Ujian Keimanan Dalam Peristiwa Isra’ Mi’raj


Isra’ Mi’raj adalah peristiwa diperjalankannya Rasulullah SAW dari Mekah ke Bayt al-Maqdis, kemudian ke Sidratul Muntaha, dan kembali lagi ke Mekah pada suatu malam dalam waktu yang sangat singkat. Sebuah peristiwa yang membuktikan bahwa kekuasaan Allah itu tak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Selain itu,
Allah ingin menguji keimanan hambanya melalui peristiwa yang tidak dapat dicerna oleh akal biasa. Ketika Rasulullah SAW menceriterakan peristiwa tersebut kepada penduduk Mekah, sebagian besar mereka tidak mempercayainya. Bahkan, cemoohan dan ejekan gila oleh para pimpinan kafir Quraisy ditujukan kepada Rasulullah SAW.  Atas dasar keimanan yang demikian kuatnya, Sahabat Abu Bakar r.a. serta merta menjadi satu-satunya orang yang mempercayai kisah Rasul. Disinilah ujian keimanan dimulai, baik bagi umat Nabi Muhammad SAW yang hidup di zamannya maupun umat pada generasi-generasi setelahnya. Kita tahu bahwa pada zaman itu teknologi adalah hal yang sangat asing.
Kejadian-kejadian sekitar Isra’ dan Mi’raj banyak dijelaskan di dalam hadits-hadits Nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi pergi. Jibril kemudian membedah dada Nabi dan membersihkan hatinya, sebelum mengisinya dengan iman dan hikmah.
Kemudian didatangkanlah Buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan Buraq ini Nabi melakukan perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Setelah Nabi SAW melakukan salat dua rakaat di Baitul Maqdis, Jibril membawakan beliau segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu. Nabi SAW menentukan pilihannya kepada susu. Menyaksikan peristiwa ini, Jibril kemudian berkata, “Engkau dalam kesucian.  Sekiranya kau pilih khamr, maka akan sesatlah ummatmu!”
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang di kanannya berjejer ruh para ahli surga dan di kirinya ruh para ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga beliau berjumpa dengan Nabi Yusuf. Perjalanan Nabi berlanjut terus sampai beliau berjumpa dengan Idris di langit ke empat dan Nabi Harun di langit ke lima. Pertemuan dengan Nabi Musa terjadi di langit ke enam, dan dengan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh inilah Rasul sampai di Baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat melakukan salat setiap hari. setiap malaikat hanya memasuki tempat ini sekali dan tak akan pernah masuk lagi.
Kemudian Rasulullah SAW dibawa ke Sidratul Muntaha. Di Sidratul Muntaha beliau menyaksikan keindahan panorama yang tiada bandingannya dan tidak terdapat di tempat mana pun di dunia ini. Dalam satu kesempatan di Sidratul Muntaha, Nabi  sempat melihat rupa Malaikat Jibril yang asli. Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Jibril mempunyai enam ratus sayap. Kemudian Nabi Muhammad SAW diajak oleh Malaikat Jibril menyaksikan keindahan sungai Al-Kautsar sampai ke depan pintu gerbang surga dan masuk ke dalamnya. Di dalam surga Beliau menyaksikan hal-hal yang mencengangkan, yang belum pernah beliau saksikan sebelumnya. Rasulullah SAW juga mendengar suara-suara yang belum pernah Beliau dengar. Bahkan, apa saja yang menjadi kehendak hati seketika akan terwujud.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib. Awalnya, salat diwajibkan lima puluh kali sehari semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan Allah memberinya pengurangan sebanyak sepuluh setiap kali Beliau meminta. Akhirnya, salat diputuskan wajib dikerjakan lima kali dalam sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi karena merasa malu kepada Allah. “Saya telah meminta keringanan kepada Tuhanku. Kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah pun berfirman, “Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya bagi hambaku.”
Peristiwa Isra’ Mi’raj sungguh di luar nalar manusia. Saat ini banyak film-film yang bertema science fiction yang merupakan khayalan manusia tentang mesin waktu, makhluk luar angkasa, ataupun dimensi berbeda di alam semesta. Namun semua itu tidak dapat menandingi kisah Isra’ Mi’raj yang dialami secara nyata oleh Rasulullah SAW. Para ilmuwan mencoba meneliti dan  membedah mukjizat yang dialami Rasul ini menjadi sesuatu yang rasional dan ilmiah. Salah satunya dengan pendekatan teori Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materinya. Jika materi direaksikan dengan anti materinya, maka kedua partikel tersebut bisa lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gamma. Analoginya adalah sebagai berikut : Rasulullah SAW adalah zat materi yang tidak mungkin menempuh jarak sekitar 300.000 kilometer per detik. Hal ini berbeda dengan malaikat Jibril dan kendaraan yang mereka pakai yakni Buraq. Mereka terbuat dari cahaya sehingga dapat menembus kecepatan cahaya tanpa masalah. Sedangkan zat padat (manusia) apabila dipaksakan bergerak dengan kecepatan cahaya, maka tubuh manusia mungkin akan tercerai berai karena ikatan antar molekul dan atom akan terlepas. Karena itulah maka teori tersebut menjelaskan bahwa susunan materi tubuh Rasulullah SAW terlebih dahulu diubah menjadi cahaya. Setelah perjalanan ini, tubuh beliau dikembalikan kepada keadaan semula.

