Aku Kembali Kepada Manhaj Salafush Shalih

Secara bahasa, Salaf berarti orang-orang yang mendahului kita, baik dari segi keilmuan, keimanan, keutamaan, maupun kebaikannya. Ibnul-Manzhur berkata; “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahuluimu, baik orang tua maupun karib kerabatmu yang lebih tua dan utama darimu.” [Lisanul Arab 9/159]
Termasuk dalam pengertian ini apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahrah:


“Sesungguhnya sebaik-baik Salaf bagimu adalah aku.” [HR. Muslim nomor 1450]
Adapun yang dimaksud “Salaf” menurut istilah para ulama pada asalnya adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian disertakan kepada mereka –dalam istilah tersebut- generasi sesudah mereka yang mengikuti jejak mereka. [Kitab Limadza Ikhtartu Madzhab Salaf halaman 30]
Namun, makna “Salaf” menurut tinjauan waktu ini masih belum cukup, karena kita melihat kemunculan firqah-firqah sesat dan bid’ah-bid’ah pada masa-masa tersebut, sehingga orang yang hidup pada masa tersebut tidak cukup dikatakan bahwa dia di atas manhaj Salaf sampai diketahui bahwa dia sejalan dengan para sahabat dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, para ulama menambahkan dengan istilah “as-Salaf ash-Shalih” (generasi Salaf yang shalih). Pada perkembangan selanjutnya istilah Salaf dinisbatkan kepada “orang-orang yang senantiasa menjaga aqidah dan manhaj hidupnya agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiallahu ‘anhum sebelum terjadi perpecahan dan perselisihan,” yaitu dengan munculnya beberapa macam firqah (kelompok Islam sempalan).
Merujuk kepada Pemahaman Salaf
Sebagai seorang Muslim kita dituntut untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kaum Muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya.
Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga kita tidak boleh menyelisihi mereka?
Jawabannya adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat itulah orang-orang yang paling paham tentang al-Qur’an dan as-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka.
Selain itu, kita juga harus melihat pemahaman para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Karena mereka adalah 3 generasi salaf yang disebut oleh Rasul sebagai 3 generasi terbaik. Tabi’in adalah generasi yang telah bertemu dan bergaul dengan para shahabat dan memahami benar pemahaman para Shahabat terhadap Al-Qur`an dan Hadits. Sedangkan tabi’it tabi’in adalah mereka yang telah berjumpa dan menimba ilmu kepada para tabi’in.
”Orang-orang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100]
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji generasi Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka, dari sini dapat diketahui bahwa bila Salaf mengemukakan suatu pendapat kemudian diikuti oleh orang-orang pada generasi berikutnya, maka mereka menjadi orang-orang yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhaan dari Allah sebagaimana yang didapat oleh generasi Salaf.
Kalaulah mengikuti jejak Salaf tidak berbeda dengan mengikuti jejak selainnya, niscaya mereka tidak pantas untuk dipuji dan diridhai; dan hal seperti itu jelas bertentangan dengan ayat di atas. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Namun, di antara mereka ternyata ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali Imran : 110]
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan adanya keutamaan generasi Salaf dibanding keseluruhan umat karena pernyataan dalam ayat tersebut tertuju kepada kaum Muslimin, yang waktu itu tiada lain adalah para Sahabat, generasi Salaf pertama yang mendulang ilmu langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara.
Adanya pemberian gelar kepada mereka sebagai umat terbaik menunjukkan bahwa mereka itu senantiasa istiqamah dalam segala hal, sehingga tidak akan menyimpang dari kebenaran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan sifat mereka sebagai bukti kelurusan jalan hidup mereka, yaitu bahwa mereka selalu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang seluruh yang mungkar.Berdasarkan ayat di atas, juga jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi hujjah dan rujukan bagi generasi sesudah mereka sampai Hari Kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksiannya salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [HR. Bukhari nomor 2509, 3451, dan 6065; Muslim nomor 1533]
Ukuran kebaikan yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lain adalah ketakwaan hati dan amal shalih. Mengenai hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenali.” (QS. Al-Hujurat : 13)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kekayaan kalian. Allah hanya akan melihat kepada hati dan amal kalian.” [HR. Muslim nomor 2564]
Salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, menceritakan bahwa Allah telah menjelaskan kepada umat ini bahwa hati para Shahabat adalah sebaik-baik hati setelah hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla menganugerahkan kepada mereka pemahaman yang tidak akan pernah dicapai oleh generasi berikutnya. Sehingga, apa-apa yang mereka nilai baik, maka akan baik menurut Allah Azza wa Jalla dan apa-apa yang mereka nilai buruk, juga menjadi buruk menurut Allah Azza wa Jalla. [Lihat Musnad Imam Ahmad (I/379)]
Jadi jelaslah, pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya sampai Hari Akhir nanti.
Dalam suatu hadits, Rasul memerintahkan kepada kita agar memegang teguh Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin Radhiyallahu ‘anhum. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku (kebiasaan dan perikehidupanku) dan sunnah (kebiasaan/ perikehidupan) Khulafa’ ar-Rasyidin sepeninggalku.”
Beliau menyatakan bahwa dari sekian banyak kelompok Islam hanya ada satu yang selamat dan menjadi ahli Surga, yaitu mereka yang menempuh perikehidupan (Sunnah) sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum. Hal ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan dalam sabdanya (yang artinya):
“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja yaitu golongan yang pada saat itu mengikuti perikehidupanku dan perikehidupan para Sahabatku.”
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita mengetahui bahwa perikehidupan para Sahabat Radhiyallahu’ anhum adalah perikehidupan Khulafa’ ar-Rasyidin dan perikehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi jelaslah, pemahaman sahabat Radhiyallahu ’anhum –sebagai generasi Salaf pertama- menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
Sunnatun Hasanatun
Barang siapa yang mengadakan (mempelopori) dalam Islam suatu sunnah hasanah lalu diamalkan orang sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang ikut mengerjakan itu dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yang mengerjakan itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah sayyi`ah, lalu diamalkan orang sunnah sayyi’ah itu, diberikan dosa kepadanya seperti dosa orang yang ikut mengerjakannya dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan itu.” [HR. Muslim dari Jabir]
Sanna dapat berarti membuat, mengadakan, mempelopori. Sedangkan sunnah dapat bermakna kebiasaan, perikehidupan, methode (thoriqoh), jalan (sabil). Seperti dalam hadits tentang sunnah orang-orang terdahulu dan juga sunnah khulafa`ur rasyidin.
Diriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: “Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehinggakan mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?” Baginda bersabda: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” [HR. Bukhari dan Muslim]
“Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi]
Maka hadits man sanna ini adalah hadits yang tidak terbatas pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa`ur rasyidin saja. Tetapi setiap sunnah yang dibuat oleh siapa saja, jika ia baik, tidak bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar, dan ijma’, maka itu adalah sunnah yang baik (sunnah hasanah). Dan setiap sunnah yang dibuat oleh siapa saja, jika ia bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar, atau ijma’, maka itu adalah sunnah yang buruk (sunnah sayyi`ah).
Namun, karena sunnah itu umum digunakan untuk sunnah Rasul dan tidak umum digunakan untuk sunnah yang lain, maka secara bahasa sunnah ini biasa diganti dengan kata bid’ah. Mengapa bid’ah? Karena memang sunnah atau kebiasaan tersebut biasanya adalah kebiasaan yang tidak dikenal pada zaman Rasul sehingga dikategorikan sebagai perkara baru.
Kita sama-sama ketahui bahwa adzan dua kali sebelum shalat Jum’at tidaklah dikenal pada masa Nabi dan tidak pula pada masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bin Khaththab. Ia merupakan kebiasaan yang baru ada pada masa khalifah Utsman. Maka hal ini bisa disebut sebagai perkara baru. Namun perkara baru ini tidaklah bertentangan dengan Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Karena adzan memang tidak terbatas waktu pengumandangannya pada saat masuk waktu shalat saja. Adzan boleh dikumandangkan ketika menguburkan mayyit, ketika ada kebakaran, ketika anak lahir. Intinya tidak hanya ketika masuk waktu shalat.
Karena adzan dua kali sebelum shalat Jum’at itu adalah perkara baru, maka ia disebut bid’ah. Dan karena tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan hadits, maka ia merupakan hasanah. Maka adzan dua kali sebelum shalat Jum’at itu adalah bid’ah hasanah.
Menurut Imam Nawawi, Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim : “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah hasanah lalu diamalkan orang sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yg mengerjakan kemudian itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah, lalu diamalkan orang sunnah sayyi’ah itu, diberikan dosa kepadanya seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” [Syarah Nawawi juz' 14 hlm. 226]
Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata, “Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang sesuai dengan sunnah, sedangkan bid’ah yang tercela ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang tidak sesuai dengan sunnah atau menentang sunnah.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Imam Baihaqi menjelaskan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata, “Pekerjaan yang baru itu ada pekerjaan yang menentang atau berlainan dengan Al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma, ini dinamakan bid’ah dholalah; dan ada pula pekerjaan keagamaan yang baru yang baik, yang tidak menentang salah satu yang disebutkan di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Demikianlah Imam Syafi’i, salah satu tokoh salafush shalih terkemuka, telah membagi bid’ah kepada dua macam. Namun bid’ah di sini adalah bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah menurut syara’ yang sesat. Beliau membagi bid’ah kepada bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Lalu beliau tidak meninggalkan kita dalam kebingungan. Namun beliau menjelaskan kepada kita akan apa yang dimaksud dengan bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah itu.
Bid’ah mahmudah adalah pekerjaan yang baru yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah yang tidak bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar dan ijma’. Adapun bid’ah madzmumah adalah pekerjaan yang baru yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah yang bertentangan dengan Al-Qur`an, sunnah Rasul, atsar atau ijma’.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari juz’ 4 halaman 318: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima.”
Penyusunan Mush-haf Al-Qur`an
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para shahabat (Ahlul Yamaamah) yang mereka itu para Huffazh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashshiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul Qur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..??” Maka Umar berkata padaku bahwa demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Dan engkau (Zaid) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” Berkata Zaid : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?? Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768)
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks di atas, Abubakar Ash-Shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar,” hatinya jernih menerima hal yang baru, yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya Alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu kitab, tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll. Ini adalah bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.

referensi:
http://artikelislami.wordpress.com/2010/11/11/apa-itu-salafush-shalih/