Kata-kata mutiara para ulama'



Imam An-Nasafi berkata: "Mazhab kami benar, mungkin saja keliru dan mazhab yang menyalahi kami keliru, mungkin saja benar" (Al-Fawaidul Makiyah:Hal.16)


Imam Ibnu 'Arabi berkata: "Tidak matang seorang alim itu hinggalah dia tidak mempunyai sifat fanatik mazhab." (Qawasim al-'Awasim)


Imam Sufyan Al-Tsauri berkata: "Jika kamu lihat seseorang beramal dengan suatu amalan yang terdapat perselisihan pendapat ulama' padanya dan pandangan kamu tentang perkara itu berbeza, maka janganlah kau menegahnya."


Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: "Seorang alim tidak sepatutnya menyuruh atau memaksa orang lain mengamalkan mazhabnya." (Al-Adab Al-Syari'ah oleh Ibnu Muflih)


Imam Nawawi berkata: "Seorang mufti atau seorang qadi tidak boleh memaksa pendapatnya untuk diterima oleh orang yang tidak bersependapat dengannya selagi pendapat orang itu tidak menyalahi nas al-Qur'an dan hadits, ijma' atau qias yang jelas." (Syarah Muslim, jld 2, H:24)

maksud pandangan para ulama' di atas ialah agar kita pandai menghormati pendapat orang lain walaupun pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat kita, dalam masalah furu' (bukan dalam masalah aqidah). Dengan adanya saling hormat menghormati di antara kaum muslimin, tentu tidak akan retak hubungan ukhwah Islamiyyah yang selama ini ulama' kita jaga dan bina dengan baik.

Perintah Shalawat

dua-alam

Surah Al-Ahzab: 56

Perintah Bershalawat kepada Nabi saw dan Keluarganya
Allah swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىّ‏ِ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56)
Ulama dari kalangan mazhab Ahlul bait (as) sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (as), yaitu perintah bershalawat kepada mereka dan cara bershalawat. Ulama Ahlussunnah juga sepakat kecuali hanya beberapa penulis.
Cara bershalawat dalam shahih Bukhari, kitab doa, bab bershalawat kepada Nabi saw:
Abdurrahman bin Abi Layli berkata: Ka’b bin Ujrah menemui aku lalu berkata: Tidakkah kamu diberi hadiah? Nabi saw datang kepada kami, lalu kami berkata: Ya Rasulallah, engkau telah mengajari kami cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian ucapkan:
اللهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد، كما صلّيت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللّهمّ بارك على محمّد وعلى آل محمّد، كما باركت على إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Dalam Shahih Bukhari, kitab tafsir, bab ayat ini : Abu Said Al-Khudri berkata, kami berkata: Ya Rasulallah, ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: kalian ucapkan:
اللّهمّ صلّ على محمّد عبدك ورسولك كما صلّيت على آل إبراهيم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu sebagaimana Engkau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim.
Shahih Muslim, kitab shalawat kepada Nabi saw sesudah tasyahhud:
Abu Mas’ud Al-Anshari berkata: Rasulullah saw pernah mendatangi kami ketika kami berada di majlis Sa’d bin Ubadah. Kemudian Basyir bin Sa’d berkata kepadanya: Allah Azza wa Jalla memerintahkan pada kami agar bershalawat kepadamu ya Rasulallah, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Lalu beliau diam sepertinya beliau menghendaki kami tidak bertanya tentang hal itu. Kemudian beliau bersabda: Kalian ucapkan:
اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على آل إبراهم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميدٌ مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi keluarga Ibrahim di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1/190, bab 52, hadis ke 1289:Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata: kami berkata, ya Rasulallah, bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian ucapkan:
اللّهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia; berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1: 190, bab 52, hadis ke 1291:
Musa bin Thalhah berkata, aku bertanya kepada Zaid bin Kharijah, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: Bershalawatlah kalian kepadaku dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdoa, dan kalian ucapkan:
اللّهم صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Shahih Ibnu Majah 65, kitab shalat, bab shalawat kepada Nabi saw, hadis ke 906:
Abdullah bin Mas’ud berkata: Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah saw, hendaknya kalian memperbaiki shalawat kepadanya, karena kalian tidak tahu kalau shalawat itu hukumnya wajib. Lalu dikatakan kepadanya: ajarkan kepada kami (tentang cara bershalawat). Ia berkata: kalian ucapkan:
اللهم اجعل صلاتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين. اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد ، اللهم بارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, curahkan shalawat-Mu, rahmat-Mu dan keberkahan-Mu kepada penghulu para Rasul. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Fathul Bari 13: 441, kitab doa, bab 32, hadis ke 6358:
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang shalawat ini, pada hari kiamat aku akan menjadi saksi baginya dan memberi syafaat padanya:
اللهم صل على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وترحم على محمّد وعلى آل محمّد كما ترحمت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sayangi Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i) meriwayatkan dalam Musnadnya:
Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد كما صليت على ابراهيم وبارك على محمد وآل محمد كما باركت على ابراهيم وآل ابراهيم، ثم تسلمون علي
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim; kemudian ucapkan salam kepadaku. (Musnad, jilid 2, halaman 97).
Ash-Shawa’iqul Muhriqah, hlm 144:
Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Ka’b bin Ujrah berkata: ketika ayat ini turun kami bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tapi bagaimana cara bershalawat kepadamu. Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Kemudian beliau bersabda: Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat yang batra’ (puntung). Lalu para sahabat bertanya: Apa shalawat yang batra’ itu. Beliau menjawab: Kalian hanya mengucapkan:
اللّهم صل على محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi, hendaknya kalian mengucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Dalam tafsirnya Al-Qurthubi menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini adalah keharusan menyertakan Ahlul bait ketika bershalawat kepada Nabi saw. (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an 14: 233 dan 234).
Ibnul Arabi Al-Andalusi Al-Maliki juga menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Nabi saw dan keluarganya yang suci (as). (Ahkamul Qur’an 2: 84).
Jabir (ra) berkata: Sekiranya kamu melakukan shalat dan tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, maka aku tidak melihat shalatnya diterima. (Dzakhairul Uqba:19).
Al-Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dalam Asy-Syifa’, dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Al-Ghadir 2: 303).
Ibnu Hajar mengatakatan: Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Ash-Shawaiqul Muhriqah: 139).
Ar-Razi mengatakan: Doa untuk keluarga Nabi saw menunjukkan keagungan kedudukan mereka, karena doa ini ditempatkan di akhir Tasyahhud dalam shalat, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad, warham Muhammadan wa âla Muhammad (Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad). Pengagungan ini tidak akan didapatkan pada selain keluarga Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa mencintai keluarga Muhammad adalah wajib. Keagungan kedudukan Ahlul bait Nabi saw terdapat dalam lima hal: Tasyahhud dalam shalat, salam, kesucian, diharamkannya sedekah bagi mereka, dan kewajiban mencintai mereka. (Tafsir Ar-Razi 7: 391).
Hadis-hadis tersebut dan yang semakna juga terdapat dalam:
1. Shahih Bukhari, jilid 6, halaman 12.
2. Asbabun Nuzul, Al-Wahidi, halaman 271.
3. Ma’alim At-Tanzil, Al-Baghawi, catatan pinggir Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 225.
4. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 148.
5. Tafsir Fakhrur Razi, jilid 25, halaman 226.
6. Al-Hafizh Abu Na’im Al-Isfahani, Akhbar Isfahan, jilid 1, halaman 131.
7. Al-Hafizh Abu Bakar Al-Khathib, Tarikh Baghdad, jilid 6, halaman 216.
8. Ibnu Abd Al-Birr Al-Andalusi, Tajrid At-Tamhid, halaman 185.
9. Tafsir Ruh Al-Ma’ani, Al-Alusi, jilid 22, halaman 32.
10. Dzakhairul Uqba, Muhibuddin Ath-Thabari, halaman 19.
11. Riyadhush Shalihin, An-Nawawi, halaman 455.
12. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, halaman 506.
13. Tafsir Ath-Thabari, jilid 22, halaman 27.
14. Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 226.
15. Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuthi, jilid 5, halaman 215.
16. Fathul Qadir, Asy-Syaukani, jilid 4, halaman 293.
Shalat tidak akan diterima tanpa shalawat, riwayat yang menerangkan ini terdapat dalam Sunan Al-Baihaqi 2: 379, kitab shalat, bab 471, hadis 3968, sebagai berikut : Abu Mas’ud berkata: Sekiranya aku melakukan shalat tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak sempurna.
Dalam Sunan Ad-Daruquthni 136, kitab shalat, bab kewajiban shalawat dalam tasyahhud, hadits ke 6: Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasululah saw bersabda:
من صلى صلاة لم يصل فيها عليّ ولا على أهل بيتي لم تقبل منه
“Barangsiapa yang melakukan shalat, dan di dalamnya tidak bershalawat kepada ku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.”
Dalam Dzakhair Al-‘Uqba 19, bab Fadhail Ahlul bait (sa):Jabir berkata: Sekiranya aku melakukan shalat, dan di dalamnya aku tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak diterima.
Dalam Syarah Al-Mawahib halaman 7, Imam Syafi’i berkata :
يا آل بيت رسول الله حبكم فرض من الله في القرآن أنزله
كفا كم من عظيم القدر انكم من لم يصل عليكم لا صلاة له
Wahai Ahlul bait Rasulullah,mencintaimu diwajibkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkanCukuplah keagungan kedudukanmuorang yang tidak bershalawat kepadamu (dalam shalatnya)shalatnya tidak sah.
Perkataan Imam Syafi’i tersebut juga terdapat dalam:1. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 323.2. Ash-Shawaiqul Muhriqah, Ibnu hajar, halaman 88.3. Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn Al-Abshar, Asy-Syablanji, halaman 104, bab 2 manaqib Al-Hasan dan Al-Husayn.
Doa tidak akan diijabah tanpa shalawatDalam Kanzul Ummal 1: 173, pasal 2 Adab Doa : Tidak ada suatupun doa kecuali ada hijab (penghalang) antara doa itu dan Allah sehingga dibacakan shalawat. Ketika shalawat dibacakan, maka robeklah hijab itu dan sampailah doa itu kepada Allah swt. Dan jika tidak dibacakan shalawat, maka kembalilah doa itu.Pernyataan ini diriwayatkan oleh Ad-daylami dari Ali bin Abi Thalib (as).
Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah haaman 88:Ad-Daylami meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
الدعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وأهل بيته ، اللّهم صلِّ على محمّد وآله
“Doa itu akan terhijab sampai dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya, yaitu: Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.”
Dalam Faydh Al-Qadhir 5: 19, hadis ke 6303:Ali bin Abi Thalib (as) berkata:
كل دعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وآل محمّد
“Semua doa akan terhalangi sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Al-Haitsami mengatakan: Tokoh-tokoh hadis tersebut dapat dipercaya.Al-Muttaqi Al-Hindi juga menyebutkan dalam kitabnya Kanzul Ummal 1/314, mengutip dari Ubaidillah bin Abi Hafsh Al-‘Aysyi. Abdul Qadir Ar-Rahawi menyebutkan dalam Al-Arbain, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam Syu’b Al-Iman.
Dalam Faydh Al-Qadir 3: 543: Abu Syaikh meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata :
الدعاء محجوب عن الله حتى يصلّى على محمّد وأهل بيته
“Doa itu akan terhijabi dari Allah sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya.”
Hadis ini juga diriwayatkan Al-Baihaqi dari Asy-Sya’b, At-Tirmidzi dari Ibnu Umar.
Dalam Kanzul Ummal 1: 181:Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): Jika disedihkan oleh suatu persoalan, maka bacalah:
اللّهم احرسني بعينك التي لا تنام، واكنفني بكنفك الذي لا يرام. أسألك أن تُصلّي على محمّد وعلى آل محمّد، وبك أدرأ في نحور الأعداء والجبابرة
“Ya Allah, jagalah daku dengan mata-Mu yang tak pernah tidur, dan jagalah daku dengan benteng-Mu yang tak pernah hancur. Aku bermohon pada-Mu sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dengan-Mu aku berlindung dari permusuhan musuh-musuhku dan orang-orang yang sombong.”
Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (as) adalah keluarga Nabi sawDalam Musnad Ahmad 6: 324, hadis ke 26206:Ummu Salam berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah (as): “Bawalah kepadaku suamimu dan kedua anakmu.” Kemudian Fatimah (as) bersama mereka datang kepada Nabi saw. Lalu beliau memayungi mereka dengan kain kisa’ dan meletakkan tangannya pada mereka, lalu bersabda:
اللّهم إن هؤلاء آل محمّد ، فاجعل صلواتك وبركاتك على محمّد وعلى آل محمّد إنّك حميد مجيد
“Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluarga Muhammad, curahkan shalawat-Mu dan keberkahan-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”Ummu Salamah berkata: Kemudian aku mengangkat kain kisa’ itu untuk berkumpul bersama mereka, kemudian Nabi saw menarik kain kisa’ itu (melarang masuk ke dalam kain kisa’) dan bersabda: “Engkau adalah orang yang baik.”
Dalam Mustadrak Al-Hakim 3: 147, kitab ma’rifah Shahabah:Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berkata: Ketika Rasulullah saw melihat rahmat Allah turun, beliau bersabda: “Datangkan padaku, datangkan padaku.” Shafiyah bertanya: Siapa yang Rasulallah? Beliau menjawab: “Ahlul baitku, yaitu Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn.” Lalu mereka datang kepada Nabi saw, kemudian beliau memayungi mereka dengan kain kisa’, kemudian berdoa dengan mengangkat tangannya:
اللّهمّ هؤلاء آلي ، فصلِّ على محمّد وعلى آل محمّد
“Ya Allah, mereka adalah keluargaku, curahkan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Kemudian Allah Azza wa jalla menurunkan surat Al-Ahzab: 33.Al-Hakim mengatakan hadis ini shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim.
Hadis ini dan yang semakna juga terdapat dalam :
1. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 7 halaman 103, bab Fadhail Ahlul bait, hadis ke 37629.
2. Musykil Al-Atsar, Ath-Thahawi, jilid 1 halaman 334.
3. Tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang surat Al-Ahzab: 33.
4. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 296.
5. Majma’ Az-Zawaid, Al-Haitsami, jilid 9 halaman 167, bab keutamaan Ahlul bait (as).
Larangan shalawat batra’ (terputus)
Shalawat ba’tra’ adalah shalawat yang tidak menyertakan keluarga Nabi saw dalam bershalawat kepadanya. Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah 87, bab 11:Ibnu Hajar berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat batra’.” Kemudian sahabat bertanya: Apakah shalawat batra’ itu? Nabi saw menjawab: Kalian hanya mengucapkan:
اللّهم صلِّ على محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi hendaknya kalian mengucapkan:
اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Disini terdapat hal yang mengherankan: Mengapa umumnya ummat Islam bershalawat kepada Nabi saw dengan shalawat batra’ yaitu Shallallahu ‘alayhi wa sallam (semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Muhammad). Padahal para ulama dan para imam ahli hadis dari Ahlussunnah telah meriwayatkan hadis-hadis bahwa doa itu tidak diijabah tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, shalat tidak diterima tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, cara bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan hadis-hadis bahwa Nabi saw melarang bershalawat dengan shalawat batra’ (yang terputus)

Penulis Kitab Maulid Nabi Muhammad Saw

Bismillahir Rahmanir Rahiim
Dalam kitab Kasyf al-Dzunnun dikemukakan bahwa orang pertama yang menulis kitab perilaku kehidupan Nabi Muhammad saw dan uraian tentang kelahirannya ialah Muhammad bin Ishaq, wafat tahun 151 hijriyah. Dengan indah dan cemerlang ia menguraikan riwayat maulid Nabi saw serta menjelaskan berbagai manfaat yang dapat dipetik oleh kaum muslimin dari peringatan-peringatan maulid dalam bentuk walimah, sedekah dan bentuk kebajikan lain. Penulisan riwayat kehidupan Nabi saw kemudian diteruskan lagi pada zaman berikutnya oleh Ibnu Hisyam, wafat tahun 213 hijriyah.
Tidak diragukan lagi, dengan diterima dan dibenarkan penulisan kitab sejarah perilaku kehidupan Nabi saw oleh para ulama dan para pemuka masyarakat Islam itu, kaum muslimin tidak kehilangan informasi sejarah mengenai kehidupan dan perjuangan Nabi saw sejak beliau lahir hingga wafat. Tujuan memelihara kelestarian data sejarah itu disambut baik oleh para ulama, dan ini berarti bahwa para ulama membenarkan diadakannya peringatan maulid Nabi saw, sekurang-kurangnya setahun sekali pada bulan Rabiul Awal.
Imam Nawawi bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw. Pendapat itu diperkuat oleh Imam al-Asqalany. Dengan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam al-Asqalany memastikan bahwa menyambut hari maulid Nabi saw dan mengagungkan kemuliaan beliau mendatangkan ganjaran dan pahala bagi kaum muslimin yang menyelenggarakannya.
Imam Taqiyuddin al-Subki, telah menulis sebuah kitab khusus mengenai kemuliaan dan keagungan Nabi saw, bahkan ia menetapkan bahwa siapa yang datang menghadiri pertemuan untuk mendengarkan pembacaan riwayat maulid dan kemuliaan serta keagungan Nabi saw, akan memperoleh berkah dan ganjaran pahala.
Imam Ibnu Hajar al-Haitsami, menulis kitab khusus mengenai kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad saw. Ia memandang hari maulid Nabi saw sebagai hari raya besar yang penuh berkah dan kebajikan. Demikian juga Imam al-Thufi al-Hanbali yang terkenal dengan nama Ibnu al-Buqy, ia menulis sajak dan syair-syair bertema memuji kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad saw yang tidak dimiliki oleh manusia lain manapun juga. Tiap hari maulid para pemuka kaum muslimin berkumpul di rumahnya, kemudian minta kepada salah seorang di antara mereka supaya mendendangkan syair-syair al-Buqy.
Imam al-Jauzy al-Hanbali, mengatakan manfaat istimewa yang terkandung di dalam peringatan maulid Nabi saw ialah adanya rasa ketentraman dan keselamatan, di samping kegembiraan yang mengantarkan umat Islam kepada tujuan luhur. Dijelaskan pula bahwa orang-orang pada zaman Abbasiyah dahulu merayakan hari maulid Nabi saw dengan berbuat kebajikan menurut kemampuan masing-masing, seperti mengeluarkan sedekah dan lain sebagainya.
Imam al-Mujtahid Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Kemuliaan hari maulid Nabi saw dan diperingatinya secara berkala sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin, mendatangkan pahala besar, mengingat maksud dan tujuan yang sangat baik, yaitu menghormati dan memuliakan kebesaran Rasulullah saw.’
Menurut Ibnu Batutah dalam catatan pengembaraannya menceritakan kesaksiannya sendiri tentang kegiatan dan bentuk-bentuk perayaan maulid Nabi saw yang dilakukan oleh Sultan Tunisia Abu al-Hasan pada tahun 750 hijriyah. Ibnu Batutah berkata, bahwa sultan tersebut pada hari maulid Nabi saw menyelenggarakan pertemuan umum dengan rakyatnya dan disediakan hidangan secukupnya[1]. Beribu-ribu dinar dikeluarkan oleh sultan untuk menyediakan berbagai jenis makanan bagi penduduk. Ia mendirikan kemah raksasa sebagai tempat pertemuan umum itu. Dalam pertemuan itu dibacakan syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi saw dan diuraikan pula riwayat kehidupan beliau saw.
Selain ulama zaman dahulu, pada zaman-zaman berikutnya hingga zaman belakangan ini, masih tetap banyak ulama yang menulis kitab-kitab maulid Nabi saw, di antaranya Sayid Muhammad Shalih al-Sahrawardi, yang menulis kitab maulid berjudul Tuhfah al-Abrar Fi Tarikh Masyru’iyat al-Hafl Bi Yaumi Maulid Nabi al-Mukhtar. Dalam kitab maulid ini penulis mengemukakan dalil-dalil meyakinkan tentang sahnya peringatan maulid Nabi saw sebagai ibadah yang sangat ditekankan (sunnah muakkadah) supaya kaum muslimin melaksanakannya dengan baik.
Di Indonesia, beredar pula kitab-kitab maulid yang sering dibaca oleh kaum muslimin seperti kitab maulid al-Barjanzi, maulid al-Diba’i, maulid al-Azab dan maulid Burdah. Di samping itu terdapat juga kitab-kitab maulid yang ditulis oleh ulama-ulama dari kalangan Alawiyin, seperti kitab maulid al-Habsyi, al-Masyhur, al-Atthas, al-Aidid dan lainnya. Di antara kiitab-kitab yang ditulis berkenaan dengan maulid Nabi saw :
1. Al-Imam al-Muhaddis al-Hafiz Abdul Rahman bin Ali yang terkenal dengan Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi (wafat tahun 597H), dan maulidnya yang masyhur dinamakan al-Arus.
2. Al-Imam al-Muhaddis al-Musnid al-Hafiz Abu al-Khattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn Dahya al-Kalbi (wafat tahun 633H). Beliau mengarang maulid yang dinamakan al-Tanwir Fi Maulid al-Basyir al-Nadzir.
3. Al-Imam Syeikh al-Qurra’ Wa Imam al-Qiraat al-Hafiz al-Muhaddis al-Musnid al-Jami’ Abu al-Khair Syamsuddin Muhammad bin Abdullah al-Juzuri al-Syafi’e (wafat tahun 660H). Maulidnya dalam bentuk manuskrip berjudul Urfu al-Ta’rif bi al-Maulid al-Syarif.
4. Al-Imam al-Mufti al-Muarrikh al-Muhaddis al-Hafiz ‘Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir, penyusun tafsir dan kitab sejarah yang terkenal (wafat tahun 774H). Ibn Katsir menyusun kitab maulid Nabi saw yang telah ditahqiq oleh Dr. Solahuddin al-Munjid. Kemudian kitab maulid ini disyarahkan oleh al-’Allamah al-Faqih al-Sayyid Muhammad bin Salim Bin Hafidz, mufti Tarim, dan diberi komentar pula oleh al-Muhaddis al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, yang telah diterbitkan di Siria pada tahun 1387 hijriyah.
5. Al-Imam al-Kabir al-Syahir, Hafiz al-Islam Wa ‘Umdatuh al-Anam, Wa Marja’i al-Muhaddisin al-A’lam, al-Hafiz Abdul Rahim ibn Husain bin Abdul Rahman al-Misri, yang terkenal dengan al-Hafiz al-Iraqi (725 – 808 H). Kitab maulidnya dinamakan al-Maurid al-Hana.
6. Al-Imam al-Muhaddis al-Hafiz Muhammad bin Abi Bakr bin Abdillah al-Qisi al–Dimasyqi al-Syafie, yang terkenal dengan al-Hafiz Ibn Nasiruddin al-Dimasyqi (777-842 H). Beliau adalah ulama yang sejalan dengan Ibnu Taimiyah. Beliau telah menulis beberapa kitab maulid, antaranya:
- Jami’ al-Atsar Fi Maulid al-Nabi al-Mukhtar (3 Jilid)
- Al-Lafdzu al-Ra’iq Fi Maulid Khair al-Khalaiq.
- Maurid al-Sabiy Fi Maulid al-Hadi.
7. Al-Imam al-Muarrikh al-Kabir Wa al-Hafiz al-Syahir Muhammad bin Abdul Rahman al-Qahiri yang terkenal dengan al-Hafiz al-Sakhawi (831-902H) yang mengarang kitab al-Diya’ al-Lami’. Beliau telah menyusun kitab maulid nabi dan dinamakan al-Fakhr al-’Alawi Fi al-Maulid al-Nabawi.
8. Al-Allamah al-Faqih al-Sayyid Ali Zainal Abidin al-Samhudi al-Hasani, pakar sejarah dari Madinah al-Munawarrah (wafat tahun 911H). Kitab maulidnya dinamakan Al-Mawarid al-Haniyah Fi Maulid Khair al-Bariyyah.
9. Al-Hafiz Wajihuddin Abdul Rahman bin Ali bin Muhammad al-Syaibani al-Yamani al-Zabidi al-Syafie, yang terkenal dengan Ibn Dibai’e. beliau dilahirkan pada bulan Muharram 866H, dan meninggal dunia pada hari Jumaat, 12 Rejab 944H. Beliau menyusun kitab maulid yang amat masyhur dan dibaca di seluruh dunia (maulid Dibai’e). Maulid ini juga telah ditahqiq dan diberi komentar serta ditakhrijkan hadisnya oleh al-Muhaddis as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
10. Al-’Allamah al-Faqih al-Hujjah Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Haitsami (wafat tahun 974H). Beliau merupakan mufti Mazhab Syafie di Makkah al-Mukarramah. Beliau telah mengarang kitab maulid yang dinamakan Itmam al-Ni’mah ‘Ala al-’Alam Bi Maulid Saiyidi Waladi Adam. Selain itu beliau juga menulis satu lagi maulid yang ringkas, yang telah diterbitkan di Mesir dengan nama al-Ni’mat al-Kubra ‘Ala al’Alam Fi Maulid Saiyidi Waladi Adam.
Al-Syeikh Ibrahim al-Bajuri pula telah mensyarahkannya dalam bentuk hasyiah yang dinamakan Tuhfah al-Basyar ‘Ala Maulid Ibn Hajar
11. Al-’Allamah al-Faqih al-Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Sarbini al-Khatib (wafat tahun 977H). Maulidnya dalam bentuk manuskrip sebanyak 50 halaman, dengan tulisan yang kecil tetapi boleh dibaca.
12. Al-’Allamah al-Muhaddis al-Musnid al-Faqih al-Syaikh Nuruddin Ali bin Sultan Al-Harawi, yang terkenal dengan al-Mula Ali al-Qari (wafat tahun 1014H) yang mensyarahkan kitab al-Misykat. Beliau telah mengarang maulid dengan judul al-Maulid al-Rawi Fi al-Maulidi al-Nabawi. Kitab ini juga telah ditahqiq dan diberi komentar oleh al-Muhaddis al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
13. Al-’Allamah al-Muhaddis al-Musnid al-Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdil Karim al-Barzanji, Mufti Mazhab al-Syafi’e di Madinah al-Munawarah. Beliau merupakan penyusun maulid yang termasyhur yang digelar Maulid al-Barzanji. Sebahagian ulama menyatakan nama asli kitab tersebut ialah Iqd al-Jauhar Fi Maulid al-Nabiy al-Azhar.
14. Al-’Allamah Abu al-Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-’Adawi yang terkenal dengan al-Dardiri (wafat tahun 1201H). Maulidnya yang ringkas telah dicetak di Mesir dan terdapat hasyiah yang luas dari Syeikh al-Islam di Mesir, al-Allamah al-Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri (wafat tahun 1277H)
15. Al-Imam al-’Arif Billah al-Muhaddis al-Musnid al-Sayyid al-Syarif Muhammad bin Ja’far al-Kattani al-Hasani (wafat tahun 1345H). Maulidnya berjudul al-Yumnu Wa al-Is’ad Bi Maulid Khar al-’Ibad dalam 60 halaman, telah diterbitkan di Maghribi pada tahun 1345H.
16. Al-’Allamah al-Muhaqqiq al-Syeikh Yusuf al-Nabhani (wafat tahun 1350H). Maulidnya dalam bentuk susunan bait dinamakan Jawahir al-Nazm al-Badi’ Fi Maulid al-Syafi’, diterbitkan di Beirut.
Rate This

Dalil Maulid Oleh Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki

Berikut kami temukan kitab terjemah dari karangan al-‘Allamah asy-Syaikh as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi bin Abbas bin Abdul Aziz al-Maliki al-Hasani berjudul “Holal Ihtefaal Bezikra-al Moulidin Nabawee al-Shareef”
(حول الاحتفال بذكرى المولد)
Dari sumber di sini: http://al-fanshuri.blogspot.com/
Tulisan asli di web sumber ada berjilid-jilid. Tulisan sangat panjang, maka berkonsentrasilah.
Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia صلى الله عليه وسلم
.
Mengapa Kita Memperingati Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم?
Banyak pendapat telah disuarakan dari segi hukum mengenai memperingati maulid junjungan kita Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Bagaimana pun tidaklah menjadi tujuan saya yang utama untuk membahaskan soal ini, karena apa yang sering saya fikirkan dan difikirkan oleh para cendikiawan, adalah mengenai masalah-masalah yang jauh lebih penting daripada perkara ini. Tetapi oleh karena desakan para shahabat yang ingin mengetahui pendapat saya dalam hal ini dan karena saya takut terdiri dalam golongan mereka yang menyembunyikan ilmu pengetahuan, maka saya menuliskan risalah ini dengan harapan agar Allah Ta’ala mengarahkan kita semua ke jalan yang benar. آمين
Sebelum saya membentangkan dalil-dalil saya mengenai mengadakan sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم, saya suka menjelaskan di sini beberapa perkara:-
Pertama: Kami mengatakan harus memperingati maulid baginda صلى الله عليه وسلم dan harus berkumpul untuk mendengar sirah Rasulullah صلى الله عليه وسلم, bershalawat kepadanya, mendengar qasidah-qasidah yang memujinya, mengadakan jamuan makan, yang mana semua ini akan menimbulkan kegembiraan dan ketenangan di hati sanubari kaum muslimin.
Kedua: Kami tidak mengatakan sunnah memperingati maulid baginda صلى الله عليه وسلم, pada malam tertentu sahaja, malah siapa yang mengi’tiqadkan sedemikian, sebenarnya dia telah membuat satu bid’ah didalam agama. Sebab mengingati dan menghayati sejarah صلى الله عليه وسلم itu adalah wajib dilakukan pada setiap waktu dan masa dengan sepenuh jiwa.
Memang benar, memperingati maulid baginda صلى الله عليه وسلم pada bulan keputeraannya merupakan seruan yang lebih kuat dalam mengumpulkan lebih ramai umat Islam untuk menghadiri majlis-majlis tersebut. Ini akan meninggikan lagi syiar Islam, menghubungkan kisah-kisah zaman dahulu dengan zaman kini, dan mendatangkan manfaat bagi mereka yang tidak hadir daripada mereka yang hadir.
Ketiga: Kumpulan-kumpulan seperti ini merupakan satu perantaraan dan peluang emas untuk berdakwah. Kesempatan ini harus tidak diabaikan, terutama sekali apabila menjadi satu kewajipan bagi para pendakwah dan para ulama untuk mengingatkan umat Islam tentang riwayat hidup Rasulullah صلى الله عليه وسلم, mengenalkan mereka tentang akhlaq, pergaulan, ibadah baginda serta mengajak mereka kepada kebaikan, dan menjauhkan diri mereka daripada bencana, bid’ah dan fitnah.
.
Dalil-dalil Yang Mengharuskan Memperingati Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم
Dalil Pertama
Bahawa memperingati maulid Nabi صلى الله عليه وسلم, melambangkan satu kegembiraan dan kebahagiaan terhadap junjungan kita Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Malah orang kafir (abu Lahab) juga mendapat manfaat dengan kegembiraan ini.(1)
Telah disebutkan di dalam kitab al-Bukhari, bahawa Abu Lahab telah diringankan siksaannya pada tiap-tiap hari Itsnin karena ia telah membebaskan hambanya Tsuwaibah, apabila hambanya itu membawa khabar akan keputeraan Nabi صلى الله عليه وسلم.
Hal ini juga diterangkan dalam sebuah syair al-Hafiz Syamsuddin Muhammad Nasiruddin ad-Dimasyqi:-
إِذَكَانَ هَذَا كَافؤرًا جَاءَ ذَمُّهُ * بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِيْ الجَحِيْمِ مُخَلَّدًا
أَتَى أَنَّهُ فِيْ يَوْمٍ الإِثْنَيْنِ دَائِمًا * يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَا
فَمَا الظَّمُّ بِالعَبْدِ الذَّيْ كَانَ عُمْرُهُ * بِاَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا
Artinya:
Jikalau sikafir ini (Abu Lahab) yang telah datang cercaan Allah kepadanya (di dalam surah al-Masad) dan celakalah kedua tangannya didalam neraka selama-lamanya
Telah datang (khabar) sesungguhnya dia pada setiap Isnin sentiasa diringankan (azab siksa) darinya karena kegembiraan dengan kelahiran Muhammad (صلى الله عليه وسلم)
Maka tidak syak lagi, bagi seorang hamba yang sepanjang hayatnya bergembira dengan Muhammad (صلى الله عليه وسلم) dan mati dalam keadaan mengesakan Allah (sudah tentu mendapat kelebihan melebihi daripada apa yang dikurniakan kepada Abu Lahab)
Kisah ini diriwayatkan didalam Shahih al-Bukhari, bab nikah dan dinukilkan oleh Ibn Hajar di dalam kitabnya al-Fath. Juga diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak as-San’ani didalam kitabnya al-Musannaf (jilid 7 mukasurat 478), al-Hafiz didalam kitabnya al-Dala’il, Ibn Katsir di dalam kitabnya, al-Bidayah bab as-Sirah an-Nabawiyyah (jilid 1 mukasurat 224). Ibn ad-Daiba asy-Syaibani didalam kitabnya Hada’iq al-Anwar (jilid 1, mukasurat 134), Imam Hafiz al-Baghawi didalam kitabnya Syarah Sunnah (jilid 9 mukasurat 76), Ibn Hisyam dan as-Suhaili didalam al-Raudh al-Unuf (jilid 5 mukasurat 192), al-Amiri didalam kitabnya Bahjatul Mahaafil (jilid 1 mukasurat 41).
Imam al-Baihaqi berkata, bahawa walaupun hadits ini hadits mursal, tetapi ia boleh diterima karena telah dinaqalkan oleh Imam al-Bukhari hadits ini di dalam kitabnya. Para ulama yang telah disebutkan tadi, juga sependapat menerima hadits ini karena perkara itu terdiri dari bab manaqib dan khosois (keistimewaan), fadhoil (kelebihan) dan bukannya perkara berkaitan hal hukum halal dan haram. Para penuntut ilmu agama tentu sekali tahu perbezaan istidlal (pengambilan dalil) dengan hadits pada bab manaqib atau ahkam.
Berkenaan dengan manfaat seorang kafir daripada amal perbuatannya sendiri, banyak ulama telah membahaskannya. Tetapi tidak dapat saya terangkan sepenuhnya disini. Asalnya adalah apa yang disebutkan di dalam kitab al-Bukhari berkenaan dengan Abu Thalib mendapat keringanan siksa disebabkan doa Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Dalil Kedua
Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri memuliakan maulidnya, dan bersyukur kepada Allah Ta’ala pada maulidnya, diatas nikmat dan kelebihan yang besar yang telah diberikan Allah ke atas wujudnya di alam semesta ini, yang membawa kebahagiaan pula kepada segala yang maujud diatas mukabumi ini.
Baginda صلى الله عليه وسلم memuliakan maulidnya juga dengan berpuasa. Hal ini diterangkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah:
أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الإِثْنَيْنِ، فَقَالَ: فِيْهِ وُلِدْتُ، وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ (رواه الإمام مسلم في الصحيح في كتاب الصيام)
Artinya: Nabi صلى الله عليه وسلم pernah ditanya akan sebab baginda berpuasa pada hari Itsnin. Baginda menjawab: Pada hari itu aku diputerakan, dan pada hari itu juga wahyu turun kepadaku.” (Hadits riwayat Muslim; Bab Puasa)(2)
Ini jelas menunjukkan bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah menyambut maulidnya. Cuma bentuknya sahaja berlainan, namum haqiqatnya sama, iaitu samada disambut dengan berpuasa, atau mengadakan jamuan makan atau berkumpul untuk mengingati baginda atau bershalawat ketas baginda ataupun mendengar ajaran-ajaran, pesanan-pesanan dan petunjuk dari baginda صلى الله عليه وسلم.
Dalil Ketiga
Sesungguhnya bergembira dengan Baginda صلى الله عليه وسلم dituntut melalui perintah Al-Quran dari firman Allah Ta’ala :
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ…
Artinya: “Katakan (wahai Muhammad), dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira …” (Surah Yunus:58 )
Maka Allah Ta’ala lah yang memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat, dan Nabi صلى الله عليه وسلم sebesar-besar rahmat. Allah Ta’ala telah berfirman :
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tidak Kami utuskan engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk semesta alam”. (al-Anbiya:107)
Dan dikuatkan lagi tafsiran ini, pakar dalam pentafsiran al-Quran, hibrul ummah wa turjumaanul Quran al-Imam Ibn Abbas رضي الله عنهما. Abu Syeikh meriwayatkan dari Ibn Abbas رضي الله عنهما pada membicarakan ayat di atas beliau telah berkata: فصل الله ialah ilmu, manakala ورحمته adalah Muhammad صلى الله عليه وسلم. Allah telah berfirman: وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ “Dan tidaklah kami utuskan engkau melainkan sebagai rahmat kepada sekalian alam.”(3)
Maka kegembiraan dengan baginda صلى الله عليه وسلم adalah dituntut pada setiap waktu, pada setiap nikmat, dan pada setiap keutamaan, tetapi dikuatkan lagi tuntutan ini pada setiap hari itsnin dan setiap kali bulan Rabi’ul Awwal. Ini adalah karena kuatnya kesesuaiannya serta bertepatan dengan waktunya.
Dalil Keempat
Sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم selalu mengambil kira ikatan masa, dengan peristiwa-peristiwa besar dalam agama yang telah berlalu sebelumnya. Apabila datangnya masa berlakunya peristiwa tersebut ia menjadi peluang bagi mengingatinya dan membesarkan hari tersebut karena peristiwa tersebut.
Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri telah menetapkan kaedah ini seperti mana dijelaskan dalam hadits shahih bahawa ketika baginda berhijrah ke Madinah, baginda mendapati orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’. Lalu baginda bertanya mereka. Mereka lalu menjawab: itulah hari Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan. Maka kami berpuasa sebagai bersyukur kepada Allah Ta’ala. Maka Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:
نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
Artinya: Kami lebih layak bagi Musa daripada kalian. Maka baginda pun berpuasa dan memerintahkan sahabat berpuasa.(4)
Dalil Kelima
Bahawa menyambut maulid Nabi صلى الله عليه وسلم membawa kita bershalawat dan mengucapkan salam kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, yang mana hal ini sangat dituntut sebagimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلاَئِكَـتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّ يٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Artinya: Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya bershalawat ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman shalawatlah keatasnya dan salamlah dengan sebaik-baik salam.” (Surah al-Ahzab:56)
Apa yang berasaskan sesuatu yang dituntut oleh syara’, maka ia turut dituntut oleh syara’. Malah shalawat ke atas baginda صلى الله عليه وسلم mempunyai faedah yang tidak terkira banyaknya, dimana pena ini tidak sanggup menghitung kesan-kesan nuraninya yang menyelubungi orang yang bershalawat dan salam itu.
Dalil Keenam
Sesungguhnya sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم dipenuhi dengan memperingati keputeraan baginda yang mulia. Pada sambutan itu kita kan diingatkan dengan mukjizat-mukjizat baginda, sirah baginda agar kita akan lebih mengenali baginda صلى الله عليه وسلم.
Bukankah kita diperintahkan untuk mengenali, mencontohi jejak langkah, mengikuti amalan, dan beriman dengan mukjizat serta membenarkan segala keterangan/tanda-tanda baginda? Dan kitab-kitab maulid banyak memaparkan semua ini.