Itulah salah satu teori yang disimpulkan oleh para ilmuwan pada masa kini. Tetapi, tetap saja tidak ada satu manusia pun yang pernah mengalami peristiwa ini  setelah Rasulullah, dan belum ada pembuktian secara langsung terhadap kebenaran teori ini yang diuji cobakan terhadap manusia. Alam seisinya, termasuk langit dan bumi, diciptakan dengan ketentuan-ketentuan yang disebut sunnatullah. Kenyataan ini diakui oleh Al-Qur’an dengan mengajak manusia untuk terus mengeksplorasi dan mengobservasi alam semesta yang merupakan ciptaan Allah. Namun, di sisi lain, Al-Qur’an menjelaskan bahwa ada realitas lain yang tak dapat dijangkau panca indera sehingga tak bisa menjadi obyek observasi ilmiah.

“Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tak dapat kamu lihat.” [QS 69: 38-39]
Perjalanan Isra’ (dari Mekkah ke Palestina) yang umumnya ditempuh selama dua bulan hanya terjadi dalam semalam. Di sini Allah ingin menunjukkan kepada manusia bahwa kekuasaan-Nya tidak mengenal batas waktu. Dicantumkannya peristiwa tersebut dalam Al-Qur’an adalah untuk memberi kesempatan kepada akal manusia untuk percaya. Rasulullah dengan mudah menjelaskan bukti-bukti mu’jizat, seperti penjelasan rinci keadaan Masjid al-Aqsa yang baru saja dikunjunginya.
Tidak demikian halnya dengan peristiwa Mi’raj, yaitu naiknya Nabi dari Masjidil Aqsa menembus tujuh lapis langit sampai di Sidratul Muntaha. Peristiwa tersebut hanya Nabi Muhammadlah yang mengalaminya dan tidak ada manusia yang dapat menyaksikannya. Maka tidak dicantumkannya peristiwa itu secara tegas dalam Al-Qur’an sebenarnya membuktikan keterbatasan akal manusia dalam memahami bukti-bukti keberadaannya. Penempatannya secara implisit dalam surat an-Najm yang berarti ‘bintang’ menguatkan kenyataan itu.

“Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. ( QS An-Najm _ 14-18)
Ketidakmampuan manusia untuk menjangkau semua galaksi bintang-bintang yang ada di kosmos alam raya sampai saat ini merupakan gambaran ketidakmampuannya untuk memahami peristiwa Mi’raj dengan pendekatan rasio.
Bagaimana pun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra’ Mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu sedikit sekali kepada manusia sebagaimana yang tertuang di dalam ayat berikut ini :

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.(QS. Al-Isra: 85).
Makna penting Isra’ Mi’raj bagi umat Islam terdapat pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama dalam Islam. Shalat mesti dilakukan oleh setiap muslim, baik dia kaya maupun miskin, sehat maupun sakit. Ini berbeda dengan ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa Isra’ Mi’raj benar-benar terjadi dan dialami oleh Rasulullah SAW. Melalui Isra’ Mi’raj, Allah telah merencanakan untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya dan menyampaikan perintah shalat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW. Fatimah Azzahrah Alattas, SE.

Ref: