hari kiamat, mengharumkan majelis, menafikan kefakiran dan sifat kikir, mengukuhnya langkang kala di atas sirath, mengenyahkan kekeringan, menabur berkah pada raga, umur, dan amal. Memantik Rahmat Allah dan rasa cinta dari Nabi SAW, menghidupkan nurani, dan memancing hidayah Ilahi.”
“Walhasil, Faedah Shalawat tak terbilang, dunia maupun ukhrawi. Tak terhitung, betapa sering Allah membukakan pintu Hajat, melonggarkan keruwetan, dan melipatkan anugerah dg Shalawat. Shalawat adalan amalan Istimewa dan penuh berkah. Ia adalah penjamin rasa aman dari murka Allah dan Neraka Nya. Ia adalah pelantar kesucian amal dan ketinggian derajat. Ia adalah perniagaan yang takkan pernah merugi.”
Perlu di catat, ada adab yg mesti di perhatikan dalam Shalawat,
“Shalawat adalah Dzikir. Karena itu di syaratkan Khusyu’ dan Hudlur, serta Ta’zhim kepada Nabi SAW saat bershalawat. Di anjurkan pula menghadirkan zat Nabi SAW kala berdoa dalam Shalawat, dg harapan agar curahan anugerah kepada beliau senantiasa lestari. Dengan adab Inilah, segala faedah shalawat niscaya tergapai. Bahkan bisa lebih dari itu. Shalawat tak hanya berarti Dzikir, Shalawat juga bermakna doa. Bahkan ia adalah esensi doa itu sendiri.”
Begitu gamblang paparan Habib Ahmad Bin Zein Al Habsyi mengenai Fadilah shalawat di atas. Tunggu apalagi, mari kita sedari sekarang menggemari Shalawat, demi kita, demi keluarga, demi Ummat dan demi pertiwi yang telah lama di rundung sedih ini..!

Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa ‘Ala Alih Wa Shahbihi Wa Sallim

referensi:
Majalah Cahaya Nabawiy No.70 Th.VII Rabi’ul Awwal 1430/maret 2009

Siapa Yang Tidak Memerlukan Pembimbing (Mursyid)?

Dalam Futhuh al Ghaib, Syekh Abdul Qadir al Jailani menulis syair berikut :
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syekh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkan apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat cakupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
Dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum sufi

Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa tasawuf adalah ilmu diluar islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain sebagainya dan karena yang menyampaikan pendapat ini orang berlatar belakang pendidikan agama yang lumayan (baca: syariat), alumni arab Saudi atau mesir dengan sekian banyak title sehingga masyarakat awam dengan mudah langsung percaya. Sebagian mereka tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi menjadi tempat berkumpulkan berbagai macam mazhab akan tetapi telah menjadi corong bagi mazhab tunggal yang baru muncul di abad ke 17 yaitu mazhab wahabi.
Saya tidak membahas tentang tuduhan-tuduhan tersebut dan saya rasa itu tidak ada menfaatnya sama sekali. Kesempatan ini saya ingin menyampaikan informasi akan pentingnya belajar tasawuf/thariqat agar kita bisa merasakan nikmatnya beragama.
Belajar tasawuf ada dua jenis, yaitu secara Teori dan Praktek. Secara teori telah diajarkan di pasantren, IAIN bahkan anda bisa menjadi seorang profesor tasawuf tanpa anda harus mempraktekkan zikir dan dibimbing oleh mursyid. Namanya juga teori tentu yang didapatkan hanya teori saja.
Belajar tasawuf sebenarnya harus mempunyai pembimbing rohani, bukan saja mengajarkan anda tapi juga membimbing anda agar sampai kehadirat-Nya karena inti tasawuf adalah bagaimana seorang bisa berhampiran dengan Allah SWT. Tentang hal ini Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syeikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syeikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah”.
Jadi tasawuf adalah ilmu praktek dan tentu saja membutuhkan pembimbing yang ahli dibidangnya, tanpa adanya pembimbing rohani maka segala praktek yang dilakukan sudah pasti akan disesatkan setan. Abu Yazid Al-Bisthami berkata, “Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya.”
Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa adalah jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah.”. Zaman sekarang kita juga sering mendengar pendapat seperti itu, tidak mengakui ilmu selain yang mereka pelajari (syariat) dan menganggap orang-orang yang mempunyai kemampuan bathin, ilmu laduni dan lain sebagainya sebagai pembohong.
Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar syariat kemudian memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).”
Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru tanpa sadar menjadi Hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang menemukan Allah SWT, sebagai mana ucapan rendah hati Musa kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al Kahfi, 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya.
Imam al-Ghazali juag mencari seorang Syekh yang menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal ia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syekh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”. Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata, “Apabila kedua ulama besar ini, yakni al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang syariat, maka orang selain mereka lebih membutuhkan lagi.”
Dalam hal ini al Qur’an memberikan petunjuk kepada kita semua untuk mencari orang-orang yang telah di beri petunjuk oleh Allah SWT sebagaimana firman Allah: “Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (QS. Al ankabut : 49). “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku” (QS. Lukman: 15) dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar”. (QS. Taubah: 119). Diperkuat oleh hadist, “Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah” (HR. Abu Daud).
Dengan demikian, memiliki seorang pembimbing (mursyid) adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka.
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak segera mencari Guru Pembimbing yang siap menuntun dan membimbing kita mencapai kebenaran hakiki. Carilah Guru yang benar-benar kamil mukamil, khalis mukhlisin sehingga dia bukan hanya berbicara tentang teori ketuhanan akan tetapi dengan keikhlasannya mampu membimbing anda kehadirat Allah SWT. Kalau anda bertanya siapakah Guru Mursyid yang kamil mukamil tersebut, saya tidak bisa menjawab karena kawatir jawaban saya akan menyinggung perasaan yang lain. Bagi setiap pengamal tasawuf mereka meyakini Guru mereka memiliki kemampuan untuk membimbing mereka dan tidak terkecuali Guru saya.
Abu Athailah As Sakandari dalam Latha’if al Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka”.
Seorang penyair sufi berkata :
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya.
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal tanpa penunjuk jalan,
Sehingga engkau terjerumus dalam jurang-jurangnya.
Penunjuk jalan (Mursyid) akan dapat mengantarkan salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkan dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan (mursyid) sebelumnya telah melewati jalan itu dibawah bimbingan seseorang (mursyid sebelumnya) yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberikan izin untuk membimbing orang lain.
Menutup tulisan ini saya mengutip Syair dari Ibnu Al-Banna yang menjelaskan tentang kedudukan kaum sufi yang telah melakukan perjalanan menuju Allah dan setelah sampai disana mememberikan kabar kepada orang lain untuk menuju kesana dengan selamat.
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
Yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
Untuk mengabarkan apa yang telah didapat.
*****************************************

Referensi:
http://sufimuda.wordpress.com/2010/08/27/siapa-yang-tidak-memerlukan-pembimbing-mursyid/