Dalil ketujuh

Dengan mengadakan sambutan Maulid ini juga sebagai melaksanakan sebahagian kewajipan kita dengan menerangkan sifat-sifat baginda yang sempurna, dan akhlak-akhlak baginda yang mulia.
Diriwayatkan, para penyair datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم lalu melantunkan bacaan qasidah-qasidah mereka (memuji baginda) dan baginda meredhai perbuatan mereka seraya memberi ganjaran dengan perkara-perkara yang baik seperti mendoakan mereka.(5)
Kalaulah baginda صلى الله عليه وسلم redha sesiapa yang memuji Baginda, bagaimana mungkin baginda tidak redha atas mereka yang menghimpunkan segala sifat baginda yang mulia. Maka ia merupakan suatu perkara yang dapat mendekatkan diri kepada baginda صلى الله عليه وسلم dengan melakukan perkara yang membuatkan kita memperolehi kecintaan dan keredhaannya.
Dalil Kedelapan
Sesungguhnya mengetahui sifat-sifat, mukjizat-mukjizat dan ciri-ciri baginda صلى الله عليه وسلم membawa kepada kesempurnaan iman dan kecintaan kepada baginda. صلى الله عليه وسلم Hal ini karena tabiat semulajadi manusia adalah menyukai sesuatu yang indah, dalam bentuk baik dari segi rupa mahupun akhlak, ilmu mahupun amalan, keadaan mahupun dan kepercayaan.
Dan tiadalah yang lebih terindah, sempurna dan utama dari akhlak dan sifat-sifat baginda صلى الله عليه وسلم. Menambahkan kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم serta kesempurnaan iman amatlah dituntut oleh syara’, dan apa yang boleh membantu menyuburkan keduanya, maka ianya jua dituntut oleh syara’.
Dalil Kesembilan
Mengagungkan baginda صلى الله عليه وسلم dituntut oleh syara’. Manakala bergembira dengan maulid baginda صلى الله عليه وسلم dengan menzahirkan kegembiraan dengan mengadakan jamuan, mengumpulkan masyarakat untuk berzikir, dan memuliakan fakir miskin merupakan antara cara yang paling jelas dalam mengagungkan, memuliakan, bergembira dan bersyukur kepada Allah, karena hidayahNya yang menunjukkan kita kepada agamaNya yang mulia, dan apa-apa anugerahNya kepada kita dengan mengutus Nabi عليه أفضل الصلاة والتسليم.
Dalil Kesepuluh
Dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم berkenaan dengan hari Juma’at dan menyenaraikan keistimewaannya:
وفيه خُلق آدم
Artinya: “Dan padanya (Jumaat) dijadikan Adam”.
Dipetik daripada hadits ini kemuliaan sesuatu waktu yang padanya ditsabitkan kelahiran mana-mana Nabi عليهم السلام. Maka bagaimana pula dengan hari yang mana padanya dilahirkan Nabi yang paling utama dan Rasul yang paling mulia?
Dan kemuliaan hari tersebut bukanlah dikhususkan pada hari tersebut sendiri, tetapi ia mempunyai sifat yang umum, yang mana sentiasa diulang-ulang kemuliannya setiap kali sampai hari tersebut, seperti kemuliaan hari Jumaat.
Ini adalah sebagai mensyukuri nikmat, menunjukkan keistimewaan kenabian serta menghidupkan peristiwa-peristiwa sejarah yang amat penting. Begitu juga sebagaimana yang kita dapati mulianya tempat lahir seorang Nabi, sebagaimana Jibril menyuruh Rasulullah صلى الله عليه وسلم bershalat dua rakaat diBaitullaham (sewatu peristiwa isra’ dan mi’raj), kemudian dia (Jibril عليه السلام) memberitahu kepada Nabi dengan katanya:
أَتَدْرِيْ أَيْنَ صَلَّيْتَ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: صَلَّيْتَ بِبَيْتِ لَحْمٍ حَيْثُ وُلِدَ عِيْسَى
Artinya: Tahukah engkau, dimana engkau bershalat? Jawab Rasulullah: Tidak! Berkata Jibrail: Telah bershalat engkau di Baitullaham, tempat ‘Isa dilahirkan.
Kisah ini telah disebutkan dalam sepotong hadits riwayat Syaddad bin Aus yang diriwayatkan al-Bazzar dan Abu Ya’la juga at-Thabrani. Berkata al-Hafidz al-Haitsami didalam kitabnya Majma’ az-Zawaid jilid 1 mukasurat 47, rijalnya adalah rijal yang shahih. Dan telah menaqalkan kisah ini oleh al-Hafidz Ibn Hajar didalam kitabnya al-Fath (jilid 7 mukasurat 199) dengan tanpa komentar.

Dalil Kesebelas
Bahawasanya sambutan maulid ini adalah satu perkara yang dipandang baik oleh para ulama dan kaum muslimin di seluruh pelusuk negeri. Malah ianya telah diamalkan di merata dunia Islam. Ianya adalah dituntut dari segi syara’ berdasarkan kaedah yang dipetik dari sebuah hadits yang mauquf dari Ibn Mas’ud yang berkata:
مَارَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَاللهِ حَسَنٌ ، وَمَارَآهُ المُسْلِمُوْنَ قَبِيْحًا فَهُوَ عِنْدَاللهِ قَبِيْحٌ – أخرجه أحمد
Artinya: “Apa-apa yang dipandang oleh kaum Muslimin sebagai perkara yang baik, maka ia baik di sisi Allah. Dan apa-apa yang dipandang oleh kaum Muslimin sebagai perkara yang buruk, maka ia adalah buruk disisi Allah (Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad)
Dalil Keduabelas
Bahawasanya sambutan maulid dipenuhi dengan perhimpunan untuk berzikir, sedekah, serta mengucapkan pujian dan penghormatan kepada Nabi. Semua ini adalah sunnah, dan amat dituntut dari segi syara’. Tidak sedikit hadits-hadits yang shahih yang menekankannya dan mendorong kaum Muslimin mengamalkannya.(6)
Dalil Ketigabelas
Allah Ta’ala telah berfirman:
وَكُـلاًّ نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
Artinya: “Dan tiap-tiap berita dari berita rasul-rasul itu, Kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad) untuk menguatkan hatimu dengannya” (Surah Hud:120)
Di sini jelas bahawa hikmah kisah-kisah para rasul disebutkan di dalam al-Quran adalah untuk mengukuhkan hati Baginda yang mulia. Dan tidak syak lagi, pada hari ini, kita amatlah memerlukan kepada pengukuhan hati dengan berita dan cerita Baginda صلى الله عليه وسلم, malah keperluan kita tentulah lebih kuat lagi berbanding keperluan baginda tadi.

Dalil Keempatbelas

Bukan semua perkara yang tidak dilakukan oleh para salaf dan segala yang tidak pernah berlaku pada kurun-kurun awal Islam adalah bid’ah sayyi’ah yang diingkari dan haram melakukannya serta wajib diingkari. Inilah perkara yang selalu tidak difahami oleh mereka yang mengharamkan sambutan ini.
Sebenarnya perkara yang dibarukan dalam agama harus dipandang dan diukur dari segi dalil-dalil syara’. Maka, perbuatan yang mengandungi maslahat (kebaikan) maka ia wajib, jika mengandungi perkara haram maka ia haram. Begitulah juga jika mengandungi perkara makruh ia menjadi makruh, mengandungi perkara harus ia menjadi harus, dan jika mengandungi perkara yang mandub maka ia jua mandub. Dan (menurut kaedah fiqh) bagi semua wasilah sama hukumnya dengan sesuatu tujuan. (وللوسائل حكم المقاصد).
Seterusnya para ulama’ telah membahagikan bid’ah kepada 5 bahagian (sesuai dengan hukum taklifi yang 5 – wajib, mandub, makruh, haram dan harus).
* Wajib: Seperti menolak perbuatan orang-orang yang menyeleweng daripada jalan yang benar dan mempelajari ilmu nahwu
* Mandub: Seperti mengadakan sekolah-sekolah, madrasah, azan di atas menara dan perbuatan baik yang tidak dilakukan pada masa dahulu
* Makhruh: Seperti menghiasi masjid dan juga mushhaf
* Mubah: Seperti menggunakan tapis dan berlebihan makan-minum
* Haram: Seperti apa-apa yang diadakan, bersalahan dengan sunnah dan tidak mempunyai dalil-dalil syara’ yang am, juga tidak meliputi maslahat dari segi syara’.

Dalil Kelimabelas
Bukanlah semua bid’ah itu adalah diharamkan. Jika demikian haramlah perbuatan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Zaid رضي الله عنهم, mengumpulkan al-Quran dan menulisnya didalam mushaf, karena ditakuiti al-Quran itu hilang setelah matinya para shahabat yang yang alhi dalam membaca al-Quran.
Dan haramlah, Sayyidina Umar رضي الله عنه ketika beliau menghimpun yang bersembahyang tarawikh untuk dilakukan secara berjemaah dengan seorang iman. Beliau berkata:
نِعْمَتِ البِدْعَةُ هذِهِ
Artinya: Alangkah eloknya bid’ah ini.
Nescaya haramlah mengarang kitab-kitab ilmu yang manfaat. Jika demikian, maka wajib kita berperang dengan orang kafir dengan lembing dan panah, sedangkan mereka menetang kita dengan peluru, meriam, kereta kebal, jet pejuang, kapal selam dan senjata-senjata yang lain.
Nescaya haramlah azan diatas menara, membuat sekolah-sekolah, asrama-asrama, hospital, tempat-tempat pertolongan cemas, rumah anak yatim dan penjara.
Oleh karena itu, para ulama رضي الله عنهم telah menentukan hadits: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ – artinya: Tiap-tiap bid’ah itu menyesatkan – dengan bid’ah sayyiah (bid’ah yang jahat), dan mereka ulama telah menghuraikan hadits tersebut karena sepeninggalan Rasulullah صلى الله عليه وسلم banyak diantara shahabat terkemuka dan para pemimpin tabi’in, yang mengadakan hal-hal baharu yang mana ianya pada masa hidup Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah diadakan.(7)
Kita sekarang banyak melakukan perkara-perkara yang tidak dilakukan oleh para salaf. Antaranya diadakan tahajjud berjemaah selepas shalat tarawikh pada akhir malam dengan satu imam, mengkhatam al-Quran dalam shalat tersebut, membaca doa khatam al-Quran dan imam berkhutbah ketika shalat tahajjud (8 ) dalam shalat tahajjud pada malam 27 Ramadhan. Dan seruan muazzin untuk mendirikan shalat tahajjud dengan katanya:
صَلاَةُ القِيَامِ أَثَابَكُمُ اللهِ
Artinya: Marilah shalat tahajjud, semoga Allah memberikan balasan pahala kepada kamu.
Semua ini tidak dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم , juga walau seorang dari kalangan ahli salaf. Adakah semua ini bid’ah yang menyesatkan???
Dalil keenambelas
Memperingati maulid Nabi صلى الله عليه وسلم sekalipun tidak dilakukan pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم, adalah bid’ah hasanah karena termasuk dibawah dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedah yang umum. Ianya dikira sebagai bid’ah karena dilaksanakan secara bermasyarakat dan bukannya secara individu karena amalan ini pernah dilakukan secara individu pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم, sebagaimana tersebut pada dalil yang kedua belas.
Dalil Ketujuhbelas
Perkara-perkara yang tidak dilakukan oleh generasi salaf dalam bentuk kemasyarakatan tetapi diamalkan secara perseorangan /individu, dituntut oleh syara’ untuk diamalkan. Apa yang telah tersusun dari segi syara’, dituntut untuk diamalkan. Perkara ini amat jelas dan tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun.
Dalil Kedelapanbelas
Telah berkata Imam Syafie رضي الله عنه :
مَا أُحْدِثَ وَخَالَفَ كِتَاباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَراً فَهُوَ البِدْعَةُ الضَّالَّةُ ، وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئاً مِنْ ذلِكَ فَهُوَ المَحْمُوْدُ
Artinya: “Suatu perkara yang diadakan dan ia bercanggah dengan kitab, sunnah, ijma’ atau atsar, maka ia adalah bid’ah yang sesat. Dan suatu yang diadakan dari perkara kebaikan dan tidak bercanggah dengan sesuatu dari yang disebutkan tadi, maka ia adalah terpuji”
Malah Imam al-Izz bin Abdussalam, Imam An-Nawawi dan juga Imam Ibnul Atsir telah mengkategorikan bid’ah kepada 5 bahagian seperti mana yang telah kita sebutkan sebelum ini.
Dalil Kesembilanbelas
Setiap perkara kebaikan yang diliputi olehnya dalil-dalil syara’, dan tidak bertujuan untuk mereka satu perkara yang baru yang bercanggah dengan syariat, serta tidak mengandungi perkara mungkar, maka ia termasuk dalam agama.
Kata-kata mereka yang taksub bahawa perkara ini tidak pernah dilakukan oleh salaf, bukanlah satu dalil bagi mereka, tetapi dinamakan tiada dalil. Perkara ini amat jelas bagi mereka yang mempelajari dan menyelami ilmu usul fiqh. Malah syari’ telah menamakan bid’ah yang baik sebagai sunnah dan dijanjikan pahala bagi pembuatnya, berdasarkan hadis Nabi صلى الله عليه وسلم:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلا َيَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
Artinya: Barangsiapa yang memulakan perkara dalam Islam suatu sunnah yang baik, maka dia akan diberi pahala bagi perbuatannya, serta pahala mereka yang mengikutinya, tanpa dikurangkan sedikit pun darinya.
Dalil Kedua puluh
Sesungguhnya sambutan maulid merupakan satu bentuk menghidupkan kembali peringatan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم. Dan ingatan ini adalah sesuatu yang disyariatkan di sisi kita dalam Islam.
Lihatlah berapa banyak ibadat dalam Islam yang disyariatkan oleh Allah untuk menghidupkan ingatan kita kembali kepada peristiwa sejarah lampau. Misalnya dalam amalan haji, disyariatkan sa’ie antara Safa dan Marwah serta melontar jamrah, serta menyembelih binatang di Mina. Semua perkara ini merupakan peristiwa lampau yang dikuatkan kembali ingatan tersebut dengan cara membaharukan kembali gambarannya dengan kenyataan. Dalilnya, sebagaimana firman Allah:
وأذِّن في الناس بالحج
Artinya: “Dan serulah manusia mengerjakan haji” (Surah al-Hajj:27).
Dan firman Allah Ta’ala, cerita Nabi Ibrahim dan Ismail عليهما السلام:
وأرنا مناسكنا
Artinya: Dan tunjukkanlah kepada kami tempat-tempat ibadah kami” (Surah al-Baqarah: 128 )
Dalil Kedua Puluh Satu
Setiap apa yang kita nyatakan sebelum ini daripada wajah, dalil serta hujah pensyariatan sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم adalah pada sambutan yang bersih dari perkara-perkara mungkar yang dikeji yang perlu kita ingkari. Jika sambutan tersebut mempunyai perkara-perkara yang mungkar seperti percampuran antara lelaki dan perempuan, melakukan perkara-perakra yang haram, pembaziran dan apa jua yang tidak akan diredhai oleh sohibul maulid صلى الله عليه وسلم sendiri, maka tidak syak lagi pengharamannya dan tegahan padanya karena ia mengandungi perbuatan yang haram. Oleh itu tegahan ini adalah perkara yang mendatang (‘aridh) bukan zat sambutan itu sendiri. Sesiapa yang meneliti perkara-perkara ini tentu jelas sekali.
.
__________________________________________________________
Catatan kaki:
1) al-Hafiz Syamsuddin ibn al-Jazari menyebut didalam kitabnya ‘Urf al-Ta’rif bi Muulid asy-Syarif:
قد رؤى أبو لهب بعد موته في النوم، فقيل له: ما حالك؟ فقال: في النار إلا أنه يخفف عني كل ليلة اثنين وأمص من بين إصبعي ماء بقدر هذا، وأشار لرأس أصبعه، وإن ذلك بإعتاق لثويبة عند ما بشرتني برلادة النبي صلى الله عليه وسلم وبإرضاعها له.
Artinya: Bahawa seseorang (yakni Sayyiduna Abbas رضي الله عنه) bermimpi melihat Abu Lahab selepas kematiaannya. Maka dia bertanya tentang keadaannya? Abu Lahab menjawab: Aku berada di dalam neraka tetapi diringankan azabku pada setiap malam itsnin dan aku menghisap air diantara 2 jariku sekadar ini (sambil mengisyaratkan hujung jarinya). Yang demikian itu karena aku membebaskan Tsuwaibah ketika dia mengkhabarkan kepadaku tentang berita gembira mengenai keputeraan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan karena aku telah menyuruhnya menyusukan Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Sekiranya Abu Lahab seorang kafir yang dicela di dalam al-Quran mendapat balasan di dalam neraka karena kegembiraannya diats keputeraan Rasulullah صلى الله عليه وسلم apatah lagi perasaan gembira yang lahir dari hati seorang muslim yang mentauhidkan Allah?
2) Asy-Syeikh Dr Isa bin Abdullah Mani’ al-Himyari menyatakan di dalam Bulugh al-Ma’mul fi al-Ihtifa’ wa al-Ihtifal bi Maulid ar- Rasul, nash ini menunjukkan dengan jelas tetnag keharusan menyambut maulid Nabi صلى الله عليه وسلم dan pada hadits ini tiada ihtimal yang lain.
Beliau berkata melalui hadits diatas, saya tidak mendapati sebarang jawapan yang menyokong pendapat golongan anti-maulid ini. Malah sekiranya mereka berpegang bahawa sambutan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم hanya dibolehkan dengan melakukan ibadah puasa dan tidak boleh dilakukan dengan ibadat lain lain seperti membaca shalawat, membaca sirah Nabi صلى الله عليه وسلم , bersedekah dan sebagainya, maka golongan ini termasuk didalam golongan ahli zahir, yang hanya mengikut buta zahir hadits tanpa merujuk kepada kaedah usul dan mereka mengkhususkan hadits ini tanpa ada dalil yang mengtakhsiskannya.
3) Ad-Durrul Mantsur Juz 3, Halaman 308
4) Hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka. أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوحد البهود صياما يوم عاشوراء، فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما هذا اليوم الذي تصومونه؟ فقالوا: هذا يوم عظيم أنحى الله فيه موسى وقومه، وغرق فرعون وقومه، فصامه موسى شكرا، فنحن نصومه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فنحن أحق وأولى بموسى منكم، فصامه رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأمر بصيامه.
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Setelah sampai ke Madinah, maka baginda mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa hari ‘Asyura. Maka baginda bertanya kepada mereka: apakah hari kamu berpuasa ini? Jawab mereka: Iannya adalah hari yang besar, dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan Allah menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa karena bersyukur keatasnya dan kami berpuasa karena bersyukur (diatas ni’mat tersebut). (Mendengar jawapan mereka) maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم.pun bersabda: Kami lebih berhak dan lebih utama (memperingati) Musa daripada kalian. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Pun berpuasa dan memerintahkan (shahabat-shahabat baginda) berpuasa (pada hari tersebut).”
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahawa perbuatan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Memuliakan hari Nabi Musa diselamatkan, menunjukkan bahawa menyambut maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Adalah disyariatkan di dalam Islam, sebagaimana di dalam fatwanya yang dinaqalkan oleh al-Hafiz as-Sayuthi di dalam Husn al-Maqasid fi ‘Amal al-Maulid. (Sila lihat al-Hawi al-Fatawa) Beliau menyatakan, dari dalil diatas dapat diambil pengajaran bahawa:
a) Hendaklah kita bersyukur di atas kurniaan Allah yang telah menghapuskan kebathilan dan menegakkan kebenaran
b) Umat Islam dianjurkan supaya memperingati pada setiap tahun hari-hari yang dianggap penting dalam Islam.
Justeru, melahirkan rasa kesyukuran kepada allah boleh terhasil dengan pelbagai cara ibadat sepeti bershalat, bersedekah, membaca la-Quran dan sebaginya. Sesungguhnya apakah nikmat yang lebih besar daripada nikmat dikurniakan seorang Nabi pembawa rahmat kepada kita?
5) Diantara penyair-penyair Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah Sayyiduna Hasan bin Tsabit, Sayyiduna Abdullah bin Rawahah dan Sayyiduna Ka’ab bin Malik رضي الله عنهم .
Satu ketika, Ka’ab bin Zuhair mengubah qasidah pujian untuk baginda صلى الله عليه وسلم . Setelah mendengar pujian disampaikan oleh Ka’ab, Nabi صلى الله عليه وسلم meleaskan burdah (selendang)nya dan memakaikan kepada Ka’ab sebagai hadiah sekaligus sebagai ungkapan bahawa baginda meredhainya.
Baginda Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga pernah mendoakan Abdullah bin Rawahah setelah baginda mendengar syair dibacakan oleh Abdullah bin Rawahah. Baginda berdoa:
وأنت، فثبتك الله يا ابن رواحة
Artinya: Dan engkau wahai Abdullah Rawahah, semoga Allah meneguhkanmu. Doak Rasulullah صلى الله عليه وسلم ini membuktikan bahawa baginga senang mendengar syair pujian untuk baginda.
6) Berkumpul untuk melakukan sesuatu yang baik adalah digalakkan berdasarkan kepada sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم
لا يقعد قوم يذكرون الله إلا حفتهم الملآ ئكة وغشيتهم الرحمة ونرلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده – رواه مسلم
Artinya: Tidak duduk suatu kaum yang berzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh para malaikat, dicucuri rahmat, diturinkan ketenangan dan Allah meyebut mereka kepada para malaikat yang berada disisiNYA. (Hadits riwayat Imam Muslim)
7) Persoalan ini dibahaskan panjang lebar oleh para ulama. Insyaallah sekiranya diberi kesempatan olehnya, saya akan menulis sedikit tentang persoalan bid’ah serta pembahagiannya menurut pengertian para ulama’ kita.
8 ) Menurut Sayyid Muhammad al-Maliki, perkara ini berlaku di Haramain (Mekah dan Madianh) selama beberapa tahun tetapi telah ditinggalkan. Apa yang berlaku, ketika mereka melakukannya, mereka menyatakan bahawa perbuatan ini adalah baik tetapi apabila mereka meniggalkannya, maka mereka mengatakan bahawa perbuatan itu adalah sesat. Atau dalam erti kata lain, mula-mula perbuatan yang baik tetapi kemudiannya menjadi kemugkaran. Apakah boleh tergambar atau diterima oleh orang yang beraqal warak sesuatu perkara yang sama boleh menjadi baik dan tidak baik.

Thaif dalam sejarah awal perjuangan

Thaif dalam sejarah awal perjuangan Rasulullah Muhammad SAW memang sangat pahit. Terhitung tiga tahun sebelum hijrah, Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke Thaif untuk melakukan dakwah dan mengajak Kabilah Tsaqif masuk Islam. Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya Siti Khadijah pada 619 Masehi dan wafatnya Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah SAW pada 620 Masehi.

Meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khadijah ini yang disegani oleh kaum musyrik Qurais, membuat mereka semakin berani mengganggu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, jika warga kota Thaif mau menerima Islam, kota ini akan dijadikan tempat berlindung bagi warga muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Makkah.

Untuk menghindari penganiayaan yang lebih berat secara diam-diam dan dengan berjalan kaki, Rasulullah mencoba pergi ke Thaif untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Rasulullah tinggal di Thaif selama sepuluh hari untuk berdakwah dan meminta perlindungan. Namun, ternyata penduduk Thaif melakukan penolakan dan memperlakukan Rasulullah dengan kasar.

Saat itu, kaum Tsaqif melempari Rasulullah SAW, sehingga kakinya terluka. Tindakan brutal penduduk Thaif ini membuat Zaid bin Haritsah membelanya dan melindunginya, tapi kepalanya juga terluka akibat terkena lemparan batu. Akhirnya, Rasulullah berlindung di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah.

Saat itu, Rasulullah SAW berdoa, "Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih ladi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?

Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu."

Dari do'a ini tentu semua begitu memahami betapa beratnya cobaan Rasulullah SAW saat itu dalam menghadapi penganiayaan dengan penuh ridho, ikhlas dan sabar, serta tidak pernah berputus asa. Seperti sejumlah cerita yang diriwayatkan kembali Ulama Hadist terkenal, Imam Bukhori dan Muslim dari Asiyah RA (istri kedua Rasulullah SAW).

Ia (Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah SAW, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Nabi saw, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib.

Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu,“ Rasulullah SAW melanjutkan.

"Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “ Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka." Jawab Rasulullah SAW, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“ Subhanallah..!!
Kisah Rasulullah ketika berada di Thaif, dengan segala kesulitan dan kesedihan, beliau bersama Zaid, RA menghadang lemparan batu dan cacian masyarakat Thaif. Ketika itu ada tawaran dari Malaikat penjaga bukit untuk menghimpitkan bukit Abu Qubais dan bukit Ahmar kepada mereka. Namun tawaran ini ditolak oleh Rasulullah, bahkan beliau berdoa : Allahummahdii qawmii fainnahum laa ya'lamuun" (Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku ini, karena mereka masih juga belum faham tentang arti Islam). Dengan doa ini anak keturunan masyarakat thaif menjadi generasi rabbani pendukung dakwah nabi dikemudian hari.
===============================================================
Dan kini, kurang lebih 14 abad setelah kepergian beliau SAW, ada sebagian manusia yang karena ketidak tahuan, dan hasad di hatinya terang terangan menghinakan serta memusuhi beliau SAW, juga agama yang dibawa olehnya. Ya Allah, sesungguhnya mereka ingin membuat tipu daya, sedangkan Engkaulah sebaik-baik pembalas tipu daya. Sesungguhnya mereka hendak memadamkan cahaya agamaMU dengan mulut serta segala tipu daya mereka, sedangkan tidaklah yang Engkau hendaki melainkan tetap menyempurnakan cahaya-MU. Walaw karihal kafirun, walaw karihal munafiqun .
“ Duhai dzat yang memegang hati, yang membolak balikkan hati, Demi kemulianMU, demi ketinggian Dien-MU, hujamkanlah hidayahMU kepada mereka, sesungguhnya mereka belum mengetahui akan keindahan akhlak rasulMU, serta ketinggian DienMU... Munculkanlah dari mereka, atau keturunan mereka orang orang yang akan dengan ikhlas tunduk patuh dalam menyembah kepadaMU serta ridla akan DienMU... Kabulkanlah permohonan hambaMu yang lemah ini ya allah, sebgaimana kau kabulkan doa nabiMU, RasulMu, Muhammad SAW kepada penduduk Thaif... "
Allhumma Shalli 'alaa muhammad wa 'ala ali muhammad
Wa laa haula wa la Quwwata illa billahi....

Senyum Nabi


Saat menikahkan putri bungsunya, Sayyidah Fatimah Az Zahrah, dengan sahabat Ali bin Abi Thalib, Baginda Nabi Muhammad SAW tersenyum lebar. Itu merupakan peristiwa yang penuh kebahagiaan.

Hal serupa juga diperlihatkan Rasulullah SAW pada peristiwa Fathu Makkah, pembebasan Makkah, karena hari itu merupakan hari kemenangan besar bagi kaum muslimin.
“Hari itu adalah hari yang penuh dengan senyum panjang yang terukir dari bibir Rasulullah SAW serta bibir seluruh kaum muslimin” tulis Ibnu Hisyam dalam kita As Sirah Nabawiyyah.

Rasulullah SAW adalah pribadi yang lembut dan penuh senyum. Namun, beliau tidak memberi senyum kepada sembarang orang. Demikian istimewanya senyum Rasul sampai-sampai Abu Bakar dan Umar, dua sahabat utama beliau, sering terperangah dan memperhatikan arti senyum tersebut.

Misalnya mereka heran melihat Rasul tertawa saat berada di Muzdalifah di suatu akhir malam. “Sesungguhnya Tuan tidak biasa tertawa pada saat seperti ini,” kata Umar. “Apa yang menyebabkan Tuan tertawa?” Pada saat seperti itu, akhir malam, Nabi biasanya berdoa dengan khusyu’.

Menyadari senyuman beliau tidak sembarangan, bahkan mengandung makna tertentu, Umar berharap, “Semoga Allah menjadikan Tuan tertawa sepanjang umur”.

Atas pertanyaan diatas, Rasul menjawab, “Ketika iblis mengetahui bahwa Allah mengabulkan doaku dan mengampuni umatku, dia memungut pasir dan melemparkannya kekepalanya, sambil berseru, ‘celaka aku, binasa aku!’ Melihat hal itu aku tertawa.” (HR Ibnu Majah)

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menulis, apabila Rasul dipanggil, beliau selalu menjawab, “Labbaik”. Ini menunjukkan betapa beliau sangat rendah hati. Begitu pula, Rasul belum pernah menolak seseorang dengan ucapan “tidak” bila diminta sesuatu. Bahkan ketika tak punya apa-apa, beliau tidak pernah menolak permintaan seseorang. “Aku tidak mempunyai apa-apa,” kata Rasul, “Tapi, belilah atas namaku. Dan bila yang bersangkutan datang menagih, aku akan membayarnya.”

Banyak hal yang bisa membuat Rasul tertawa tanpa diketahui sebab musababnya. Hal itu biasanya berhubungan dengan turunnya wahyu Allah. Misalnya, ketika beliau sedang duduk-duduk dan melihat seseorang sedang makan. Pada suapan terakhir orang itu mengucapkan. “Bismillahi fi awalihi wa akhirihi.” Saat itu beliau tertawa. Tentu saja orang itu terheran-heran.

Keheranan itu dijawab beliau dengan bersabda, “Tadi aku lihat setan ikut makan bersama dia. Tapi begitu dia membaca basmalah, setan itu memuntahkan makanan yang sudah ditelannya.” Rupanya orang itu tidak mengucapkan basmalah ketika mulai makan.

Suatu hari Umar tertegun melihat senyuman Nabi. Belum sempat dia bertanya, Nabi sudah mendahului bertanya, “Ya Umar, tahukah engkau mengapa aku tersenyum?”
“Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu,” jawab Umar.
“Sesungguhnya Allah memandang kepadamu dengan kasih sayang dan penuh rahmat pada malam hari Arafat, dan menjadikan kamu sebagai kunci Islam,” sabda beliau.

Kesaksian Anggota Tubuh

Rasul SAW bahkan sering membalas sindiran orang dengan senyuman. Misalnya ketika seorang Badui yang ikut mendengarkan taushiyah beliau tiba-tiba nyeletuk, “Ya Rasul, orang itu pasti orang Quraisy atau Anshar, karena mereka gemar bercocok tanam, sedang kami tidak.”

Saat itu Rasul tengah menceritakan dialog antara seorang penghuni surga dan Allah SWT yang mohon agar diizinkan bercocok tanam di surga. Allah SWT mengingatkan bahwa semua yang diinginkannya sudah tersedia di surga.

Karena sejak di dunia punya hobi bercocok tanam, iapun lalu mengambil beberapa biji-bijian, kemudian ia tanam. Tak lama kemudian biji itu tumbuh menjadi pohon hingga setinggi gunung, berbuah, lalu dipanenkan. Lalu Allah SWT berfirman. “Itu tidak akan membuatmu kenyang, ambillah yang lain.”

Ketika itulah si Badui menyeletuk, “Pasti itu orang Quraisy atau Anshar. Mereka gemar bercocok tanam, kami tidak.”

Mendengar itu Rasul tersenyum, sama sekali tidak marah. Padahal, beliau orang Quraisy juga.

Suatu saat justru Rasulullah yang bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian mengapa aku tertawa?.”
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” jawab para sahabat.
Maka Rasul pun menceritakan dialog antara seorang hamba dan Allah SWT. Orang itu berkata, “Aku tidak mengizinkan saksi terhadap diriku kecuali aku sendiri.”
Lalu Allah SWT menjawab, “Baiklah, cukup kamu sendiri yang menjadi saksi terhadap dirimu, dan malaikat mencatat sebagai saksi.”

Kemudia mulut orang itu dibungkam supaya diam, sementara kepada anggota tubuhnya diperintahkan untuk bicara. Anggota tubuh itupun menyampaikan kesaksian masing-masing. Lalu orang itu dipersilahkan mempertimbangkan kesaksian anggota-anggota tubuhnya.

Tapi orang itu malah membentak, “Pergi kamu, celakalah kamu!” Dulu aku selalu berusaha, berjuang, dan menjaga kamu baik-baik,” katanya.

Rasulpun tertawa melihat orang yang telah berbuat dosa itu mengira anggota tubuhnya akan membela dan menyelamatkannya. Dia mengira, anggota tubuh itu dapat menyelamatkannya dari api neraka. Tapi ternyata anggota tubuh itu menjadi saksi yang merugikan, karena memberikan kesaksian yang sebenarnya (HR Anas bin Malik).

Hal itu mengingatkan kita pada ayat 65 surah Yasin, yang maknanya, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Rindu Rasul



Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."
[Ali 'Imran , ayat 144 ]
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai ding! in, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita, betapa kita justru sering melupakan beliau…
Rindu Rasul
Rindu Kami Padamu Ya Rasul
Rindu Tiada Terperi
Berabad Jarak Darimu Ya Rasul
Serasa Dikau Di Sini
Cinta Ikhlasmu Pada Manusia
Bagai Cahaya Surga
Dapatkah Kami Membalas Cintamu
Secara Besahaja

Song : Sam Bimbo
Lyrics : Taufi
q Ismail

Al-Barzanji


Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji.
Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar.Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.
Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”
Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.
Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”